Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Pilkada dan Rendahnya Partisipasi Politik

Mengingat sistem demokrasi sebagai suatu proses acuan dalam kerangka bernegara secara ideal melaui sistem politik yang dikenal dengan model Pemilu

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Komisioner KPUD Selayar, Iskandar SE MM 

Iskandar SE MM

Komisioner KPUD Selayar

DALAM sistem demokrasi elektoral tentu banyak hal yang kita temukan dalam proses politiknya.

Mengingat sistem demokrasi sebagai suatu proses acuan dalam kerangka bernegara secara ideal melaui sistem politik yang dikenal dengan model Pemilihan Umum (Pemilu).

Sejarah pemilihan umum adalah juga sejarah perpolitikan yang menjadikan demokrasi sebagai sumber atau panduan. 

Demos-kratos, secara terminologis berarti pemerintahan rakyat--sehingga sistem demokrasi bisa dipahami sebagai suatu sistem yang akan menegasikan tentang pemerintahan rakyat.

Proses politik yang dikemas dalam konsep demokrasi tentu akan sangat memungkinkan upaya transformasi tumbuhnya partisipasi publik terhadap proses politik yang ada. 

Menegok sejarah kepemiluan Indonesia sejak tahun 1955 hingga pelaksanaan pilkada serentak saat ini tentu akan sangat berbeda.

Bukan hanya sistem, model, nomenklatur, serta pilihan-pilihan politiknya tetapi yang terpenting adalah tingkat partisipasi politik publik dalam ruang demokrasi. Idealnya, demokrasi yang ingin menegaskan kepemimpinan dan keterwakilan politik rakyat melalui sistem pemilihan umum haruslah berbanding lurus dengan tingkat partisipasi publik. 

Baca juga: Pilkada dan Redemokratisasi Lokal

Sebab ini adalah satu dari sekian untuk mengukur indeks demokrasi. Logikanya semakin tinggi partisipasi publik semakin memberi efek elektoral terhadap pemimpin yang dihasilkannya. 

Karena itu untuk merespon kenapa tingkat partsipasi publik dari pemilu ke pemilu mengalami fluktuatif.

Secara historikal, proses pemilihan umum atau pergantian kekuasaan yang kemudian proses politik sebagai ruang kontekstasi tentu ada beberapa faktor yang berpengaruh akan partisipasi publik:

1. Tingkat kecerdasan dan kedewasaan berpolitik rakyat yang masih cukup rendah, dengan anggapan kalau politik itu jahat dan kotor, sehingga mereka memilih apatis dan skpetis.

2. Apriori terhadap figur yang ada.

3. Tak tersentuh serangan fajar (money  politic).

4. Faktor alam dan cuaca, yang menyebabkan mereka tidak dapat ke TPS menyalurkan aspirasi politiknya.

Asumsi itu secara deskriptif sangat memungkinkan rendahnya partisipasi publik dalam proses politik. 

Di samping itu sejak pilkada langsung 2015 hingga Pilkada serentak tahun 2024 tentu tingkat partisipasi politik akan mengalami pasang surut.

Terkait Pilkada serentak 2024 ini tingkat partispasi publik begitu menurun drastis.

Ini bukan perkara Golput atau semacamnya, tetapi memang perlu evaluasi secara serius—angka partisipasi menurun bisa dipahami; karena waktu yang mepet dalam penyelenggaraan pemilihan umum Pilpres dan Pileg, kemudian dalam waktu yang tidak lama kita melaksanakan Pilkada serentak.

Asumsi publik bisa diterima secara logis, yang hampir setiap saat disuguhi berbagai soal-soal politik sementara ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja.

Sehingga concern publik terlibat dalam politik begitu kecil dan menurun. 

Angka partisipasi publik di Pilpres tentu cukup tinggi, dengan asumsi bahwa kontekstasi Pilpres kemarin yang menghadirkan figur-figur potensial seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan dan ganjar Pranowo.

Partisipasi itu sangat dipicu oleh faktor ketokohan dan figuritas calon walau dipenuhi dengan berbagai sentimen.

Tetapi faktor ketokohan turut memberi andil besar didalam menyokong tingkat partsipasi publik. 

Rendahnya angka partisipasi publik dalam politik bukan berarti hasil proses politik itu tidak legitimated, hanya saja memang jika angka itu terlalu tinggi justru menjadi ancaman bagi kehidupan berdemokrasi.

Bagi Jurgen habermas--legitimasi politik itu bisa terjadi karena proses politik yang prosedural, tetapi kekuasaan itu menjadi “krisis legitimasi” bila partisipasi politik publik rendah.

Legitimasi memungkinkan bila dukungan elektoral juga tinggi secara signifikan. 

Siapa yang salah

Ini problematik dalam sistem penyelenggaraan kepemiluan kita mengingat faktor-faktor tersebut diatas.

Sikap apriori dan skeptisme yang sangat mungkin diakibatkan oleh kondisi ekonomi masyarakat yang tidak sebanding dengan isu-isu politik yang terus menerus mengisi ruang publik.

Bisa jadi kejenuhan dan kejengahan publik terhadap proses politik yang tidak lagi relevan dan tidak memberi dampak pada kehidupan ekonomi mereka, sehingga Golput, apatisme, dan sikap acuh yang menyebabkan mereka tidak menyalurkan aspirasi politiknya. 

Anakronisme mahar politik misalnya sebagai bagian dari fenomena politik di Pilkada turut menyumbang angka rendahnya partisipasi publik.

Kenapa? jual beli kursi partai politik yang bernilai fantastis untuk dijadikan instrumen politik untuk memasuki arena kontekstasi menyebabkan “politik yang berbiaya mahal” dari sini publik membaca.

Lalu buat apa memilih pemimpin kalau semuanya diawai dari politik transaksional—di mana pemimpin yang akan terpilih justru tidak lagi berpikir bagaimana mensejahterakan rakyatnya, sebab mereka berfikir bagaimana mahar, uang kampanye, serta hutang-hutang politik yang harus segera dikembalikan.

Dari sinilah skeptisme itu muncul. 

Pada masyarakat kritis—religius memandang budaya politik transaksional sesuatu yang “haram” maka mereka memilih apatis untuk tidak memilih.

Ini juga satu faktor turunnnya angka partisipasi publik dalam politik.

Apakah mereka salah atau bertentangan dengan undang-undang?

Tentu jawabannya mereka tidak salah, dan mereka juga tidak melanggar undang-undang. Karena dalam konstitusi negara setiap warga negara dijamin haknya untuk menentukan pilihan politiknya—dan secara implisit sila keempat Pancasila menjelaskan makna “kerakyatan dan permusyawaratan” itu sebagai ikhwal pendirian politik setiap warganegara.

Bahkan dalam UUD 45 disebutkan kalau kedaultan itu ada ditangan rakyat. Artinya legitimasi kekuasaan itu ada pada kedaulatan rakyat. 

Maka dari itu, baik itu penyelenggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu, partai politik, media, NGO serta akademikus memiliki peran yang vital dalam proses pendewasaan serta kecerdasan politik rakyat.

Partai politik bukan hanya berfungsi sebagai instrumen dalam proses politik, tetapi fungsi pendidikan politik sangat dimungkinkan untuk dilakukan.

KPU dan Bawaslu mesti harus digenjot lagi untuk memaksimalkan sosialisasi kepemiluan ditengah masyarakat.

Sebab persoalan kontekstasi politik tak sekedar kalah menang tetapi lebih dari pada itu ini soal “legitimasi dan legacy politik.”

Demokrasi menurut Francis Fukuyama adalah persoalan sejagat umat manusia—maka karena menjadi soal umat sejagat, maka demokrasi sebagai pilihan sistem politik untuk mengelola tata bernegara dengan baik, haruslah ditopang dengan legitimasi politik yang kuat dengan cara meningkatkan partisipasi politik sebagai bentuk kesadaran dan kedewasaan dalam berdemokrasi.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved