Opini A Agung PJ Wahyuda
Pengendalian Rabies Perspektif Etika Kesehatan: Mendorong Peran Masyarakat Pelapor Rabies 'Mapora'
Rabies yang sering ditularkan melalui gigitan Hewan Pembawa Rabies (HPR) seperti anjing, kucing, dan monyet, menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan
Oleh: A Agung PJ Wahyuda
Mahasiswa Doktoral FKM Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Kasus rabies di Sulawesi Selatan, terutama di daerah-daerah dengan kepadatan populasi hewan peliharaan yang tinggi, terus menjadi permasalahan kesehatan yang mengkhawatirkan.
Rabies yang sering ditularkan melalui gigitan Hewan Pembawa Rabies (HPR) seperti anjing, kucing, dan monyet, menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia.
Meskipun pemerintah dan berbagai pihak terkait telah berupaya mengatasi penyakit ini, kendala besar masih muncul, terutama dalam hal koordinasi antar lembaga dan partisipasi aktif masyarakat.
Mengingat tingginya angka gigitan HPR yang belum tertangani dengan baik, perlu ada upaya baru yang mengangkat potensi lokal untuk turut berperan serta dalam pengendalian rabies.
Salah satu masalah utama dalam penanggulangan rabies di Sulawesi Selatan adalah lemahnya koordinasi antara berbagai instansi pemerintah.
Dinas Kesehatan, dinas yang membidangi fungsi kesehatan hewan, dan instansi lainnya seringkali berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya integrasi yang jelas.
Hal ini menyebabkan upaya pencegahan dan pengendalian rabies menjadi kurang efektif.
Disisi lain, banyak kasus gigitan HPR yang terjadi di masyarakat tidak segera dilaporkan karena kurangnya kesadaran akan pentingnya penanganan dini.
Dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan, terutama di kalangan suku Makassar, Bugis, dan Toraja, ada sebuah nilai yang sangat dijunjung tinggi, yaitu gotong royong atau tolong-menolong.
Nilai ini seharusnya bisa dimanfaatkan dalam upaya pengendalian rabies dengan cara melibatkan masyarakat secara aktif.
Salah satu solusi yang bisa diusulkan adalah pembentukan Masyarakat Pelapor Rabies “Mapora”, yang berfungsi sebagai relawan dalam pelaporan, pengendalian dini rabies di tingkat desa dan komunitas-komunitas penyayang hewan.
Akronim Masyarakat Pelapor Agung PJ Wahyuda Rabies, “Mapora” dalam bahasa Bugis berarti menyerang atau menghacurkan, maknanya bagaimana masyarakat bersatu padu menghancurkan Rabies agar tidak menjadi ancaman bagi masyarakat.
Namun “Mapora” juga berarti berwibawa atau anggun, maknanya adalah seorang pelapor harus berwibawa dan anggun sehingga orang lain dapat mengandalkannya dalam pengendalian rabies di desanya.
Berdasarkan budaya gotong royong, “Mapora” dapat menjadi garda terdepan dalam pelaporan kasus gigitan HPR atau melakukan pelacakan HPR yang menunjukkan tanda klinis rabies.
Hal ini akan membantu mempercepat penanganan dan mencegah penularan lebih lanjut.
Di masyarakat Makassar, Bugis, Toraja dan etnis lainnya di Sulawesi Selatan, tradisi saling membantu antar tetangga dalam menghadapi masalah kesehatan adalah hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga pembentukan “Mapora” bukanlah hal yang sulit bagi mereka.
Selain berfungsi sebagai pelapor, anggota “Mapora” juga memiliki peran dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, baik secara tradisional maupun melalui media sosial.
Penggunaan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang pencegahan rabies akan sangat efektif, mengingat banyaknya anak muda yang sudah akrab dengan teknologi.
Melalui “Mapora”, masyarakat dapat belajar bagaimana cara mencegah dan menangani gigitan HPR secara dini, pentingnya vaksinasi hewan peliharaan, dan bagaimana mengidentifikasi tanda-tanda rabies pada hewan.
Pendekatan ini menggabungkan pengetahuan tradisional dengan pemanfaatan teknologi modern, yang dapat meningkatkan jangkauan edukasi kepada berbagai kalangan masyarakat.
“Mapora” dapat berfungsi dengan baik bila lembaga pemerintah mengakui keberadaan dan peran “Mapora”.
Pengakuan ini dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang mendukung keberlanjutan program, seperti pelatihan rutin bagi anggota “Mapora”, pemberian insentif, serta fasilitas pendukung lainnya.
Pemerintah juga perlu memperkuat kerja sama dengan organisasi masyarakat, seperti komunitas penyayang hewan, untuk memastikan bahwa program pengendalian rabies ini dapat berjalan dengan sinergi yang baik.
Dengan adanya forum koordinasi yang melembaga, kerja sama antara dinas kesehatan, dinas yang membidangi fungsi kesehatan hewan dan komunitas lokal akan lebih efektif dalam menangani kasus rabies.
Pemerintah, melalui Dinas Kesehatan dan dinas yang membidangi fungasi kesehatan hewan, harus bersama-sama membangun program yang bersifat berkelanjutan untuk memastikan pengendalian rabies dapat tercapai.
Tidak hanya dengan pendekatan medis dan vaksinasi, tetapi juga dengan memanfaatkan budaya gotong royong yang sudah ada di masyarakat Sulawesi Selatan.
Pembentukan “Mapora” sebagai relawan siaga rabies dapat menjadi langkah awal untuk mengajak masyarakat ikut serta dalam mengatasi masalah kesehatan ini.
Dengan melibatkan masyarakat secara langsung, diharapkan pengendalian rabies tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga kesehatan, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Melalui pendekatan yang kolaboratif dan dengan semangat gotong royong dalam budaya Sulawesi Selatan, kita bisa berharap pengendalian rabies di provinsi ini akan lebih efektif dan menyeluruh, menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan aman untuk seluruh lapisan masyarakat
Niat beserta Tata Cara Sholat Tahajud di Sepertiga Malam, Lengkap Bacaan Dzikir Setelah Sholat |
![]() |
---|
SAKSI KATA: Pengakuan Dosen UNM Dr QDB Soal Dugaan Pelecehan 'Sakit Hati Saya Sudah Terakumulasi' |
![]() |
---|
Daftar Lengkap Kelas Modifikasi di Honda Modif Contest 2025 Makassar |
![]() |
---|
Honda Dream Cup 2025 di Sidrap Sulsel Hadirkan 15 Kelas Balap Bergengsi |
![]() |
---|
Jaringan Mitra Halal yang Berkelanjutan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.