Opini
Euforia Superfisial atau Kemenangan Suci?
Penghujung pekan keempat, sayup ramadhan mulai terasa hening. Di kejauhan, lantunan ayat tetap menyambut jiwa-jiwa insan imani.
Oleh Juanto Avol
(Alumni santri Pesantren DDI Kaballangang)
TRIBUN-TIMUR.COM- Sebentar lagi tamu agung nan mulia akan beranjak pergi.
Penghujung pekan keempat, sayup ramadhan mulai terasa hening.
Di kejauhan, lantunan ayat tetap menyambut jiwa-jiwa insan imani.
Kita kadang menyaksikan, awal dan akhir Ramadan berasa beda.
Ia bermula dari keriuhan bahagia, lalu perlahan sepi dalam semilir spiritual menyambut hari fitri.
Keadaan itu menunjukkan, interaksi spiritual di ruang ibadah perlahan berkurang.
Sedangkan hasrat sosial di pusat-pusat perbelanjaan mulai gemuruh dalam keramaian, sesak konsumeris bak para pemburu.
Setiap tahun, idul fitri dirayakan dengan penuh gegap gempita suara takbir.
Maka semestinya dipenghujung ramadhan, juga semakin padat dalam urusan ibadah.
Faktanya, jalanan mulai dipadati pemudik, pusat perbelanjaan diserbu pembeli, dan media sosial akan dihiasi pesan berantai ucapan selamat, dikemas bersama foto keluarga dengan tampilan serba baru.
Muncul tanya di benak kita.
Apakah lebaran benar-benar menjadi simbol kemenangan spiritual yang suci, atau hanya menjadi ritual tahunan tanpa makna yang mendalam?
Seharusnya, ramadan menjadi bulan refleksi perbaikan diri. Kita diajarkan untuk menahan, mengontrol ambisi dan nafsu dengan memperbanyak rutinitas ibadah.
Namun sayang, bila dicermati, begitu adzan maghrib berkumandang di hari-hari terakhir puasa, semua perlahan lenyap.
Masjid yang ramai saat tarawih tiba-tiba kembali bak kesunyian jenggala (hutan sepi).
Kesabaran dan ketulusan yang dibangun selama sebulan, kembali terkikis oleh ego.
Pola konsumsi yang sebelumnya dikendalikan, justeru meledak saat lebaran, seakan dendam terhadap ramadhan, balasan atas "derita" puasa.
Andai ramadhan adalah sekolah, maka banyak dari kita, mungkin lulus tetapi tanpa ilmu hikmah yang benar-benar melekat.
Ramadan sebagai ruang latihan spiritualisme dan kesabaran jiwa, akhirnya gagal ditingkatkan, meninggalkan jejak tanpa makna di hati.
Itu sebabnya, Nabi pernah berkata, banyak di antara umatku, ia bersujud setiap malam, puasa setiap hari, tetapi mereka tak mendapatkan apa-apa kecuali bekas sujud di jidat, lutut, rasa haus dan lapar.
Euforia
Demikian pula, tak dipungkiri, lebaran kini telah ditunggangi bisnis, dikomodifikasi menjadi perayaan yang lebih menguntungkan industri daripada memberikan penguatan makna spiritual.
Belum lagi, perang iklan-iklan komersial, berebut, mendorong kita menjadi insan konsumtif, agar membeli produk-produk mereka. Mulai dari pakaian, gadget, hingga kendaraan baru, ketimbang peningkatan kualitas kemanusiaan.
Sialnya, tak sedikit dari umat rela berutang hanya untuk memenuhi standar sosial perayaan hari raya.
Padahal, jika kita perhatikan dengan mata telanjang, justeru tak sedikit, nampaklah kesenjangan sosial dan ekonomi. Semakin terasalah, ketika si kaya berpesta sedang yang miskin berusaha sekadar ikut merasakan "kebahagiaan" dari pinjaman.
Kita, sebenarnya telah terjebak dalam skenario kapitalis, dimana kebahagiaan hari raya malah diukur dari jumlah harta dan penampilan yang dimiliki, bukan dari ketenangan jiwa yang seharusnya diraih setelah sebulan berpuasa.
Akan petaka betul rasanya, jika lebaran malah jadi ajang pamer; penganan berjejar kue-kue mahal, pakaian andalan dan berkelas tetiba muncul sekali setahun berbau lemari, kendaraan mengkilap, perabotan mewah, bahkan perhiasan tubuh yang kuning-kemuning keemasan mulai berkilau membuat pongah.
Akhirnya, filosofi kesederhanaan yang diajarkan tamu agung itu selama ramadhan, hambar sia-sia dan ditanggalkan saat lebaran tiba. Malah yang terjadi menyisakan kesenjangan sosial tak kunjung pupus.
Bukankah setiap tahun, kita melihat pemandangan yang sama, orang-orang berbondong membagikan zakat, sedekah, anak-anak yatim dan tunawisma mendapat bingkisan dan uang dari dermawan. Lalu mengapa, kemiskinan sang fakir masih berseliweran?
Ataukah boleh jadi, zakat dan sedekah sering kali hanya menjadi simbol jangka pendek seiring berakhirnya ramadhan, dan bukan sebagai solusi perbaikan struktur sosial berkelanjutan di lingkungan kita.
Mungkin saja, mereka yang memberi, sering kali hanya euforia, ingin merasa baik tanpa benar-benar peduli terhadap akar masalah kemiskinan di sekitarnya.
Dan jika idul fitri dimaknai tentang kemenangan kembali suci, lantas mengapa masih banyak yang kalah dalam pertarungan hidup? Kalah menundukkan nafsunya?
Andai saja kita mau bertanya ke dalam diri, benarkah hati ini suci dalam ketulusan memberi sebagai solusi. Atau jangan-jangan kita hanya disibukkan dalam ritual euforia tahunan?
Belum lagi, tradisi mudik tahunan, sering dianggap sebagai simbol kemapanan. Pulang ke kampung halaman, mereka dipaksa menunjukkan kesuksesan, hasil kerja keras dari tanah rantau. Meskipun realita, masih banyak yang berjuang memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kehadiran mereka dibuat seolah dengan membawa cerita sukses. Namun, tak sedikit para perantau, mudik justeru menjadi tekanan finansial dan psikologis.
Mungkin, tak nampak di dalam dada mereka ada risau batin, beban sosial untuk membawa kesan hebat dalam masyarakat. Walau kenyataannya tak berbanding lurus, ada pilu membelenggu.
Mudik yang seharusnya menjadi momentum silaturahim, saling meringankan dosa-dosa sosial, malah berubah menjadi ajang pembuktian strata sosial.
Akhirnya, kadang tak disadari, tujuan mudik sesungguhnya adalah menguatkan hubungan keluarga. Atas sebuah penantian panjang orang tua di kampung halaman, kerinduannya bagai pelipur swargantara (langit dan surga) tiada bandingan.
Pun andai kata, kepulangan hanya membawa diri tanpa materi, itu tidak masalah bagi dua manusia mulia yang membesarkan kita.
Karena sesungguhnya yang mereka (orang tua) nantikan hanyalah pelukan hangat, derai air mata, do'a dan pertemuan dalam keberkahan umur.
Lalu, apakah kita benar-benar pulang untuk bersilaturahmi atau hanya untuk menjaga citra di mata keluarga dan tetangga? Pikirkan!
Superfisial
Di momentum hari raya, ada hal lain, satu ucapan yang familiar sering kita dapati, "Mohon Maaf Lahir dan Batin".
Ia menjadi frasa paling populer, sering diucapkan saat lebaran tiba. Tetapi, apakah benar-benar itu didasari "nawaitu" untuk memperbaiki hubungan?
Ataukah kata saling maaf-memaafkan hanya menjadi formalitas, tanpa ada upaya rekonsiliasi yang nyata. Dan ketika lebaran telah berlalu, tak sedikit manusia kembali dalam lingkarannya, yaitu menyebar keburukan, kebencian, dan upaya menjatuhkan orang lain.
Olehnya, jika maaf hanya sekadar kata-kata superfisial tanpa perbaikan sikap, lalu apa gunanya tradisi itu?
Bukankah esensi memaafkan saat lebaran seharusnya tidak sekadar euforia sesaat, yang diwarnai konsumtivisme, formalitas, dan kepalsuan.
Tidakkah kita benar-benar rindu merayakan lebaran sebagai kemenangan hakiki, perubahan nyata dalam diri setelah ramadhan? Itu!
Maka seyogyanya, lebaran tidak dijadikan sebagai ajang pamer, tetapi sebagai momentum refleksi, tulus memberi dan meminta maaf dalam qalbu untuk memperbaiki hubungan sosial dan memberi kemanfaatan rasa adil.
Bukan kemenangan semu dan ilusi belaka tuk kembali terperangkap dalam siklus konsumtif, dan ketidakpedulian sosial sesudah ramadhan.Namun, jika hal itu terjadi lagi, maka sungguh apa yang kita rayakan bukanlah kembali kepada fitrah manusia suci, melainkan bagai kembali ke habitat anggara nantara (jiwa buas) yang serakah.
Semoga, lebaran ini tidak menjadi ajang pamer harta, mudik penuh gengsi, maaf-maafan yang dangkal (superfisial), serta euforia sesaat tanpa perubahan.
Berlebaranlah dengan segala kerendahan hati. Agar kita lulus dari ujian ramadhan, tidak gagal menerapkan pelajaran berharga dan meraih kemenangan sejati.
Wahai jiwa-jiwa yang sundara (indah), penuh karuna (kasih sayang) dalam abhiprahya ranjana (harapan baik penuh cahaya), berkomitmenlah untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Aamiin.(*)
Universitas Hasanuddin, Menuju Puncak Benua Maritim Indonesia 2026-2030 |
![]() |
---|
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.