Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Catatan di Kaki Langit 

Dahlan Iskan

Kawan itu sendiri menjawabnya:  "boleh, boleh saja, sebagai bentuk sosial kemasyarakatan!" Saya bisa memahami perspektif kawan itu.

Editor: Sudirman
DOK TRIBUN TIMUR
Prof M Qasim Mathar 

Oleh: M Qasim Mathar

Cendekiawan Muslim, Pendiri Pesantren Matahari

TRIBUN-TIMUR.COM - Seorang kawan bertanya, apakah boleh mengikuti atau menjalankan agama buatan manusia atau tradisi?

Kawan itu sendiri menjawabnya:  "boleh, boleh saja, sebagai bentuk sosial kemasyarakatan!" Saya bisa memahami perspektif kawan itu.

Pertanyaan kawan yang dijawabnya sendiri dan saya mengapresiasinya itu muncul setelah beredar vidio Dahlan Iskan di suatu klenteng (mungkin) setelah upacara memandikan patung Dewa Dewi penganut Budha, membawa dan meletakkan kembali patung itu ditempatnya.

Berbagai tanggapan muncul. Foto-foto Dahlan Iskan di klenteng bersama Suryadharma Ali (menteri agama waktu itu) dan dalam upacara bersih-bersih klenteng jelang tahun baru Imlek Pebruari 2024, dimunculkan kembali. 

Ada orang memurtadkan Dahlan Iskan. Entah Dahlan Iskan yang muslim itu merasa diri murtad.

Semoga saja orang yang dimurtadkan menyadari bahwa dirinya murtad.

Tentu kalau itu disadari, cukup ia mengatakan saya pindah agama (keyakinan).

Tapi, saya tidak membaca bahwa Dahlan Iskan menyatakan diri pindah agama atau keluar dari Islam.

Yang saya baca, juga vidio, Dahlan menyatakan dia menjadi anggota dari satu kelompok yang bukan agama yang tidak bicara tentang sembahyang, doa dan ritual lainnya yang dikenal selama ini dalam agama-agama.

Itulah yang dimaksud kawan di atas "boleh saja sebagai bentuk sosial kemasyarakatan".

M. Saleh Mude, kawan yang sedang studi di Amerika Serikat, mengutip pernyataan Alwi Shihab bahwa, "semakin banyak membaca, semakin inklusif seseorang".

Agaknya, memang semakin memahami Islam, seseorang akan tampak semakin longgar dalam beragama.

Cak Nur menganalogikan Islam dan ummat Islam seperti bola dan anak kacil.

Anak kecil yang sudah mahir memainkan dan telah lama memiliki bola mainannya itu, tidak khawatir, bahkan senang, bila ada anak lain yang mau ikut main atau ambil bola itu. 

Tapi anak yang baru memiliki bola itu dan belum mahir memainkan bola itu, akan terganggu dan takut/terancam jika ada anak lain yang mau ambil dan ikut memainkan bola itu. Karena itu, pada garis besarnya, ada ummat yang tampak longgar, toleran, dan terbuka.

Ada juga yang sebaliknya, ketat, berprasangka dan tertutup.

Longgar beragama berarti ringan dalam berislam, bersikap memahami praktik Islam yang berbeda (antara dirinya dan sesama muslim lainnya), bergiat pada kerja (amal) yang lebih luas ketimbang berkubang bicara pada perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam ummat sebagai cermin kesempitan perspektif, menghargai kerja (amal) kebaikan setiap orang atau kelompok, dan menjauhkan diri dari bernarasi tentang aib orang.

Dulu waktu masih di SMP lalu ke PGA, saya juga berpaham sempit dalam beragama.

Agama itu jalan lurus dan hanya satu jalan lurus, yaitu agama yang saya anut, Islam sebagai yang saya definisikan pada masa itu. Islam yang sempit.

Nabi SAW berkata: saat ini orang Yahudi cemburu terhadap agama yang saya bawa. Sebab, agama yang saya bawa mengandung di dalamnya "alhanifiah assamhah", "kelurusan" dan "kelapangan". Mazhab⊃2; dan aliran⊃2; kita toleransi.

Fundamentalisme, liberalisme, modernisme, bahkan sekularisme Islam ditoleransi. Yang ditolak ialah beragama anarkis dan kekerasan. Dalam perspektif Islam "alhanifiah assamhah" kita melihat berita Dahlan Iskan yang disebut di atas.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Financial Wellness

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved