Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Berharap Pada Milenial, Salahkah?

Sebelumnya kita tidak pernah membayangkan makanan cepat saji hadir di tengah-tengah kita.

Editor: Sudirman
Munjiyah Dirga Ghazali
Komisioner KPU Pangkep, Saiful Mujib. 

Oleh: cJUMLAH pemilih milenial mendominasi seluruh kategori pemilih dalam kurun beberapa tahun terakhir.

 Jika kita melihat hasil pemetaan yang dilakukan BPS, angkanya mencapai 27 persen dari sekitar 270 juta jiwa jumlah penduduk di tanah air.

Hal tersebut mengisaratkan tantangan dan harapan bagi perkembangan demokratisasi dan perubahan ke arah yang lebih baik ke depan.

Tidak salah kiranya, beberapa pihak menyebut generasi z dan milenial sebagai penentu baik buruknya kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan.

Namun hal tersebut tergantung dari sejauh mana milenial memahami dinamika demokrasi hari ini, apakah mereka mengikuti perkembangan demokratisasi, pemilu dan pemilihan, di tengah-tengah gempuran budaya baru dari seluruh penjuru.

Godaan, iklan, rayuan yang hadir langsung di depan mereka, yang sepertinya tidak mungkin lepas dari apa yang disebut gadget.

Kebiasaan-kebiasaan baru tercipta, hadir dan menjadi apa yang disebut kekinian.

Baik buruknya kebiasaan baru tersebut, kembali pada kekuatan nalar dan cara pandang dari masing-masing kita.

Tak jarang orang menyebut kemajuan tehnologi ibarat uang logam, satu sisi dapat mendorong kecepatan informasi yang positif bagi setiap orang untuk cepat mengetahui dan juga memahami situasi yang ada disekitarnya.

Sisisi lain dapat memberikan dampak yang buruk dalam menciptakan individu-individu yang individualis dan hedonis, tercerabut dari akar budaya, terasing dari lingkungan sekitar, kurang peka dan peduli pada apa yang terjadi disekelilingnya.

Tantangan Milenial

Ketergantungan dan cenderung tidak mandiri. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena beberapa kondisi kekinian yang kian memanjakan setiap orang.

Bahkan, beberapa kondisi yang sebelumnya kita anggap tidak mungkin hadir di tengah-tengah kita, lahir dan menjadi kebiasaan dan menjelma dalam beberapa hal mendasar.

Dulu kita tidak pernah membayangkan rapat atau kuliah dilakukan secara virtual, ternyata hari ini menjadi pilihan bagi banyak orang, karena durasi pertemuan tatap muka yang kian terbatas.

Sebelumnya kita tidak pernah membayangkan makanan cepat saji hadir di tengah-tengah kita.

Hari ini, bukan hanya makanannya, bahkan lengkap dengan kurir yang siap mengantar kapan saja, sehingga kita tidak perlu lagi keluar rumah.

Bahkan untuk mendapatkan bahan bacaan dari buku-buku yang sebelumnya kita harus membelinya di toko buku, kini kita sisa browshing di internet, membaca lewat handpone dan atau tablet kita.

Saya teringat, semasa kuliah dulu, ungkapan yang menyebut tak membaca buku tidak keren.

 Mungkin karena itulah toko buku dan swalayan yang juga menjual buku-buku banyak dijumpai dimana-mana, sehingga tidak sulit untuk kita mendapatkan buku bacaan yang kita butuhkan.

Bahkan hari ini, apa yang biasanya kita sebut koran, media cetak, yang dulunya cetakannya bisa mencapai puluhan halaman, kini semakin tipis, karena minimnya ketertarikan pembaca.

Kedua, karena kecepatan informasi, biasanya kita tidak mampu mendalami dan memahami dari apa yang melandasi peristiwa atau informasi itu, sehingga mengikis rasa kepedulian.

Hal tersebut berdampak pada kemampuan mengalisa dan memikirkan langkah selanjutnya.

Hampir setiap hari kita disuguhkan informasi dari ujung barat sampai timur, bahkan yang lokal, nasional hingga international, silih berganti lalu lalang di depan mata kita, namun biasanya informasi tersebut bagaikan angin lalu saja.

Tidak menjadi perhatian. Fatalnya, yang menjadi perhatian kita pun belum tentu mendorong kita untuk berbuat sesuatu.

Hal ini tentu saja akan menyulitkan pihak-pihak yang berkeingingan untuk memaksimalkan upaya memberikan pemahaman, menyuarakan kebenaran, menyampaikan informasi yang dibutuhkan milenial.

Jika apa yang mungkin telah disampaikan dan dilihat dari paparan atau perilaku aktor-aktor yang konsen pada pendidikan politik, hanya lalu lalang di depan mata, namun tidak menjadi perhatian lebih bagi kaum milenial hari ini.

Saya tidak yakin, dari 10 orang milenial, jika diberikan pertanyaan tentang ketertarikannya pada wacana demokrasi, pemilu maupun pemilihan, ada 5 diantaranya yang menyatakan ketertarikannya.

Bahkan mungkin, jika pun ada informasi penyalahgunaan wewenang dan jabatan dari orang-orang yang sebelumnya dipilih dalam pemilu maupun pemilihan, menciptakan keinginan kaum milenial untuk berusaha memperbaiki kondisi tersebut.

Walaupun, tidak menutup kemungkinan ikut memviralkan.

Saya tidak sedang membandingkan pentingnya pemahaman demokrasi, pemilu dan pemilihan dengan informasi atau pengetahuan lainnya, namun semestinya kita harus sadar, bahwa pemilu dan pemilihan sangat terkait dengan kebutuhan sehari-hari kita.

Karena semua apa yang menjadi kebutuhan kita hari ini, lahir dari keputusan politik.

Pendidikan Pemilih

Penyelenggara Pemilu terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari pusat hingga kabupaten/kota, dalam setiap tahapan seperti yang berlangsung hari ini, secara masif melaksanakan pendidikan politik bagi pemilih.

Bahkan, sejak dimulainya tahapan Pilkada serentak 2024 yang hari ini masuk pada tahapan penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS), KPU melalui berbagai program berupaya menyentuh pemilih, terutama generasi z dan milenial.

Namun sepertinya, tatanan demokrasi yang diidam-idamkan bersama, masih terhalang tembok yang cukup tebal.

Upaya untuk mendorong pemilih, termasuk diantaranya milenial, harus kian masif dan dilakukan semua elemen.

Pendidikan politik bagi pemilih tidak boleh hanya berasal dari KPU. Seluruh elemen baik dunia Pendidikan, partai politik maupun lingkungan tempat tinggal pemilih milenial harus mendukung bagi terciptanya pemahaman milenial, terhadap pentingnya mengikuti seluruh tahapan pemilu maupun pemilihan.

Karena penulis membayangkan, sulit berharap lebih pada pihak-pihak yang pada hari ini lebih takut tidak update status di medsos dibanding bergerak, melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama.

Media sosial menjadi tantangan utama untuk memupuk kemauan dan kepedulian terhadap demokratisasi, pemilu dan pemilihan. Kita harus mampu mengambil ruang di tengah gempuran kemajuan tehnologi, dan memilah media yang paling disukai milenial.

Tujuannya, bagaimana mendorong milinial tertarik dan berusaha untuk memahami kondisi di sekitarnya.

Pun demikian, dalam dunia pemberdayaan, pengetahuan dan pemahaman saja tidaklah cukup, harus aplikatif, dilakukan dalam bentuk tindakan.

 Jika kita tidak mampu menumbuhkan ketiganya, maka akan sulit membayangkan perkembangan seperti apa yang nantinya tercipta di tangan milenial kita hari ini.

Kita lihat saja nanti, apakah tanggal 27 November 2024, mereka (milenial) datang ke TPS dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. (*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Reshuffle Menteri

 

Reshuffle Menteri

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved