UMKM Sarung Lontara Makassar Raup Omzet Tinggi saat Ramadan Berkat Bantuan QRIS BRI
Sarung Lontara merupakan produk pertama di Indonesia yang mengusung motif huruf Lontara, yakni aksara tradisional suku Bugis-Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ramadan membawa berkah tersendiri bagi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), salah satunya adalah Wanua Panrita Kitta, UMKM asal Makassar yang berhasil meraup omzet tinggi berkat inovasi sarung bermotif aksara Lontara dan dukungan sistem pembayaran digital dari Bank BRI.
Diprakarsai oleh Mimi Asmi, Sarung Lontara merupakan produk pertama di Indonesia yang mengusung motif huruf Lontara, yakni aksara tradisional suku Bugis-Makassar yang dulu digunakan untuk menulis dokumen penting di atas daun lontar sejak abad ke-14.
Aksara ini tidak hanya berfungsi sebagai penanda identitas budaya, tetapi juga sebagai media edukatif melalui petuah-petuah Bugis yang tertanam dalam setiap motif.
“Kami memilih kata-kata seperti tinul ala sabar (ketekunan) atau tettong (kebersamaan), agar masyarakat bisa belajar nilai-nilai luhur melalui sarung,” ujar Mimi, Rabu (9/4).
Dengan hanya empat orang pekerja, Wanua Panrita Kitta mampu memproduksi hingga 100 lembar sarung per hari dari rumah produksi sederhana di Jalan Daeng Tata 1 Blok 5, Makassar.
Meskipun sederhana, produk mereka telah menjangkau pasar dari Sabang sampai Merauke, bahkan hingga Malaysia dan Brunei Darussalam.
Tingginya permintaan, khususnya di bulan Ramadan, membuat mereka harus menutup sementara pesanan di platform e-commerce karena keterbatasan kapasitas produksi.
Keberhasilan Sarung Lontara tidak lepas dari kolaborasi strategis dengan Bank BRI, yang menyediakan fasilitas pembayaran digital melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).
Di ajang Trend Hijab Expo 2025 yang digelar di Hotel Claro Makassar pada 13–23 Maret lalu, QRIS BRI menjadi pilihan utama transaksi di booth Sarung Lontara.
“Antusiasme pengunjung luar biasa. QRIS BRI sangat membantu transaksi, terutama bagi konsumen dari luar kota,” ungkap Mimi.
Mimi yang sebelumnya hanya menjual sarung khas Toraja, mulai memproduksi Sarung Lontara karena keresahan terhadap minimnya representasi budaya Bugis-Makassar dalam produk fashion lokal.
Kini, sarung ini tidak hanya menjadi oleh-oleh favorit warga Sulawesi Selatan di perantauan, tetapi juga alat pelestarian budaya bagi generasi muda.
Harga yang dibanderol pun terjangkau, berkisar antara Rp90.000 hingga Rp100.000 per lembar.
Namun di balik kesuksesan, tantangan tetap membayangi. Salah satu isu utama adalah plagiarisme. Banyak motif Sarung Lontara yang dijiplak tanpa izin, dan pelaku UMKM seperti Mimi kerap kesulitan melindungi karyanya secara hukum.
“Kami berharap pemerintah memberikan kemudahan dalam pengurusan HAKI atau Hak Cipta, karena tanpa perlindungan, karya kami mudah dicuri,” keluhnya.
Insentif untuk Warga, Ketua RW 05 Pasang Lampu dan CCTV dari Uang Pribadi |
![]() |
---|
Demi Warga, Ketua RT 03 Masale Rela Bangun Tengah Malam Atasi Keributan |
![]() |
---|
Pemkot Makassar Dorong RT/RW Bantu Warga Dapatkan Bantuan Hukum Gratis |
![]() |
---|
Polemik Ranperwali RT/RW Makassar: Antara Ketaatan Hukum dan Hak Dipilih Warga |
![]() |
---|
KemenPU Dorong Sinergi Pemkot dan Pemprov Perbaiki Akses Stadion Sudiang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.