Opini Sudirman Nasir
Pilpres Amerika Serikat dan Fenomena Jurang Jender
Dukungan besar kalangan laki-laki untuk Trump pada pilpres 2024 membuat sejumlah pengamat menyebut fenomena ini sebagai testosterone ticket
Nilai-nilai tradisional seperti laki-laki sebagai penyedia atau pemberi nafkah ( bread winner ideology ) dan kepala atau pelindung keluarga tetap masih dominan dianut banyak kalangan laki-laki sementara kondisi sosial dan ekonomi mereka seringkali tertinggal dan kesulitan menerjemahkan ideologi atau peran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Makin tergerusnya industri manufaktur dan fenomena deindustrialisasi di AS membuat banyak lapangan kerja kerah biru yang didominasi kalangan laki-laki berkurang. Pengangguran di kalangan laki-laki khususnya yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi kian besar dan diikuti oleh kekecewaan sosial-ekonomi yang dalam.
Maskulinitas yang cedera itu yang efektif dieksploitasi kubu Trump lewat retorika hipermaskulin untuk meraih dukungan lebih besar kalangan ini. Retorika terkait maskulinitas dan pemimpin kuat (strong man) dikombinasikan dengan retorika agresif mengenai kalangan imigran khususnya dari negara-negara Amerika Latin yang oleh kubu Trump disebut sebagai ancaman bagi AS (seperti merampas lapangan kerja dan memicu kriminalitas di banyak kota).
Sebaliknya, kubu Harris mengelola keterbelahan jender dengan menggencarkan kecaman pada retorika agresif dan program kubu Trump yang mereka sebut sebagai memecah-belah dan sarat kebencian atau sikap pateralistik pada kalangan perempuan.
Kubu Kamala Harris juga menonjolkan pandangan mereka terkait kesejahteraan-kesehatan, termasuk kesehatan perempuan dan lebih khusus lagi yang terkait dengan kesehatan seksual-reproduksi seperti hak aborsi dan hak kontrasepsi. Kampanye Harris memiliki resonansi cukup besar dari kaum perempuan karena masalah ini oleh banyak kalangan perempuan di AS dianggap dekat dengan kepentingan dan kehidupan sehari-hari mereka.
Namun kubu Trump ternyata lebih berhasil mengelola jurang jender yang lalu mengantarnya memenangkan pilpres AS.
Bagaimanapun AS adalah negara adidaya dan karena itu banyak negara termasuk Indonesia bersiap menyesuaikan diri dengan kebijakan AS di bawah Trump, seperti kebijakan yang lebih fokus ke dalam negeri (America First), yang tentu memiliki implikasi pada ekonomi global, serta kebijakan luar negeri yang cenderung impulsif dan menjauhi multilateralisme.****
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.