Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Lampu Strongking di Pambusuang

PAMBUSUANG, kampung kecil di pesisir pantai Sulawesi Barat. Asal Pendekar hukum, Baharuddin Lopa, juga ex-Rektor Unhas Basri Hasanuddin.

Editor: Muh Hasim Arfah
handover
PAMBUSUANG, kampung kecil di pesisir pantai Sulawesi Barat. Asal tau, dari sinilah muasal jejak, dua tokoh penting republik ini. Pendekar hukum, Baharuddin Lopa, juga ex-Rektor Unhas Basri Hasanuddin. 


Itulah Kawendi, sosok multi-tafsir. Multi-interprerasi. Tak jelas presisi antara waras tak warasnya. Normal, vs ab-normalnya. Mengingatkan saya, pada segelintir orang di banyak literatur. Divonis waras, kian diselami, kian ketakwarasannya tampil. Divonis tak waras, kian diselami, kian kewarasannya muncul.


Socrates, maha guru para filosof terbesar itu, juga di Athena suka keliling kampung. Pakaiannya lusuh, kakinya tak beralas. Dia tak henti bertanya, pada siapa ditemui. Naas baginya, dicap tak waras. Dituduh menghasut kaum muda. Dia divonis hukuman mati, cara dipaksa meminum racun hemlock. Tragis, tapi ajarannya abadi. Sosoknya, dikenang filosof terbesar.


Abu Nawas, lengkapnya Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakam. Di Ahvaz-Persia, dijauhi akibat pemabuk. Sosok kontroversial ini, kelak mewujud penyair nyentrik nan cerdas. Ujung kisahnya, dia penyair sufi. Tiada sanding, tiada tanding, tiada banding. Sajaknya "al-Itiraf" (Pengakuan), tak henti dilantun jutaan santri di pondok-pondok pesantren.


*


Kawendi, bukan filsuf. Namanya, tak ada dalam literatur manapun. Di Google, di Wikipedia, tak muncul. Tapi kelakuannya yang anomali, di siang hari berkeliling kampung menenteng lampu strongking yang menyala, dicap tak waras. Tapi bagi saya, justru itulah dia, diri sejatinya.


Saya datang ke Pambusung, hendak menghikmati misteri itu. Andai Kawendi memang tak waras, cukup saya menindih "undzur ma qoola wa latandzur man qoola". Lihat apa dikata, tau usah lihat siapa berkata.


Jika sedalamnya, Kawendi hendak didaras, di balik kelakuannya termaktub simbol. Di balik ujarannya, tersyirat metafor. Menyentil siapapun kita, agar menghindar, menjauhi kegelapan. Baginya, hakikat kegelapan adalah ketaknormalan. Godaan negatif banyak mendekat, meski wujudnya absurd. 


Lampu strongking yang menyala, dia tenteng siang hari, galibnya cara simbolik mensublimasi kita cara mikrokosmos. Agar, siapapun kita, tak melepaskan diri dari cahaya. Nur penerang dari gulita. Sebab, di kegelapan setan dan kuntilanak banyak gentayangan.


*


Alhasil, meski Kawendi divonis tak waras, tapi takaran saya dia sosok maha penting. Guru pembelajar kehidupan. Sekalipun, sajiannya tak lazim, anomali, ringkih, bahkan antagonis. Tapi, jangan-jangan Kawendi waras. Sebaliknya, justru orang-orang di Pambusuang sana yang tak waras. Sebab siapa waras tak waras, terletak sisi mana, subjek memandang objek.


Tapi, ironisnya lagi, andai saya yang memang tak waras. Kepo, mau ambil peduli pada sosok, sejatinya memang tak waras. Duh, hi hi hi... 


Surabaya, 10 Oktober 2019

(Dimuat ulang dari edisi revisi)

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved