Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Imlek 2025

Wayang Potehi: Refleksi Seni Budaya Tionghoa dalam Perayaan Imlek

Perayaan Imlek jadi momen refleksi seni budaya wayang potehi. Moehammad David Aritanto tetap lestarikan warisan ini meski langka di Indonesia.

Sayyid/Tribun Gowa
BUDAYAWAN TIONGHOA - Moehammad David Aritanto, budayawan Tionghoa peranakan, menunjukkan koleksi wayang potehi di rumahnya di Desa Taeng, Gowa, Sulawesi Selatan, Rabu (29/1/12025). Perayaan Imlek jadi momen refleksi seni budaya wayang potehi. Moehammad David Aritanto tetap lestarikan warisan ini meski langka di Indonesia. 

TRIBUN-GOWA.COM – Tahun Baru Imlek merupakan momen refleksi yang sarat makna bagi warga Tionghoa

Perayaan Imlek tahun ini menjadi ajang untuk merefleksikan seni budaya khas Tionghoa.

Momen Imlek juga menjadi kesempatan untuk membangkitkan kembali pertunjukan seni budaya wayang potehi, seni pertunjukan boneka khas Tionghoa yang sudah ada sejak abad ke-17.

Seni ini masuk ke Indonesia pada tahun 1600-an dan menjadi bagian penting dalam perayaan budaya Tionghoa, sehingga wayang potehi memiliki sejarah panjang di Nusantara.

Wayang potehi berasal dari kata "pou" yang berarti kain, "te" yang berarti kantong, dan "hi" yang berarti wayang. 

Secara harfiah, potehi bermakna wayang boneka dari kantong kain.

Wayang potehi, seni khas Tionghoa, terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan desain interior panggung sebagai arena pertunjukan.

Budayawan Tionghoa peranakan, Moehammad David Aritanto, tetap menjaga kelestarian budaya tersebut meski keberadaannya semakin langka di Indonesia.

Sebagai seorang budayawan, David setia pada profesinya dan berusaha mempertahankan seni tradisional ini.

Di rumahnya, berbagai perlengkapan wayang potehi masih terjaga dengan baik, termasuk boneka-boneka kayu yang dihias kain khas kerajaan Tiongkok abad ke-17, serta alat musik tradisional seperti piak-kou (gitar khas Tiongkok), yang menjadi bagian dari koleksinya.

Dalam setiap pertunjukan, sang dalang memasukkan tangan ke dalam boneka kain dan memainkannya menggunakan tiga jari, diiringi musik tradisional.

"Wayang potehi sebenarnya tidak lenyap, tetapi dia memerlukan perhatian dan biaya besar," kata David, di rumahnya, Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel), Rabu (29/1/2025).

Dia menyebutkan, sekali pertunjukan membutuhkan perlengkapan yang sangat banyak, termasuk panggung, alat musik, dan boneka.

Setiap karakter wayang bahkan harus dibuat dalam beberapa versi untuk menggambarkan emosi seperti marah atau tertawa.

David mengaku melestarikan seni ini tidaklah mudah.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved