Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini M Aris Munandar

Mendesak: Pembentukan Badan Forensik Nasional Indonesia

Akan tetapi juga berkaitan dengan cara membuktikan kebenaran itu melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - M Aris Munandar Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin/ Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi 

Oleh: M Aris Munandar

Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin/ Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi

TRIBUN-TIMUR.COM - Pada sistem peradilan pidana moderen dewasa ini, kebenaran tidak lagi semata-mata bergantung pada pengakuan tersangka atau keterangan saksi saja.

Akan tetapi juga berkaitan dengan cara membuktikan kebenaran itu melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selain itu, kelembagaan yang profesional dan berintegritas menjadi poin utama sekaligus memiliki peran penting untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sehingga, dalam konteksi pembuktian kasus pidana, harus mengalami kemajuan dengan menyesuaikan perkembangan zaman.

Adanya bukti forensik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses sistem peradilan pidana di Indonesia, harus ditopang dengan peraturan dan perangkat kelembagaan yang ideal.

Pengaturan tentang forensik dalam hukum pidana Indonesia sebenarnya tidak secara expressis verbis (jelas dan terang) disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Namun, mengenai kebutuhan pembuktian dengan ahli/kedokteran forensik atau kerap disebut kedokteran kehakiman diatur dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”. 

Sehingga ketika ada kebutuhan untuk melakukan autopsi atau visum et repertum aparat penegak hukum dapat melakukannya untuk kepentingan peradilan dan dengan prosedur yang sah. 

Terkait prosedurnya dapat ditemui pada beberapa peraturan baik pada Undang-Undang yang mengatur tentang Kesehatan maupun Peraturan Kepolisian. 

Secara teknis, forensik tidak hanya soal kematian atau luka saja, melainkan juga terkait kejahatan siber (elektronik).

Pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, di mana dalam putusan tersebut diputus bahwa frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor beralasan hukum sepanjang dimaknai frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.

Inti dari Putusan MK Nomor 20/2016 adalah menegaskan bahwa setiap tindakan penyadapan wajib dilakukan secara sah dan sesuai prosedur, khususnya jika dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum.

Sehingga dokumen elektronik juga menjadi alat bukti yang sah jika diperoleh dengan cara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Misalnya pada pembuktian kejahatan siber yang berbasis digital.  

Dibeberapa negara, bukti ilmiah seperti hasil autopsi, toksikologi, Deoxyribonucleic Acid (DNA), hingga analisis digital menjadi pilar penting untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam sistem pembuktian kematian (Proba Mortem). 

Hanya saja, di Indonesia aspek forensik masih tersebar secara sektoral di berbagai institusi tanpa standar tunggal (baku) dan berpotensi menimbulkan kontra persepsi dengan independensi institusi. 

Saat forensik justri menjadi titik rawan dalam proses pembuktian, mengisyaratkan bahwasanya kaum intelektual harus bertanya dengan serius: mengapa Indonesia sampai  saat ini belum mempunyai Badan Forensik Nasional yang independen dan terintegrai?
 
Bukti Ilmiah: Pilar Kebenaran dan Keadilan

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan forensik sebagai ujung tombak penegakan hukum khususnya di Indonesia.

Di banyak negara, lembaga/badan forensik didirikan tidak hanya sebagai pelaksana teknis saja, akan tetapi juga sebagai otoritas ilmiah yang memandu kualitas suatu pembuktian kematian atau kejahatan.

Sebagai contoh, National Forensic Service (NFS) yang ada di Korea Selatan. NFS pertama kali diluncurkan sekitar tahun 1955-1964 (Pasca Perang Korea) sebagai pusat analisis tunggal di Korea Selatan.

Pasca Perang Korea, berbagai kejahatan muncul di tengah masyarakat yang dilanda kecemasan, sehingga dibutuhkan investigasi yang lebih ilmiah dan profesional.

Untuk menghindari intervensi situasional dan memastikan independensi, NFS didirikan pada 25 Maret 1955 di bawah Kementerian Dalam Negeri (Saat ini bernama Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan /MOIS) (Sumber: https://www.mois.go.kr/).

NFS bertugas melakukan analisis dan penelitian ilmiah secara mandiri, mencakup analisis medis dan ilmiah forensik, serta investigasi kriminal dan proses peradilan.

Tugas-tugas analisis, kecuali terkait sidik jari, dialihkan dari Biro Keamanan ke NFS untuk mendukung penyidikan oleh instansi pemerintah dan pejabat publik (Sumber: https://www.nfs.go.kr/).

Jika dibandingkan dengan Indonesia, justru unit forensiknya tersebar pada berbagai lembaga seperti Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri, Laboratorium digital forensik (Labdigfor) Kejaksaan.

Laboratorium Forensik Bukti Elektronik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Sekarang bernama Kementerian Komunikasi dan Digital), Laboratorium Forensik Narkotika Badan Narkotika Nasional (BNN), Laboratorium Forensik Digital Direktorat Operasi Keamanan Siber BSSN, dan lainnya. 

