Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Pilkada dan Rendahnya Partisipasi Politik

Mengingat sistem demokrasi sebagai suatu proses acuan dalam kerangka bernegara secara ideal melaui sistem politik yang dikenal dengan model Pemilu

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Komisioner KPUD Selayar, Iskandar SE MM 

Sikap apriori dan skeptisme yang sangat mungkin diakibatkan oleh kondisi ekonomi masyarakat yang tidak sebanding dengan isu-isu politik yang terus menerus mengisi ruang publik.

Bisa jadi kejenuhan dan kejengahan publik terhadap proses politik yang tidak lagi relevan dan tidak memberi dampak pada kehidupan ekonomi mereka, sehingga Golput, apatisme, dan sikap acuh yang menyebabkan mereka tidak menyalurkan aspirasi politiknya. 

Anakronisme mahar politik misalnya sebagai bagian dari fenomena politik di Pilkada turut menyumbang angka rendahnya partisipasi publik.

Kenapa? jual beli kursi partai politik yang bernilai fantastis untuk dijadikan instrumen politik untuk memasuki arena kontekstasi menyebabkan “politik yang berbiaya mahal” dari sini publik membaca.

Lalu buat apa memilih pemimpin kalau semuanya diawai dari politik transaksional—di mana pemimpin yang akan terpilih justru tidak lagi berpikir bagaimana mensejahterakan rakyatnya, sebab mereka berfikir bagaimana mahar, uang kampanye, serta hutang-hutang politik yang harus segera dikembalikan.

Dari sinilah skeptisme itu muncul. 

Pada masyarakat kritis—religius memandang budaya politik transaksional sesuatu yang “haram” maka mereka memilih apatis untuk tidak memilih.

Ini juga satu faktor turunnnya angka partisipasi publik dalam politik.

Apakah mereka salah atau bertentangan dengan undang-undang?

Tentu jawabannya mereka tidak salah, dan mereka juga tidak melanggar undang-undang. Karena dalam konstitusi negara setiap warga negara dijamin haknya untuk menentukan pilihan politiknya—dan secara implisit sila keempat Pancasila menjelaskan makna “kerakyatan dan permusyawaratan” itu sebagai ikhwal pendirian politik setiap warganegara.

Bahkan dalam UUD 45 disebutkan kalau kedaultan itu ada ditangan rakyat. Artinya legitimasi kekuasaan itu ada pada kedaulatan rakyat. 

Maka dari itu, baik itu penyelenggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu, partai politik, media, NGO serta akademikus memiliki peran yang vital dalam proses pendewasaan serta kecerdasan politik rakyat.

Partai politik bukan hanya berfungsi sebagai instrumen dalam proses politik, tetapi fungsi pendidikan politik sangat dimungkinkan untuk dilakukan.

KPU dan Bawaslu mesti harus digenjot lagi untuk memaksimalkan sosialisasi kepemiluan ditengah masyarakat.

Sebab persoalan kontekstasi politik tak sekedar kalah menang tetapi lebih dari pada itu ini soal “legitimasi dan legacy politik.”

Demokrasi menurut Francis Fukuyama adalah persoalan sejagat umat manusia—maka karena menjadi soal umat sejagat, maka demokrasi sebagai pilihan sistem politik untuk mengelola tata bernegara dengan baik, haruslah ditopang dengan legitimasi politik yang kuat dengan cara meningkatkan partisipasi politik sebagai bentuk kesadaran dan kedewasaan dalam berdemokrasi.(*)

Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved