Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Nurhasan Wafat

Cacang, Definisi Hidup Kebaikan dan Keikhlasan

Cacang 'dipaksa' ayahnya, nyantri di Mangkoso biar jadi to panrita, ulama. Dua kakaknya, sudah lebih dulu nyantri di Mangkoso, sekitar 120 km utara

Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Penulis, Thamzil Thahir (kiri) bersama dengan almarhum Nurhasan atau Cacang (kedua dari kiri) dalam sebuah pertemuan di warung kopi. 

Di Kiru-Kiru, -kampung persiapan sebelum menetap di bukit (kampus putra) Tonrong'E-, Cacang tinggal di samping samping pondokku. 

Nyaris sabam pagi, atau sore kami bertemu untuk mandi, nyuci dan nyenyek di bantaran Sungai Kiru-Kiru, belakang pondok asrama kami.

Dia tinggal di pondokan anak Istamar: Ikatan Santri asal Maros. Di Kiru-Kiru, setahun lebih, aku tinggal bersama dua santri asal Maros

Kebetulan, ayah dan ibuku juga to Maru' (orang Maros). 

Pagi dan siangnya, kami seperjalanan  pergi dan pulang dari bukit TonrongE, madrasah kami.

Itu sekitar, 2 km melawati pematang sawah dan menanjak bukit.

Sejak saat itu, aku mengidentifikasi Cacang sebagai kawan bersahabat, selalu membantu, ramah, dan berpenampilan rapi. 

Sejak aku mengenalnya tahun 1986 hingga terakhir bertemu fisik, Januari 2024, tak pernah kulihat dahi Cacang berkerut.

Tak pernah kudengar, ia bersuara tinggi.

Tak pernah kulihat atau dengar ia berkonflik terbuka dengan orang.

Tak pernah kudengar dia menyebut nama langsung tanpa atribusi panggilan sematan.

Dia memanusiakan manusia dengan sendi-sendi adat dan agama.

Cacang, senantiasa hormat ke sosok lebih tua. 

Cacang menyapa Puang ke para maha guru dan ustad ke guru .

Cacang selalu menyapa nama dengan awalan Daeng, Abang, Mas atau Kak.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved