Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Mengelola TIK dan Sekolah Asrama

Sekolah asrama ingin memastikan keamanan murid-murid yang menginap dengan membatasi ponsel.

zoom-inlihat foto Mengelola TIK dan Sekolah Asrama
dok pribadi
Baharuddin Iskandar

Mengelola TIK dan Sekolah Asrama

Oleh : Baharuddin Iskandar

 (Praktisi Pendidikan)


TRIBUN-TIMUR.COM - “Ingat ya, pukul 10 malam!”

“Baik, Pak!”

“Matikan lampu! Ingat!”

“Baik, Pak”

Percakapan ini,  baik-baik saja. Percakapan ini kemudian tidak baik-baik keesokan harinya.  

“Kenapa telat?”

“Maaf, Pak!”

“Bangun,-mu, telat!”

“Maaf, Pak”

“Kan aku sudah bilang, matikan, sebelum pukul 10, biar tidak telat subuh.”

“Maaf, Pak”

Ya, percakapan ini sering terjadi di sekolah-sekolah asrama. Karena terlalu sering, sehingga muncul aturan seperti itu, dilarang menggunakan hape dan kurangi menggunakan laptop di malam hari.

Benar adanya. Pembelajaran yang ketat di sekolah asrama sehingga terjadi seperti ini. Beban belajar yang banyak, malam bahkan subuh hari sehingga laptop menjadi asing ketika sudah di asrama.

Banyak juga melanggar. Murid terlambat masuk tempat ibadah gara-gara masih asyik menggunakan laptop hingga larut malam. 

Mungkin, mungkin saja, di sekolah non asrama, belajar hingga larut malam biasa saja. Hanya saja, sekolah asrama dan ada aktivitas malam hari sehingga ada pembatasan tidur. Segera cepat tidur, ada terbiasa bangun lebih pagi. 

Tentu itu berlaku untuk laptop. Bagaimana  dengan ponsel. Jawabannya, sekolah asrama memberi pembatasan, bahkan melarang gawai ini berada di lingkungan sekolah.

Poin pertama, ponsel dianggap mengganggu konsentrasi belajar. Dia dianggap menjadi biang besar dalam proses belajar. Notifikasi ponsel dapat mengalihkan perhatian siswa.

Poin kedua, keamanan. Bukankah sekolah asrama ingin memastikan keamanan murid-murid yang menginap. Bisa saja, ia menjadi alat komunikasi dengan orang tidak dikenal, sehingga orang tidak dikenal ini masuk ke lingkungan asrama.

Poin-poin lainnya tentu banyak. Sekolah asrama memutuskan agar ponsel dikurangi penggunaan di sekolah, dibatasi, bahkan dilarang.  Jadi jelaslah alasan jika ponsel di sekolah asrama kemudian di asingkan. 

Pertanyaan sekarang, apakah sekolah asrama masih akan menjadi primadona di masa datang. Sekolah asrama yang kelak dihuni murid-murid alpa. 

Murid kelahiran 2013 dan sejak kecil sudah mengenal ponsel dan laptop. Murid yang sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari dengan benda itu.  

Makanya, sekolah asrama tentu perlu berbenah dan membuat kreasi. 

Cara paling tepat adalah melakukan asesmen. Apa keinginan dan minat dari murid? Mereka pasti punya potensi, punya bakat luar biasa dan ketika diketahui dan diberikan maka menjadi motivasi untuk belajar menjadi meningkat.

Asesmen menjadi penting, dan tentu akan semakin penting ketika  pembelajaran diberikan TIK, ponsel dan laptop terjasi sekolah dan di dalam kelas-kelas.  

Tentu bakat dan minat murid berkembang. Pembelajaran semakin menarik karena diberikan dengan benda yang menjadi akrab dan karib mereka.

Jika demikian, maka tujuan pendidikan nasional tercapai. Tujuan meningkatkan potensi peserta didik dapat dicapai dari  menemukan bakat dan minat. Lalu disajikan dengan keahlian teknologi murid-murid alpa.

Pertanyaan, apakah bisa untuk sekolah asrama. Tentu bisa, dan disitu perlu dibicarakan dari hati ke hati, peserta didik. Tidak membuat aturan dan tata tertib jelas. Lalu pembelajaran TIK yang menarik, dan sesuai bakat minat maka tentu menjadi pilihan dan alternatif.

Seterusnya, apakah bisa dilaksanakan. Tentu perlu simulasi dan ujicoab sebelum dilaksanakan.

“Ada hape-ku?”

Percakapan yang bahagia, tiba-tiba berubah. Sang Ibu yang tadi mau mengantar anak nya kembali ke sekolah asrama, meninggi nada suaranya. “Mau bawa hape?”

“Tidak!” belum sempat jawab, pertanyaan itu dijawab sendiri, Sang Ibu. Dalam pikiran, ia memasukkan sekolah asrama agar anak nya terbebas dari belenggu ponsel. Belenggu game online, scroll medsos, atau youtube. Ponsel seolah penghilang waktu. Waktu sejam menjadi singkat di hitungan menit.

Beginilah fenomena saat ini. Sekolah asrama menjadi pilihan. Ia menjadi layanan, seolah roh pembebas. Masukkan ke sekolah asrama, ponsel tidak ‘menggerogoti' lagi.

Kelihatan seperti ini, terjadi kemudian. Aturan yang ketat menyebabkan banyak sekolah asrama, membuat larangan.  Dilarang membawa hape ke sekolah! Tata tertib ini ditujukan agar murid terbebas dari pengaruh dunia luar. Bisa-bisa malas belajar, karena asyik dengan ponsel.

Tentu perlu diskusi panjang terkait ponsel digunakan di sekolah asrama. Apakah boleh atau tidak boleh, butuh kajian. Apa kelemahan dan apa kekurangannya?

Jika menafakuri hal ini, tentu menarik dengan pembelajaran-pembelajaran yang saat ini gencar dikreasi Sahabat Pembatik Sulsel 2024 di Pinrang (akronim dari pembelajaran berbasis TIK).

Misalnya ia mengatakan, bahwa ia menarik minat menarik peserta didik dengan menggunakan hape. Katanya, kelas yang tadinya garing berubah menjadi kelas kayak suporter sepakbola. “Ribut dan lebih mudah diarahkan muridnya,” akunya.

Cerita Sahabat Pembatik Sulsel, 2024 lain lagi. Ia menyampaikan kreasinya di berbagai praktik-nya bahwa youtube bagus untuk pembelajaran. “Bukankah platform ini, melekat dan sangat dekat dengan dunia murid?”

“Ya,  tayangan youtube saya kreasi. Berhenti sejenak dan baru bisa lanjut ketika sudah menjawab soal yang diberikan di tayangan itu.

Tentu menarik cerita dan kreasi Sahabat Pembatik lainnya jika disimak. Ada sejumlah catatan menarik. Apalagi Indeks Pembangunan TIK Indonesia (BPS, 2023)  dari skala 0-10  baru mencapai 5,85. Makanya, jika TIK dan ponsel masuk dalam pembelajaran maka ada daya dorong.

Pertanyaan sekarang, apakah layanan ponsel atau layanan TIK, cocok atau tidak cocok? Cocok untuk sekolah reguler, dan tidak cocok untuk sekolah asrama. Pertanyaannya ini, tentu ada jawabannya.

Suka atau tidak suka, sekolah asrama sudah harus memikirkan cara, ponsel digunakan oleh murid.  Sekolah asrama sudah harus tampil memikirkan bukan lagi mendidik murid, tapi memikirkan pola pikir murid. 

Murid milenial atau Murid Y yang lahir tahun 1981 hingga 1996 adalah murid yang yang sudah tidak ada di ruang-ruang kelas. Generasi yang tumbuh bersama TIK telah menjadi guru di dalam kelas.  

Lalu murid Z yang lahir tahun 1997 hingga 2012 adalah murid yang tumbuh dengan dalam TIK sangat maju. Ciri mereka adalah kreatif dan pragmatis dengan teknologi. 

Duh, murid alpa yang lahir tahun 2013 sampai sekarang, sudah  ada di jenjang sekolah dasar. Murid yang sangat kenal dengan internet ini. Sangat kenal internet dan TIK sejak bayi. Kelak, kelas-kelas dengan kemampuan di atas rata-rata TIK, berhadapan dengan guru-guru yang melarang menggunakan internet dan ponsel.

Saya kemudian tiba-tiba teringat dengan kisah seorang ibu guru di Kabupaten Barru. Perjanjian kelas-nya, jelas. Dilarang menggunakan ponsel dalam kelas. Kemudian si murid menggunakan ponsel saat pembelajaran berlangsung. Terjadi kemudian, ponsel disita, dan wajib dibawa pulang ke rumah guru. Nanti pertemuan diberikan.

Apa yang terjadi kemudian, si murid ketika pulang membuntuti sang guru. Membuntuti hingga ke rumah. “Bu, hape-ku?”

Jika demikian, lalu apakah ponsel, cocok atau tidak cocok di sekolah asrama. Jawabannya adalah kreasi. Butuh perjuangan ekstra, di zaman saat ini. (*)

 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved