Opini Muhammad Idris
Gagap Komunikasi di 100 Hari Pertama Kabinet Merah Putih
Alih-alih menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, pernyataan mereka justru kerap dianggap tidak empati.

Gagap Komunikasi di 100 Hari Pertama Kabinet Merah Putih
Oleh: Muhammad Idris
Dosen Ilmu Komunikasi FSIKP UMI / Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam 100 hari kerja kepemimpinan Prabowo – Gibran, semakin sering kita disuguhi sejumlah pernyataan kontroversial dari para pejabat negara.
Tidak jarang ucapan mereka justru memantik polemik. Alih-alih menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, pernyataan mereka justru kerap dianggap tidak empati, tidak simpatik bahkan menyakiti perasaan publik.
Optimisme masyarakat atas kebinet ini justru diawali banyak kontroversi. Gelombang permasalahan memperlihatkan lemahnya tata kelola pemerintahan.
Pemerintahan Prabowo – Gibran seolah terjebak dinamika kekuasaan penuh kegaduhan yang lebih menonjolkan retorika dibanding aksi konkret.
Pernyataan kontroversi yang saat ini ramai dibahas datang dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana. Disebuah forum, Ia mengusulkan serangga seperti belalang dan ulat sagu menjadi menu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Wacana ini dinilai tidak sensitif dan juga melanggar etika publik yang harusnya dijunjung tinggi setiap pejabat negara.
Menteri Hukum, Yusril Ihza Mahendra juga terpeleset kata soal Peristiwa 1998.
Didepan wartawan, Yusril menyebut kasus itu bukan pelanggaran HAM berat. Sontak saja pernyataan yang disampaikan sehari setelah Ia dilantik, langsung mengundang polemic dikalangan aktivis dan pegiat HAM.
Pernyataan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai yang meminta kenaikan anggaran untuk kementriannya dari Rp64 miliar menjadi Rp20 triliun tidak kalah heboh.
Ia berdalih, anggaran itu untuk membangun pusat studi HAM di seluruh Indonesia, termasuk universitas bertaraf internasional. Ini dianggap sebagai langkah sangat ambisius untuk kementerian baru.
Belum lagi pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Wahyu Trenggono soal kasus pembongkaran pagar laut di Kabupaten Tangerang sampai akhirnya berselisih paham dengan TNI Angkatan Laut.
Atau bagaimana rekaman suara berisi kemarahan diduga Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro kepada pegawai rumah dinasnya.
Gaya komunikasi Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka juga menjadi sorotan publik.
Saat berpidato diacara Fatayat NU, Gibran menjadi sorotan ketika menggunakan kata “para-para” saat menyapa hadirin.
Menurut KBBI, kata ‘para-para’ dinilai tidak tepat. Sorotan publik kembali terjadi saat Ia membuka kanal pengaduan
‘Lapor Mas Wapres’ yang dianggap tidak substansial, karena sudah ada aplikasi SP4N LAPOR diera Presiden Joko Widodo.
Presiden Prabowo sendiri sudah beberapakali memunculkan kontroversi karena komentarnya. Dimulai soal wacana pengampunan koruptor, kemudian membuat pernyataan mendukung ekspansi kelapa sawit yang justru memicu deforestasi.
Sontak mendapat kritikan dari aktivis lingkungan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar, mengapa hal ini terjadi?
Padahal, sebagai representasi negara, kemampuan komunikasi publik seharusnya menjadi kompetensi utama yang wajib dimiliki setiap pejabat negara.
Komunikasi Publik, Bukan Sekadar Bicara
Komunikasi publik bukanlah sekadar kemampuan berbicara di depan umum atau menyampaikan pesan secara verbal.
Lebih dari itu, komunikasi publik adalah seni membangun hubungan, menciptakan pemahaman dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat.
Seorang pejabat negara dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, harus mampu menyampaikan pesan dengan jelas, empati, solutif dan relevan dengan konteks sosial yang dihadapi masyarakat.
Beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa banyak pejabat negara minim kemampuan komunikasi publik.
Pertama, kurangnya pelatihan dan pembekalan sebelum pelantikan. Ini karena pejabat negara dipilih atas kepentingan politik, bukan berdasarkan kemampuan komunikasi.
Akibatnya, mereka seringkali gagap komunikasi saat berhadapan wartawan ataupun publik.
Kedua, kultur birokrasi yang hirarkis dan kaku. Dalam lingkungan birokrasi, yang diutamakan adalah kepatuhan dan formalitas, bukan kemampuan berkomunikasi secara terbuka dan empatik.
Ini membuat pejabat negara terbiasa dengan gaya komunikasi satu arah, instruktif dan tidak memperhatikan feedback dari masyarakat.
Ketiga, kurangnya kesadaran akan pentingnya komunikasi publik. Mereka tidak menyadari bahwa setiap ucapan dan tindakan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan memengaruhi persepsi dan kepercayaan publik.
Diera digital, setiap ucapan pejabat negara dengan cepat menyebar dan diinterpretasikan secara beragam oleh masyarakat. Jika tidak dikelola dengan baik, bisa memicu konflik sosial dan politik yang lebih besar.
Bahkan dapat menjadi bahan bakar bagi penyebaran hoaks dan disinformasi.
Dengan kemampuan komunikasi publik yang baik, pejabat negara tidak hanya dapat menjembatani kesenjangan komunikasi dengan masyarakat, tetapi juga membangun kepercayaan dan dukungan publik terhadap sebuah kebijakan.
Pada akhirnya, komunikasi publik yang efektif adalah kunci menciptakan pemerintahan transparan, akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.