Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Nurhasan Wafat

Anregurtta Mangkoso Berlinang Air Mata Tausiah di Sisi Jenazah Nurhasan: Siapkan Diri dengan Salat

Ketua Umum IADI Mangkoso KH Arham Basit bermalam di rumah duka. Hadir juga Prof Dr KH Muammar Bakry dan Ketua DDI Sulsel Prof Dr Andi Aderus Banua

|
Editor: AS Kambie
Courtesy: Rizkayadi/alumnus DDI Mangkoso
Anregurutta Mangkoso, AGH Prof Dr M Faried Wadjedy, menyampaikan secaramah takziyah di samping jenazah Nurhasan bin Najamuddin di Maros, Kamis, 16 Januari 2025, pagi. Nurhasan adalah mantan calon Bupati Maros dn caleg DPR RI 2024 dari PAN serta alumnus DDI Mangkoso yang wafat di Jakarta pada Rabu pagi, 15 Januari 2025. 

Anregurutta merunduk lagi ke arah jenazah Nurhasan bin Najamuddin lalu berkata, “Makanya, dia pun berangkat......” 

Suara Anregurutta semakin bergetar dan terhenti. Seakan tak kuasa melanjutkan. 

Suara Anregurutta Mangkoso semakin serak ketika berucap, “Tanpa pamit...daripada kita semua.”

Suara isak semakin jelas terdengar di sela keheningan.

“Dalam hidup ini ada tiga hal yang saling kejar mengejar, manusia, cita-citanya, dan ajalnya. Kita selalu mengejar cita-cita kita, tapi disadari ada ajal mengejar kita dari belakang.... Inilah hidup,” jelas Anregurutta Mangkoso.

“Oleh karena itu, tidak ada kata yang paling teap daripada mari kita menyiapkan diri.
Trdak ada jalan lain... Tidak ada jalan lain...,” katanya menambahkan.

Dengan wajah semakin basah air mata, Anregurutta Mangkoso melanjurkan nasihat kepada anak-anak dan hadirin. 

“Ketika Allah SWT berfirman Qullu nafsin dzaiqatul maut..., setiap yang bernyawa itu pasti akan merasakan kematian. Ini isyarat agar kita memiliki dua kesiapan. Kesiapan pertama yaitu kita sendiri siap mati.... karena tidak ada jalan lain. Kesiapan kedua, ketika orang terdekat kita ditimpa kematian. Jadi siap mati dan siap kematian...”

Anregurutta Mangkoso jeda lagi. Seakan memberi kesempatan hadirin merenung.
Lalu melanjutkan lagi dengan berkata dalam Bahasa Bugis, “Jadi sediaki mateh, sediatokki amateng... dengan meninggalkan orang yang paling dekat dengan kita.”

Anregurutta Mangkoso lalu mengenang peristiwa 40 tahun silam.
Ketika itu, Anregurutta Faried Wadjedy baru enam bulan tiba kembali di Barru, setelah belasan tahun belajar di Mesir. 

“Saya enam bulan ketibaan saya dari Kairo, ternyata tidak tidur di Mangkoso bersama Gurutta Mangkoso (AGH Amberi Said, ayah Anregurutta Faried Wadjedy). Saya tidur di Lapasu. Selesai Shalat Subuh, datang salah seorang adik saya yang bernama Salman, menyampaikan, dengan bahasa kita mengatakan, ‘Nasalaiki Etta...’. Saya tertegun... ‘Nasalaiki...’ Beliau meninggalkan kita. Terus yang terbetik dalam hati saya ‘Narapi’i roh passuke’na... (Bahasa Bugis: Sudah sampai berarti waktunya).

“Inilah yang terjadi pada Ananda Nurhasan. Tidak ada kata yang membuat kita lebih tetap kecuali ‘narapi’i roh passuke’na..’ Sebelum kita lahir sudah ada takdir memang, bahwa di sini batas kamu,” kata Anregurutta Mangkoso.

Anregurutta seakan merenung. Lalu berkata “Siapki....” 

“Daaann... untuk tanda kesiapan kita, tolong...tolong...tolong... jangan lalaikan Salat lima waktu. Yang lain soal kedua, soal ketiga, tapi yang paling penting Salat Lima Waktu, karena inilah kuncinya surga,” jelas Anregurutta Mangkoso.(*) 

 

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved