Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Nurhasan Wafat

Cacang, Definisi Hidup Kebaikan dan Keikhlasan

Cacang 'dipaksa' ayahnya, nyantri di Mangkoso biar jadi to panrita, ulama. Dua kakaknya, sudah lebih dulu nyantri di Mangkoso, sekitar 120 km utara

Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Penulis, Thamzil Thahir (kiri) bersama dengan almarhum Nurhasan atau Cacang (kedua dari kiri) dalam sebuah pertemuan di warung kopi. 

Cacang menyapa adik-adiknya dengan Ndi atau Dik.

Di Mangkoso, Cacang rajin silaturahim.

Mendatangi teman-temannya untuk belajar dan mendengar. 

Si Cacang memang pintar secara sosial sejak dulu. Dia silaturahim di jam-jam makan siang atau makan malam.

He he he he.

Saat kuliah hukum di IAIN, Cacang terjerembab di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

Dia jadi aktivis sejati.

Itulah kenapa gelar SHI-nya, Sarjana Hukum Islamnya, baru dia raih di semester 18. 

Kecerdasan sosial adalah instrumen penting untuk jadi politis. 

"Cari uang itu kecerdasan ekonomi, Panggil Daeng dan Puang itu kecerdasan sosial," kata Cacang saat awal berkiprah politik praktisnya, awal dekade 2000-an.

Cacang memang anak daerah, aktivis okal, tapi kiprah dan mimpi politiknya selalu nasional.

Cacang kukenal mulai terjun ke politik praktis saat jadi caleg Partai Bintang Reformasi (PBR) untuk DPR-RI.

Dia lah yang memfasilitasi aku bertemu dengan Bursa Zarnubi di Makassar,1999.

Kala itu, aku lagi kerja reporter di desk politik, harian FAJAR, untuk pemilu pertama Reformasi.

Bang Bursa masih fungsionaris DPP PPP. Dua tahun setelahnya, Cacang mengabari.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved