Opini
Fenomena Meta AI : Hiburan Baru atau Ancaman Daya Berpikir Kritis
WhatsApp, sebagai salah satu aplikasi pesan instan terpopuler di dunia, telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari- hari jutaan orang.
Kehadiran Meta AI, yang mampu menjawab berbagai pertanyaan tanpa perlu mencari sumber lain, dapat mengikis kebiasaan ini.
Ketika para pengguna lebih memilih untuk bertanya pada AI daripada mencari jawaban melalui buku, artikel, atau diskusi dengan orang lain, secara tidak langsung telah membunuh daya berpikir kritis untuk memahami berbagai hal secara komprehensif.
Para penggunannya dapat dipastikan cepat mendapat informasi, namun juga akan cepat kehilangan informasinya karena tidak dapat menganalisis secara refklektif melainkan menggantungkan jawaban kepada AI semata.
Fenomena itu sejalan dengan apa yang Slouka sampaikan dalam bukunya Ruang yang Hilang : Pandangan Humanis Tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan.
Slouka percaya bahwa media yang serba cepat cenderung menggantikan refleksi mendalam dengan respons instan.
Proses berpikir yang membutuhkan waktu menganalisis, introspeksi, dan kontemplasi menjadi terpinggirkan.
Media modern lebih menekankan kecepatan daripada kedalaman, sehingga banyak orang terjebak dalam arus informasi yang dangkal.
Ia menyebut bahwa banjir informasi yang terus-menerus dapat membuat individu kehilangan kemampuan untuk memilah mana yang benar-benar penting.
Hal ini berisiko menciptakan masyarakat yang lebih reaktif daripada reflektif. Diskusi dengan sesama manusia juga merupakan cara penting untuk melatih berpikir kritis.
Dalam diskusi, seseorang harus mendengar, memahami, dan merespons sudut pandang yang berbeda.
Namun, dalam konteks interaksi dengan AI tidak memberikan tantangan dan keseruan serupa. Jawaban-
jawaban yang disajikan AI cenderung netral dan tidak memantik perdebatan.
Sehingga para penikmatnya sangat mudah digiring untuk mengikuti setiap jawaban yang ada.
Hal ini mematikan nalar kritis untuk mengasah kemampuan argumentasi dan logika yang sistematis.
Menjawab setiap pertanyaan seolah kita memahami berbagai hal, itu bukan ajang gaya-gayaan, apalagi setiap jawaban yang keluar dari lidah adalah hasil tuntunan AI.
Menurut data UNESCO, masyarakat Indonesia hanya memiliki minat membaca 0,001 persen, itu artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin berjibaku dengan buku.
Universitas Hasanuddin, Menuju Puncak Benua Maritim Indonesia 2026-2030 |
![]() |
---|
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.