Opini
Kotak Kosong, Tanpa Lawan Politik
Termasuk bahkan sebutan “calon tunggal” tidaklah lazim. Yang popular dikenal adalah istilah “calon tanpa pesaing” (unopposed candidate).
Oleh: Adi Suryadi Culla
Dosen Fisip Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam khasanah teori dan praktek pemilu di banyak negara di dunia, istilah “Kotak Kosong” yang ramai jadi perbincangan di tengah suasana pilkada akhir-akhir ini, sebenarnya nyaris tidak dikenal.
Termasuk bahkan sebutan “calon tunggal” tidaklah lazim. Yang popular dikenal adalah istilah “calon tanpa pesaing” (unopposed candidate).
Istilah lain menyebutnya “calon tanpa kontestasi” (uncontested candidate), karena jika tidak ada lawan maka kandidat tunggal itu langsung otomatis disahkan tanpa harus berkontestasi.
Meski demikian pemakaian istilah uncontested candidate tersebut, sebagaimana terjadi dalam kasus umum di banyak negara, dalam aturan sistem pemilu di Indonesia tidak dikenal.
Tidak ada calon Tunggal yang disahkan otomatis. Dalam regulasi Pemilu di Indonesia, jika ada calon tunggal maka calon dimaksud secara aturan tetap dituntut untuk berkontestasi atau mengikuti proses pilihan rakyat.
Ini yang secara popular akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, dan secara popular disebutkan bahwa kandidat tunggal bersangkuatan harus melawan “kotak kosong” (kolom kosong).
Fenomena Politik Unik?
Secara logis jika berbicara tentang pemilu (election), termasuk model pilkada seperti di Indonesia sekalipun, sistem calon tunggal bukan sesuatu yang khas (unik).
Kenyataannya, banyak negara mengamini sistem serupa mulai dari Amerika, Eropa hingga Asia & Afrika.
Dalam sistem pemilu yang berlaku di banyak negara yang ada di berbagai belahan dunua, fenomena calon tunggal faktanya cukup banyak dialami, dan bahkan sering terjadi.
Secara umum terjadinya pemilu tanpa lawan adalah karena dukungan untuk satu kandidat diperoleh begitu kuat.
Dalam Sejarah pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) tahun 1788-1789 dan 1792 , sejarah pertama kali pemilu lahirnya calon Tunggal dimulai oleh George Washington.
Ketika dia mencalonkan diri sebagai Presiden tanpa pesaing, meskipun dalam pemilihan terakhir, suara untuk Wakil Presiden pendampingnya diperebutkan lewat kontestasi.
Peristiwa berikutnya terjadi dalam pemilu AS tahun 1820, James Monroe juga mencalonkan diri sebagai calon tunggal, meskipun elektor New Hampshire William Plumer memberikan suara untuk John Quincy Adams namun itu dianggap sebagai sekadar tindakan simbolis.
Berikutnya dalam pemilihan gubernur negara bagian dalam Sejarah AS, ada kurang lebih 50-an kasus menunjukkan kasus calon Tunggal.
Misalnya, pemilihan Gubernur Rhode Island tahun 1776 yang merupakan pemilu lokal pertama di negara bagian tersebut, setelah pemisahan diri dari koloni Inggris dan bergabung dengan AS; diselenggarakan pada 3 April 1776 dimana Nicholas Cooke menang tanpa lawan dengan perolehan fantastis 100 persen suara.
Contoh berikut pemilihan gubernur Carolina Selatan tahun 1776, tepatnya 26 Maret 1776, untuk memilih Presiden Carolina Selatan yang pertama.
Kandidat dan mantan Jaksa Agung Carolina Selatan John Rutledge mencalonkan diri tanpa lawan, dan terpilih 26 Maret 1776. Dan banyak lagi gubernur negara bagian dengan fenomena calon tunggal dalam sejarah AS.
Data lebih aktual sebagaimana dirilis lembaga riset: Center for Local Elections in American Politics (LEAP), 24 Mei 2017, bertajuk “Who Runs for Mayor in America”, dengan berfokus pada pemilihan walikota pada enam wilayah: California, Indiana, Kentucky, Louisiana, Minnesota dan Virginia.
Hasilya mengungkapkan bahwa pemilu selama 17 tahun pada 6 negara bagian tersebut, menunjukkan bahkan lebih separuh menampilkan calon tunggal.
Dalam perkembangannya, pemilu tanpa lawan lazim terjadi juga di kota-kota kecil pada 6 negara bagian itu, dan sekitar 79 persen pemilu tanpa kontestan yang bersaing, sementara di di kota-kota besar hanya 15 persen pemilu diikuti satu kandidat.
Simpulan rilis LEAP, meskipun terdapat variasi dalam persentase pemilihan walikota tanpa pesaing, sejak tahun 2000 jumlahnya terus meningkat, dan data terakhir hingga tahun 2016, rata-rata 60 persen pemilihan walikota di enam negara bagian yang diteliti itu menunjukkan peningkatan calon tunggal.
Tidak hanya terjadi dalam pemilu eksekutif (lokal), dalam pemilu legislatif pun di sejumlah negara bagian di AS dengan sistemnya yang berdasarkan distrik juga banyak diwarnai calon Tunggal.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh David Leby (Denver Post, 25 Juni 2017) mengemukakan sekitar 42 persen pemilihan anggota parlemen di negara bagian, menampilkan fenemena calon Tunggal.
Beberapa negara bagian menunjukkan Tingkat calon Tunggal tertinggi, diantaranya Arkansas, Massachusetts, Gorgia, dan Carolina Selatan.
Penyebab tingginya calon Tunggal seagaimana ditulis Leby, adalah karena kuatnya petahana.
Selain itu, karena dominasi salah satu partai di antara Partai Demokrat dan Republik di wilayah bagian pemilihan secara bervariasi.
Data serupa terjadi dalam pemilihan walikota di negara bagian Quensland (Australia) tahun 2024 lalu, menunjukkan selusin terpilih tanpa lawan (ANC Brisben.news, 14 Februari 2014).
Dalam Pemilu Filipina tak kalah gamblang, bahkan “bablas”. Fenomena calon tunggal sebegitu banyak kasus.
Misalnya, pada Pemilu 2019 KPU Filipina (Comelec) merilis: sejumlah 548 calon Tunggal untuk posisi gubernur, wakil gubernur, wakil distrik, walikota, dan wakil walikota pada pemilu (Mei 2019).
Menurut aturan di negara tersebut, peluang kemenangan sudah pasti” karena calon tungggal hanya butuh satu suara untuk menang.
Dengan begitu, kandidat bersangkutan akan tetap terpilih; meskipun mayoritas pemilih abstain alias golput. Cukup kandidat itu sendiri memilih dirinya, maka dia sudah dapat satu suara dan dengan begitu otomatis terpilih.
Demikian peristiwa calon Tunggal sebenarnya terjadi di banyak negara di dunia. Fenomenanya mulai dari negara-negara Asia (India, Filipina), kawasan Afrika, dan di sejumlah negara-negara mini seperti di Pasifik Selatan.
Tak luput juga terjadi di negara-negara maju dan bahkan mapan dari segi sistem ekonomi dan politik, serta lebih matang dari segi perkembangan demokrasi, seperti di AS dan Eropa.
Pro dan Kontra Kotak Kosong
Dalam pemilu yang demokratis, persaingan seringkali dipandang sebagai landasan sistem politik yang sehat.
Namun, ada kalanya kandidat mencalonkan diri tanpa lawan, dan tidak menghadapi penantang untuk posisi mereka.
Fenomena ini dapat mempunyai implikasi paradoksal baik terhadap proses demokrasi maupun konstituennya.
Ada dua pihak yang saling berpolemik, dengan argumen antara pro dan kontra masing-masing.
Bagi pihak yang pro dengan keberadaan kotak kosong, argumennya mengacu pada kelebihan calon tunggal antara lain: 1).
Mengurangi beban anggaran pemilu dan biaya Kampanye; 2). Lebih menjamin kontinuitas dan stabilitas politik dan pemerintahan; 3. Mengurangi polarisasi politik dan potensi konflik yang tak terkirakan.
Adapun di sisi lain penolakan bagi pihak yang kontra mengemukakan alasan, dengan kolom kosong maka menimbulkan ekses sebagai berikut: 1). Kurangnya Pilihan bagi Pemilih; 2) Berpotensi sikap apatis dan resistensi pemilih atau golput. 3). Melahirkan ketidakpuasan dan berpotensi mereduksi atau mengurangi akuntabilitas; 4). Melemahkan prinsip demokrasi, persaingan, dan pertanggungjawaban.
Dengan mengacu argumen pro dan kontra tersebut, sebenarnya kandidat yang mencalonkan diri tanpa lawan atau calon (paslon) tunggal tersebut nampaknya juga berhadapan plus minus, tak hanya risiko keuntungan namun juga kerugian.
Terlebih pilihan rakyat berada di antara kontestan dan kolom kosong.
Last but not least, hal yang penting sebagai suatu proses demokrasi adalah tuntutan mendorong kontestasi berjalan fairness dan memastikan bahwa pemilih mempunyai kesempatan untuk membuat pilihan yang tepat.
Terlibat dalam proses demokrasi dengan menumbuhkan budaya politik yang menghargai beragam perbedaan, dapat membantu mengurangi dampak buruk dan memperkuat kesehatan demokrasi itu sendiri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.