Nurhasan Wafat
Cacang, Definisi Hidup Kebaikan dan Keikhlasan
Cacang 'dipaksa' ayahnya, nyantri di Mangkoso biar jadi to panrita, ulama. Dua kakaknya, sudah lebih dulu nyantri di Mangkoso, sekitar 120 km utara
Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Edi Sumardi
Thamzil Thahir
Alumnus Ponpes DDI Mangkoso, Editor In Chief Tribun Timur
INGIN dapat predikat orang baik?
Belajarlah dari hidup Nur "Cacang" Hasan (1975- 15 Januari 2025).
"Kita juga banyak susah, Daeng. Tapi kalau ketemu teman jangan beritahu dan perlihatkan kesusahan kita. Tetaplah senyum dan jangan mengeluh."
Kalimat langsung itu, dia ungkap saat dia lagi "menulis" skripsi di tahun ke-9 kuliahnya di IAIN Alauddin Makassar, 2002 dan tengah menyiapkan rencana lamaran ke seorang putri juragan pabrik beras di Tumampua, Pangkep.
Di momen inilah aku baru tahu, Nur Hasan adalah nama lengkap Cacang.
Cacang adik kelasku di pondok pesantren DDI Mangkoso, Barru.
Ia Addariyah (anak Darul Da'wah Wal Irsyad) sejati.
Sejak usia 9 tahun, usia kelas 3 SD dia sudah jadi santri di Mangkoso.
Dia kelas 6 MWB Ibtidaiyah, saya Iddadiyah.
Ini semacam sekolah persiapan setahun jelang masuk tsanawiyah 3 tahun.
Cacang 'dipaksa' ayahnya, nyantri di Mangkoso biar jadi to panrita, ulama.
Dua kakaknya, sudah lebih dulu nyantri di Mangkoso, sekitar 120 Km utara Makassar.
Di Mangkoso kami selalu bertetangga pondokan dan kelas.
Di Kiru-Kiru, -kampung persiapan sebelum menetap di bukit (kampus putra) Tonrong'E-, Cacang tinggal di samping samping pondokku.
Nyaris sabam pagi, atau sore kami bertemu untuk mandi, nyuci dan nyenyek di bantaran Sungai Kiru-Kiru, belakang pondok asrama kami.
Dia tinggal di pondokan anak Istamar: Ikatan Santri asal Maros. Di Kiru-Kiru, setahun lebih, aku tinggal bersama dua santri asal Maros
Kebetulan, ayah dan ibuku juga to Maru' (orang Maros).
Pagi dan siangnya, kami seperjalanan pergi dan pulang dari bukit TonrongE, madrasah kami.
Itu sekitar, 2 km melawati pematang sawah dan menanjak bukit.
Sejak saat itu, aku mengidentifikasi Cacang sebagai kawan bersahabat, selalu membantu, ramah, dan berpenampilan rapi.
Sejak aku mengenalnya tahun 1986 hingga terakhir bertemu fisik, Januari 2024, tak pernah kulihat dahi Cacang berkerut.
Tak pernah kudengar, ia bersuara tinggi.
Tak pernah kulihat atau dengar ia berkonflik terbuka dengan orang.
Tak pernah kudengar dia menyebut nama langsung tanpa atribusi panggilan sematan.
Dia memanusiakan manusia dengan sendi-sendi adat dan agama.
Cacang, senantiasa hormat ke sosok lebih tua.
Cacang menyapa Puang ke para maha guru dan ustad ke guru .
Cacang selalu menyapa nama dengan awalan Daeng, Abang, Mas atau Kak.
Cacang menyapa adik-adiknya dengan Ndi atau Dik.
Di Mangkoso, Cacang rajin silaturahim.
Mendatangi teman-temannya untuk belajar dan mendengar.
Si Cacang memang pintar secara sosial sejak dulu. Dia silaturahim di jam-jam makan siang atau makan malam.
He he he he.
Saat kuliah hukum di IAIN, Cacang terjerembab di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Dia jadi aktivis sejati.
Itulah kenapa gelar SHI-nya, Sarjana Hukum Islamnya, baru dia raih di semester 18.
Kecerdasan sosial adalah instrumen penting untuk jadi politis.
"Cari uang itu kecerdasan ekonomi, Panggil Daeng dan Puang itu kecerdasan sosial," kata Cacang saat awal berkiprah politik praktisnya, awal dekade 2000-an.
Cacang memang anak daerah, aktivis okal, tapi kiprah dan mimpi politiknya selalu nasional.
Cacang kukenal mulai terjun ke politik praktis saat jadi caleg Partai Bintang Reformasi (PBR) untuk DPR-RI.
Dia lah yang memfasilitasi aku bertemu dengan Bursa Zarnubi di Makassar,1999.
Kala itu, aku lagi kerja reporter di desk politik, harian FAJAR, untuk pemilu pertama Reformasi.
Bang Bursa masih fungsionaris DPP PPP. Dua tahun setelahnya, Cacang mengabari.
"Daeng, kami mau bikin partai cabutan PPP, sama Bang Bursa. Bantu ka pemberitaan kodong."
Setelah itu, 2002, Bursa memang jadi ketua umum pertama PBR. Belakangan, PBR bergabung menjadi salah satu partai pembentuk Partai Gerindra.
Di PBR, Cacang meraih suara signifikan untuk duduk di parlemen nasional.
Sayang, PBR tak lolos parliamentary threshold di DPR.
Itulah, menurutku pencapaian politik nasional tertinggi Cacang, sekaligus melambungkan namanya di Sulsel.
Usai Pemilu 2004, setelah Jusuf Kalla jadi Ketua Umum Partai Golkar, aku bertemu Cacang lagi di Jakarta.
Kala itu, 2005-2006 aku jadi reporter banpur (bantuan tempur) politik di DPR Senayan.
Cacang ungkap niatnya bergabung dan jadi caleg di Hanura, partai pecahan Golkar besutan Wiranto.
Aku pun berkelakar, "Kau ini Cang, memang suka partai pecahan."
Kami pun spontan tertawa.
Cacang pun nyaleg.
Dan, 2010 usai gagal ke parlemen nasional, dia mengendarai partai itu untuk maju Pilkada Maros.
Tahun berganti, hasrat politik Cacang tak kunjung padam.
Lima tahun kemudian, Pemilu 2014, Cacang seingatku istirahat nyaleg di dapil "II" Bugis.
Dia membantu Ilham Arief Sirajuddin untuk Pilgub Sulsel.
Namun, dia termyata masih memendam hasrat politik lokalnya.
"Semoga bisa dapat pinangan calon bupati di Maros, Daeng. "
Tahun 2019, dia mengagetkanku.
Tetiba jadi caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Itu partai baru dan sarat kontroversi.
Ternyata, Cacang kembali unjuk akses lobi elitenya di Jakarta.
Dia ternyata akrab dengan Jeffrie Geovanie, si pendiri partai.
Ya, Cacang kembali gagal.
Patah semangatkah dia berpolitik?
Tidak, jelang Pemilu 2019 dia menelponku.
Dia meminta tolong untuk meyakinkan elite PKB Jakarta dan Sulsel, untuk jadi caleg DPR-RI.
Bersama seorang rekan dari DDI, aku pun membuat janjian khusus dengan elite PKB Sulsel.
Sayang, PKB punya dinamika sendiri.
Cacang tak masuk daftar caleg sementara di partai berbasis NU itu.
Sebulan kemudian, Cacang mengejutkanku lagi.
Ternyata Cacang jadi caleg DPR nomor dua dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Di momen ini, 2023 jelang pemilu 2024, Cacang mengemas hasrat politik praktis "ahlu sunnah wal jamaahnya" dengan jadi ketua panitia haul Semesta 88 Tahun DDI, dan memperjuangkan AGH Ambo Dalle jadi pahlawan Nasional.
Selepas itu, dia mengundangku ngopi.
Dia mengabari, jadi koordinator pembebasan lahan jalur kereta api nasional di Barru, Pangkep, Maros dan Makassar.
Di sini, dia sukses meredam potensi konflik lahan.
Lantas Aku bertanya, apa kiatnya.
"Daeng, sejak dulu sejak usai mendudukan Hasanuddin dan Fajar Zulkarnaen jadi Ketum PB HMI, saya belajar ikhlas. Belajar untuk tidak berharap selain kepada Allah SWT."
Selamat jalan, Ndik. Narapini wettutta. Idi manihe mattajeng.(thamzil thahir)
Palu, 15 Januari 2025.
AGH Faried Wadjedy Antar Kepergian Eks Calon Bupati Maros Nurhasan ke Pemakaman |
![]() |
---|
Anregurtta Mangkoso Berlinang Air Mata Tausiah di Sisi Jenazah Nurhasan: Siapkan Diri dengan Salat |
![]() |
---|
In Memoriam Nurhasan: Cacang, Definisi Hidup Kebaikan dan Keikhlasan |
![]() |
---|
Elite PB HMI Jelaskan Kenapa Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Antar Jenazah Nurhasan ke Bandara Soetta |
![]() |
---|
Ketua Yayasan Ponpes DDI Mangkoso: Nurhasan Masa Depan DDI |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.