Headline Tribun Timur
Kampus Negeri Rawan Pelecehan Seksual
Dari empat kasus itu, satu di antaranya telah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Pelaku kasus ini adalah seorang dosen.
- LBH Makassar Rilis Empat Kasus Pelecehan yang Belum Tuntas
- Pelaku Sebagian Besar Adalah Dosen
TRIBUN-TIMUR.COM - Kasus kekerasan seksual di dalam kampus masih marak terjadi.
Ironisnya, pelakunya dominan adalah oknum dosen yang sejatinya menjadi panutan para mahasiswa.
Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, sejak 2023 hingga tahun 2024, beberapa laporan masuk ke LBH Makassar untuk ditindaklanjuti.
Staf Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar, Nunuk Parwati Songki mengatakan, laporan mengenai kekerasan seksual di kampus tersebut telah menjadi perhatian LBH Makassar.
Baru-baru ini, LBH mendapat empat laporan kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswi di salah satu kampus negeri di Makassar.
Kasus-kasus itu diduga melibatkan pelaku dari kalangan civitas akademika, terutama dosen.
Dari empat kasus itu, satu di antaranya telah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Kabupaten Gowa.
Pelaku kasus ini adalah seorang dosen.
"Tipologi pelaku adalah civitas akademika kampus. Salah satu kasus yang sedang berjalan saat ini melibatkan seorang dosen," kata Nunuk kepada wartawan, Selasa (8/10).
Nunuk mengatakan, dalam kurun waktu dua tahun terakhir, LBH Makassar menerima empat permohonan bantuan hukum terkait kekerasan berbasis gender di kampus negeri tersebut.
Permohonan pertama diajukan pada awal tahun 2024 dengan nomor 0018/DK/LBH Makassar 01/2024, diikuti oleh permohonan kedua 0097/DK/LBH Makassar 06/2024, permohonan ketiga 0081/DK/LBH Makassar 06/2024, dan permohonan terakhir 0036/DK/LBH Makassar 2023.
Temuan ini menunjukkan adanya permasalahan sistemik dalam birokrasi kampus.
Berdasarkan penelusuran Tribun, sejumlah kasus pelecehan seksual di dalam kampus, menjadikan mahaiswi dan mahasiswa sebagai korban.
Tak hanya di kampus negeri yang heterogen, kampus dengan jargon agama juga tak luput dari kasus pelecehan seksual.
Tahun 2023 lalu, di Kampus UIN Alauddin Makassar, ada 10 mahasiswa yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual yang notabene adalah laki-laki.
Sebagian mahasiswa mengatakan bahwa pelaku adalah staf di salah satu fakultas.
Namun pihak kampus membantah dengan mengatakan pelaku adalah alumni UIN Alauddin Makassar.
Modusnya adalah, pelaku menawarkan bantuan untuk membuat kelengkapan tugas skripsi bagi mahasiswa tingkat akhir.
Hingga saat ini, kasus tersebut seperti menguap.
Pelaku tak tersentuh hukum.
Juni 2024 lalu, di Kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), empat mahasiswi mengaku menjadi korban pelecehan seksual dari seorang oknum dosen.
Dosen tersebut juga menjabat sebagai kepala departemen.
Kasus tersebut telah ditangani oleh PPKS Unhas. Hasilnya, setelah dilakukan chroscheck, pelaku mengakui sebagian tuduhan yang diarahkan kepadanya, sebagian lagi dibantah.
Meski demikian, pihak kampus bertindak cepat dengan menonaktifkan pelaku dari aktivitas bimbingan akademik.
Regulasi Pencegahan
Ninuk mengatakan, kampus tidak hanya membatasi kebebasan berekspresi, tetapi juga gagal menyediakan ruang aman bagi civitas akademika.
Padahal, beberapa regulasi terkait pencegahan kekerasan seksual sudah ada.
Seperti, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan pada tahun 2022, diikuti oleh Permen PPKS Nomor 30 Tahun 2021 yang secara spesifik mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Selain itu, ada juga aturan dari Kementerian Agama yang terbit pada tahun 2019, yang seharusnya memperkuat upaya pencegahan di kampus.
Namun, implementasi aturan tersebut masih sangat minim.
Menurutnya, hingga saat ini, kampus terkesan lepas tangan dan tidak memberikan sanksi tegas kepada para pelaku kekerasan seksual.
"Pelaku sampai hari ini belum mendapatkan hukuman yang sesuai dari pihak kampus," bebernya.
Lebih lanjut Nunuk menjelaskan, Satuan Tugas (Satgas) PPKS yang seharusnya berperan aktif dalam menangani kasus-kasus ini juga dianggap tidak maksimal.
"Sudah ada Satgas PPKS di (kampus tersebut) tetapi pertanyaannya adalah, mengapa kasus-kasus kekerasan seksual di kampus tersebut tidak pernah diselesaikan oleh Satgas? Bahkan kasusnya sampai dilaporkan ke LBH Makassar," ucapnya.
Dia juga menyoroti pentingnya mengevaluasi kinerja Satgas PPKS yang telah terbentuk.
Pasalnya, dari empat kasus yang diterima LBH Makassar, satu kasus berakhir dengan perdamaian, di mana Satgas PPKS disebut turut terlibat.
Sementara itu, Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas, Santi, menyatakan bahwa Unhas sudah mengimplementasikan Permendikbud Nomor 30 dan kampanye anti kekerasan seksual.
"Artinya kita sudah siap menangani segala kasus kekerasan seksual di kampus, bahkan jika pelakunya dari pihak dosen," kata dia.
"Terlebih, status terduga pelaku ini memiliki kekuasaan, sudah jelas ada relasi kuasa yang mendominasi kalau Unhas tidak siap memandang kasusnya dengan objektif," katanya.
Korban Trauma Berat
Kasus pelecehan seksual di dalam kampus berdampak sangat serius pada korbannya.
Seperti kasus pelecehan yang terjadi di Kampus Unhas beberapa waktu lalu, Ketua Satgas PPKS Unhas, Prof Farida Patittingi S H Mhum mengatakan, salah satu korban sampai mengalami trauma yang sangat mendalam.
Bentuk traumanya adalah, korban tidak mau lagi melakukan bimbingan akademik, meski dosen pembimbingnya telah diganti.
Mahasiswa kita ini ada pula yang trauma, yang akhirnya tidak mau bimbingan lagi. Dari bulan Oktober 2023 sampai saat ini tidak lagi mau datang, karena takut duluan, nanti dipegang lagi katanya,
“Mahasiswa kita ini ada pula yang trauma, yang akhirnya tidak mau bimbingan lagi.
Ia takut ke kampus karena khawatir dipegang-pegang lagi,” kata Farida beberapa waktu lalu.
Sementra itu, psikolog Universitas Hasanuddin, Istiana Tajuddin seperti dikutip dari Unhas TV mengatakan, pelecehan seksual terjadi di masyarakat terjadi karena ketidaktahuan mereka atau rendahnya daya kritis masyarakat yang membuat mereka menganggap tindakan tersebut sebagai sesuatu yang normal.
Selain itu, akses terhadap informasi berbau pornografi dan budaya yang hidup di masyarakat juga menjadi faktor penyebab tindakan pelecehan seksual terjadi.
Menurut Istiana, selain korban, pelaku juga seharusnya mendapat konseling.
Tujuannya agar pelaku memahami apa sebenarnya dinamika yang terjadi sehingga mendorong mereka untuk melakukan perilaku kekerasan seksual.
“Harusnya, pelaku juga diberi konseling. Agar mereka mengerti apa yang telah mereka kerjakan dan apa dampaknya setelah melakukan pelecehan itu,” kata Istiana.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.