Teropong
Tuduh
Kondisi ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia yang menangani persoalan itu masih perlu ditingkatkan kemampuan, integritas, dan komitmennya.
Oleh: Abdul Gaffar
TRIBUN-TIMUR.COM - Banyak kasus yang terjadi di negeri ini tidak tuntas penyelesaiannya. Sidang yang berlangsung berlama-lama membuat kita jenuh sendiri mengikutinya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia yang menangani persoalan itu masih perlu ditingkatkan kemampuan, integritas, dan komitmennya.
Mereka -para penegak hukum-banyak juga terjerat dalam kasus yang ditanganinya.
Deretan profesi hakim, jaksa, polisi, dan penegak hukum lainnya masuk menjadi ‘tertuduh’.
Para tertuduh ini dinyatakan melakukan sesuatu yang tidak pantas, melanggar hukum atau berbuat kurang baik.
Berdasarkan informasi yang beredar di media utama memberitakan ada hakim yang ‘disogok’ hingga milyaran rupiah.
Jaksa pun tidak ingin kalah. Disusul oleh pihak kepolisian yang ikut-ikutan memeras tertuduh pelanggar hukum.
Miris kita melihat tingkah laku Aparat Penegak Hukum (APH) kita.
Pelanggaran yang dilakukan oleh APH kita karena lemah atau ringannya sanksi yang dikenakan kepada mereka.
Pemerintahan hari ini seharusnya bertindak tegas dan keras terhadap APH yang melanggar hukum.
Tidak saja hukuman pisik dalam bentuk penahanan, tetapi juga ditingkatkan pemberhentian tidak dengan hormat.
Tindakan tegas dari pimpinan masing-masing tidak menyurutkan pelanggar-pelanggar baru lainnya.
Pelanggaran dilakukan tidak saja oleh tingkatan bawahan, melainkan melibatkan pimpinan satuan.
Sepertinya ada kerja sama antara pimpinan dengan bawahan dalam menangani sebuah perkara. Bagi pimpinan tertinggi seyogianya bertindak tegas tanpa pandang bulu.
Jangan kalau berbulu macan atau berkulit naga sehingga lolos dalam sanksi pelanggaran hukum.
Sebagai contoh kasus adalah penanganan pelanggaran mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri. Sampai hari ini, yang bersangkutan belum pernah ditahan.
Sementara mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang terkait dengan mantan Ketua KPK sudah lama mendekam di belakang terali besi.
Rakyat hanya dapat menjadi penonton yang sabar. Melihat penegakan hukum kita yang lemah-lembut ke atas, namun keras dan tajam ke bawah. Ironis penanganan hukum yang adil dan benar dapat tercapai.
Sejatinya bagi APH yang melanggar hukum, mestinya dihukum 2 kali lebih lama dibanding pelanggar non APH.
Rakyat di bawah akan bertindak keras dan kasar terhadap pencuri celana dalam atau ayam.
Sementara para koruptor kelas kakap tetap aman-aman dan nyaman saja di bawah pengawasan APH.
Pembubaran sebuah organisasi massa yang ‘dituduh’ berpotensi melawan kebijakan pemerintah dapat dilenyapkan tanpa proses peradilan. Hanya dengan ucapan : “bubar”, maka dibubarkanlah organisasi tersebut.
Diakui bahwa negara kita sebagai Negara Hukum. Artinya semua tindakan, siapa saja berada di atas hukum yang ada.
Bukan kekuasaan yang menjadi panglima. Tetapi dalam kenyataan : hukum dan kekuasaan tidak ada batas yang jelas.
Kita terdiam menyaksikan akrobat yang diperagakan oleh rezim penguasa. Masuknya pengusaha dapat meluluhlantakkan kewibawaan penguasa yang ada.
Kasus pemagaran laut yang spektakuler tidak dapat menemukan aktor utamanya. Dikabarkan itu adalah inisiatif rakyat.
Padahal menurut hitungan-hitungan biayanya hingga milyaran rupiah. Tampaknya rakyat kita sudah makmur dan kaya-kaya sehingga mampu menggelontorkan dana hingga milyaran rupiah membuat pagar laut.
Penggunaan pasukan TNI yang menggunakan uang negara membongkar pagar laut tampaknya seolah-olah penegakan hukum.
Apakah kelemahan APH kita sehingga tidak dapat membongkar siapa otak di belakang semuanya itu?
Kasus terkini menyangkut tuduhan pemilikan ijazah palsu oleh mantan Presiden Indonesia. Kampus yang mengeluarkan ijazah mengakuinya sebagai Asli. Penuduh harus dapat membuktikan kepalsuan itu. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.