Urgensi Kelembagaan

Badan Forensik Nasional (BFN) jika benar-benar terbentuk, maka akan menjadi entitas lintas disiplin ilmu yang mengombinasikan berbagai cabang ilmu forensik kedokteran, biologi, kimia, digital, termasuk juga linguistik dalam satu kerangka kerja yang terintegrasi.

Fungsi BFN nantinya bukan hanya sekadar laboratorium, melainkan juga sebagai otoritas standar dan etik profresi forensik, lembaga pelaksana pemeriksa yang independen dari penyidik (Kepolisian) atau penuntut (Kejaksaan), pusat data, pelatihan, bahkan riset nasional.

Hal ini tentunya akan menjadi hal yang baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, di mana bukti-bukti forensik akan semakin akurat dengan sistem pemeriksaan forensik yang terpusat dan independen.

Pada beberapa kesempatan, sebenarnya telah banyak perbincangan mengenai keinginan segenap masyarakat kampus untuk dibentuknya sebuah badan forensik yang independen.

Seperti pada forum “Kriminolog Bicara Seri 14” dengan tajuk “Pusat Forensik Terintegrasi dan Independen: Mungkinkah Didirikan?” tahun 2020 silam yang dilaksanakan oleh Departemen Kriminologi FISIP UI.

Dalam diskusi itu, salah satu narasumber yakni Drg. Nurtamy, Ph.D. Sp.OF(K) (Dosen FKG UI) mengatakan bahwasanya integritas laboratorium forensik di Indonesia menjadi harapan para ahli forensik.

Diperlukan laboratorium yang independen, berdedikasi pada layanan forensik, menjaga chain of custody, serta ditunjang infrastruktur, pendanaan, SDM, dan regulasi yang kuat agar layanan forensik berjalan objektif, profesional, dan terpercaya (Sumber: https://fisip.ui.ac.id/). 

Di kesempatan yang lain, organisasi masyarakat salah satunya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga mendorong dibentuknya lembaga forensik independen.

LBH mengharapkan Presiden, DPR, dan pemangku kepentingan lainnya untuk membentuk Lembaga Forensik Independen di luar struktur Polri, yang diisi oleh para profesional, ahli, atau akademisi yang bekerja secara objektif dan bebas dari intervensi maupun kepentingan pihak manapun (Sumber: https://www.hukumonline.com/).

Tentu bukan tanpa alasan mengapa akademisi maupun organisasi masyarakat menginginkan terbentuknya lembaga forensik yang independen dan menasional.

Kasus-kasus yang selama ini sering melibatkan oknum aparat penegak hukum seperti kasus kejahatan, baik itu pembunuhan maupun kejahatan siber yang membutuhkan pemeriksaan forensik (kedokteran forensik dan forensik digital) sangat rentan mengalami conflict of interest (konflik kepentingan).

Sehingga ditakutkan pemeriksaannya tidak objektif untuk dijadikan sebagai bukti. 

Kasus kematian Brigadir J menjadi contoh nyata betapa pentingnya lembaga forensik yang netral dan dipercaya publik.

Ketidakpercayaan terhadap autopsi awal memicu dilakukannya autopsi ulang.

Ini mengindikasikan bahwa tanpa institusi forensik yang kredibel, hasil pemeriksaan rentan dipertanyakan dan legitimasi proses hukum pun terganggu (Sumber: https://news.detik.com/). 

Guna menanggulangi hal tersebut, maka seharusnya lembaga forensik harus berdiri sendiri dan terlepas dari institusi aparat penegak hukum. Nantinya mereka hanya akan saling berkoordinasi.

Apakah Mungkin Membentuk Badan Forensik Nasional?

Berangkat dari maksim hukum yang berbunyi “in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores” yang artinya "dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya".

Maka untuk membuktikan sebuah kejahatan memerlukan alat-alat bukti yang kuat.

Metode membuktikan kejahatan di masa sekarang sudah beralih ke Scientific Crime Investigation (SCI) yaitu pendekatan penyidikan tindak pidana yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pendekatan ini mengintegrasikan berbagai cabang ilmu forensik guna membantu mengungkap dan membuktikan suatu perkara.

Sehingga bukan sebuah kemustahilan untuk membentuk sebuah badan forensik yang independen dan profesioanl dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sepenting apakah bukti forensik? Tahun 2018 melalui Putusan No. 69 PK/Pid/2018 kasus Jessica Kumala, Mahkamah Agung menjadikan bukti forensik sebagai dasar menjatuhkan putusan secara judex juris.

Dan beberapa putusan pengadilan baik pada tingkat pertama sampai dengan tingkat tertinggi menggunakan hasil analisis forensik sebagai bagian dari pembuktian dalam kasus pidana.

Hal ini mencerminkan situasi bahwa Indonesia secara nasional butuh suatu badan forensik nasional yang independen. 

Badan Forensik Nasional bukan hanya soal laboratorium. Ia adalah komitmen negara untuk menempatkan kebenaran ilmiah sebagai dasar keadilan.

Kehadirannya menjadi benteng perlindungan masyarakat dari prasangka, dan penyalahgunaan hukum yang tampak sah secara prosedural.

Maka kini, pertanyaannya bukan lagi apakah perlu, tetapi kapan dimulai. Dan jawabannya adalah: sekarang.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Angngapami?

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved