Opini
Forum Kemanusiaan Lintas Agama: Legasi Prof Dr Wahyuddin Naro untuk Relasi antar Agama di Sulsel
Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.
Oleh: Syamsul Arif Galib
Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy / Dosen Studi Agama-Agama UIN Alauddin Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Ada pribahasa yang sangat jamak diketahui dalam masyarakat Indonesia.
Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.
Sebuah pribahasa yang ingin menekankan bahwa kepergiaan seseorang tidak akan serta merta membuatnya dilupakan. Apalagi jika ada legasi yang ditinggalkannya.
Hal yang sama dengan Prof. Dr. H. Wahyuddin Naro, M.Hum. Kepergiannya yang mendadak menandai akhir perjalanannya di dunia.
Namun meskipun demikian, legasi yang ditinggalkannya akan tetap ada dan dapat menjadi pelajaran terhadap generasi setelahnya.
Dari sekian banyak hal yang dilakukannya, salah satu legasi dari Prof. Dr. H. Wahyuddin Naro, M.A adalah terbentuknya Forum Kemanusiaan Lintas Iman (FKLA) di Sulawesi Selatan.
Forum ini digagasnya beberapa tahun sebelum dirinya terpilih menjadi Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama Sulawesi Selatan.
Saat itu adalah saat sulit dalam sejarah kemanusiaan umat manusia karena kita dihadapkan pada sebuah situasi bernama pandemi Covid 19 dan beliau didaulat menjadi Ketua Komisi Hubungan antar Umat Beragama MUI Sulawesi Selatan.
Dalam suatu pertemuan komisi, ide untuk melaksanakan Silaturahmi Majelis Agama Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan muncul.
Namun beliau menginginkan agar pertemuan tersebut tidak hanya sekedar pertemuan, namun dapat menghasilkan sesuatu. Maka digagaslah pembentukan Forum Kemanusiaan Lintas Iman.
Prof Naro, begitu beliau biasa disapa, menganggap bahwa perlu ada forum yang menjadi forum bersama bagi umat beragama yang terlibat aktif dalam kegiatan bersama.
Persoalan toleransi dianggapnya sudah selesai. Setiap agama pasti mendukung gagasan tersebut.
Baginya perjumpaan demi perjumpaan yang dilakukan oleh wakil dari umat beragama harus melangkah lebih jauh.
Perjumpaan itu harus melahirkan sesuatu atau setidaknya menghadirkan sebuah kegiatan.
Bukan hanya sekedar bertemu. Perlu ada ruang bersama di mana pemeluk agama melakukan kegiatan bersama-sama dan setiap umat beragama meyakini bahwa kegiatan itu merupakan bagian dari ajaran agamanya.
Sebuah kegiatan yang ketika dilaksanakan maka Umat Islam akan merasa bahwa itu adalah perintah ajaran Islam, Umat Kristen akan merasa itu sebagai bagian ajaran Kristen, pun demikian halnya dengan umat Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Yang dibutuhkan dalam dialog antar iman bukan hanya sekedar dialog formal namun lebih kepada dialogue of life. Sebuah konsep dialog yang ditunjukan melalui kegiatan kegiatan bersama.
Isu yang dianggap menjadi isu yang mempertemukan semua kepentingan umat beragama tersebut adalah isu kemanusiaan.
Itulah sebabnya maka Forum Kemanusiaan Lintas Agama dipilih menjadi nama. Dia merepsesentasikan titik temu agama-agama dan menjadi ruang bersama untuk gerakan lintas agama.
Salah satu hal menarik yang terjadi sebelum pembentukan kegiatan itu adalah saat menentukan kapan dan majelis lembaga apa saja yang akan diundang dalam deklarasi tersebut.
Saat itu diputuskan bahwa setiap agama akan diundang Majelis agamanya masing-masing. Namun muncul kebingungan saat akan mengundang teman-teman umat Buddha.
Apakah akan mengundang wakil dari Walubi atau mengundang wakil dari Permabudhi.
Di saat yang lain bingung, Prof Naro memilih untuk mengundang keduanya. Dengan begitu setiap majelis akan merasa terwakilkan.
Ini memberikan pengajaran bahwa konflik dan perbedaan bukanlah hal yang harus dihindari.
Cara menghadapi konflik bukanlah menghindari namun menyelesaikannya. Tidak boleh ada yang merasa ditinggalkan. “Kita undang semua,” begitu ujarnya.
Maka pada hari Ahad, 11 Desember 2021, bertempat di LT 7 Sultan Alauddin Hotel and Convention, UIN Alauddin Makassar, Forum Kemanusiaan Lintas Agama (FKLA) Sulawesi Selatan dideklarasikan.
Piagam deklarasi ditandangani oleh tujuh wakil Majelis Agama yakni; Pendeta Adrie O. Massie dari PGIW Provinsi Sulawesi Selatan.
Pastor Albert A. Arina dari Keuskupan Agung Provinsi Sulawesi Selatan, I Made Sukarta dari PHDI Sulawesi Selatan, dr. Ferdy M Sutono dari Matakin Sulawesi Selatan, Henry Sumitro dari Walubi Provinsi Sulawesi Selatan, Dr. Ir. Yongris Lao, MM, dari Permabudhi Sulawesi Selatan dan Prof. Dr. K.H. Najmuddin. H. Abd. Safa Lc, M.A dari Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan.
Kepiawaian dan pengalaman Prof Naro sebagai organisatoris saat itu juga terlihat dalam mengolah forum.
Terbukti, alih alih memunculkan konflik, forum yang baru saja dideklarasikan langsung mendapatkan dana segar hasil dari sumbangan Majelis Agama sehingga sesaat setelah dideklarasikan, maka saat itu pula dibicarakan kegiatan apa yang akan dilaksanakan.
Sejak saat itu hingga tahun 2024, Forum Kemanusiaan Lintas Agama Sulawesi Selatan aktif melaksanakan kegiatan kegiatan yang tidak hanya dalam bentuk dialog formal namun dalam bentuk dialog kehidupan dengan mengadakan Bakti Sosial dan Donor Darah.
Kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan di Rumah Ibadah yang secara simbolik ingin menunjukkan bahwa perjumpaan agama menjadi sangat mungkin jika dibangun dalam kerangka kemanusiaan.
Selain itu, adanya kegiatan ini juga dapat mengurangi rasa keengganan dan ketakutan ke tempat ibadah orang lain karena yang dilakukan adalah donor darah ataupun booster vaksin yang bukan dalam bentuk ibadah penyembahan.
Kepergian Prof Naro tentu saja memberi dampak. Seringkali, dalam banyak gerakan sosial, gerakan itu akan terhenti jika tokohnya meninggal.
Hal yang sama juga terjadi dalam gerakan lintas iman di mana ketokohan menjadi sangat penting.
Acapkali ada daerah yang pada suatu masa dipenuhi oleh gemerlap kegiatan lintas agama namun setelahnya tiba tiba terhenti. Salah satunya karena tokohnya pindah tempat, atau meninggal.
Itu tantangan yang harus dijaga oleh Forum Kemanusiaan Lintas Agama (FKLA) Sulawesi Selatan untuk terus menghidupkan semangat kemanusiaan melalui perjumpaan iman.
Forum Kemanusiaan Lintas Agama menjadi bukti nyata sebuah forum yang menjadi simbol perjumpaan agama-agama pada satu nilai universal yang sama yakni isu kemanusiaan.
Dalam sejarah umat manusia, tentu tidak ada yang dapat melawan takdir kematian. Prof. Wahyuddin Naro menjalani takdir tersebut.
Namun, mereka yang masih menjalani takdir hidupnya punya kesempatan untuk melanjutkan apa yang telah digagasnya, dalam hal ini Forum Kemanusiaan Lintas Iman Sulawesi Selatan.Wallahu A’lam bi Asshwwab
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.