Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Paradoks Politik: dari Wacana 'Penyelamat-Pembajak' ke Demokrasi Substantif

Kini, kita memasuki fase berikutnya: pemilihan kepala daerah (Pemilukada), meliputi pemilihan bupati dan wakil bupati, serta gubernur

Editor: Ari Maryadi
ISTIMEWA
Irfan Palippui Dosen 

Opini
Irfan Palippui

DI TAHUN 2024, kita nyaris tidak memiliki jeda dari hiruk-pikuk politik nasional.

Bulan Februari lalu, fase pemilihan presiden dan legislatif untuk semua tingkatan telah rampung.

Nama-nama pemenang sudah diketahui, tinggal menyelesaikan sengketa-sengketa teknis sebelum pelantikan resmi.

Kini, kita memasuki fase berikutnya: pemilihan kepala daerah (Pemilukada), meliputi pemilihan bupati dan wakil bupati, serta gubernur dan wakil gubernur.

Fase ini tampaknya lebih seru, ibarat pertempuran jarak dekat. Pertama, wilayah kontestasi lebih spesifik untuk masing-masing peserta. Kedua, para kandidat umumnya berasal dari lingkaran "perkopian" setempat, di mana mereka sudah sangat mengenal satu sama lain.

Lalu apa yang membuatnya menarik di tengah era demokratisasi yang dianggap oleh sebagian pihak semakin "dewasa"? Tentu saja, isu dan wacana yang digulirkan oleh para kontestan beserta tim mereka. Ada dua isu utama yang mengemuka: Pertama, isu pembajakan partai pengusung sebagai kendaraan untuk masuk kontestasi yang menyulut wacana kotak kosong. Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, memprediksi bahwa fenomena ini kemungkinan terjadi karena kelelahan politik pasca Pilpres, yang membuat partai cenderung bersikap pragmatis.

Sementara itu, Ujang Komarudin, pakar politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, menilai bahwa fenomena ini disebabkan oleh kegagalan kaderisasi partai dan kecenderungan partai yang ingin menang tanpa lawan.

Ia juga menduga adanya praktik money politics dalam proses ini. Kedua pendapat ini dikutip dari salah satu media, 5 Agustus 2024.

Kedua, konsekuensinya adalah munculnya pihak-pihak kompetitor lain yang memposisikan diri sebagai penyelamat. Jika kita pernah menonton sinetron, pola-pola serupa pun yang mengemuka. Ada peran antagonis dan protagonis yang dimainkan. Jika alur cerita mengikuti plot sinetron Indonesia, kita sudah tahu bahwa protagonis akan menjadi objek penderita
dalam beberapa sekuen.

Meskipun demikian, sutradara sebenarnya sudah sejak awal memberi bocoran bahwa pada akhirnya si antagonis akan kalah dan si protagonis akan menjadi pemenangnya. Barangkali skenario demikian yang diharapkan dari mindset para politisi ala sinetron kita itu.

Pemilukada tentu tidak sesederhana tontonan dalam sinetron. Meskipun skenarionya agak mirip, penyajian dan kontekstualisasinya akan mengikuti kebiasaan setempat.

Apa signifikansi bagi masyarakat atas hadirnya wacana "Penyelamat" (protagonis) dan "Pembajak" (antagonis) menjelang suksesi kepemimpinan? Bagaimana kontribusinya
terhadap kemajuan politik dan demokrasi di Indonesia? Keduanya akan dikendalikan oleh pemegang otoritas wacana.

Wacana memiliki peran vital dalam membentuk persepsi, makna, dan pengetahuan. Ini karena wacana merupakan sistem sosial yang bersifat material dan terikat oleh konteks asal munculnya suatu pembahasan. Wacana membentuk objek pembicaraan kemudian mengorganisasikannya menjadi suatu pemahaman yang terdistribusi ke masyarakat.

Akibatnya, dalam setiap wacana yang tersebar di masyarakat terdapat kekuasaan yang beroperasi untuk menetapkan apa yang disebut pengetahuan dan kebenaran.

Michel Foucault, filsuf besar Prancis, memandang wacana beroperasi seperti pengetahuan dan kekuasaan.

Gagasan ini pertama kali disampaikan dalam pidato pengukuhan guru besarnya di Collège de France pada 2 Desember 1970, yang kemudian diterbitkan dengan judul "The Order of Discourse" (Tatanan Wacana). Menurut Foucault, wacana membentuk realitas yang bekerja secara kompleks berdasarkan cara kita berinteraksi dalam praktik linguistik dan sosial. Dari perspektif ini, penting untuk memperhatikan bukan hanya apa yang dinyatakan oleh distributor wacana, tetapi juga siapa yang berbicara, dalam kondisi apa, dan dengan otoritas apa wacana tersebut disampaikan.

Secara signifikan, wacana "penyelamat dan pembajak" memiliki pengaruh besar dalam membangun persepsi publik. Hal ini sangat ditentukan oleh operasi mesin wacana yang digunakan oleh masing-masing pihak. Namun, daya dorong dan distribusinya juga menghendaki dan mempertimbangkan batas-batas etik. Siapa pun pihak yang memaksimalkan plot sinetron atau skrip drama dari wacana di atas, dipastikan akan menguasai arena kontestasi. Akibatnya, massifikasi wacana dari semua medium arena yang tersedia menentukan bagaimana wacana menggelinding dan menemukan lokasi-lokasi sosialnya.

Hanya saja, saat ini kita juga melihat terjadi kelesuan partisipasi politik masyarakat dalam merespon gelindingan wacana yang didistribusikan oleh elit "politik" sebagai otoritas. Meskipun laporan Komisi Pemilihan Umum mencatat angka partisipasi naik sebesar 81 persen, melebihi target 79,5 persen dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN) 2020-2024, kita perlu mempertanyakan kualitas partisipasi tersebut.

Terdapat indikasi bahwa kelesuan ini dijawab sesaat oleh iming-iming uang melalui partisipasi.

Alasan ini cukup masuk akal, apalagi kita juga menghadapi sistem politik yang berbiaya tinggi (high cost) di mana potensi keterpilihan hanya melekat pada monopoli pemilik modal.

Pengakuan anggota Komisi II DPR Fraksi PDI-P, Hugua, menegaskan hal ini dengan menyatakan, "Jika tak memberikan uang, maka tidak akan ada rakyat yang memilih" (Kompas, 15/05/2024).

Bisa jadi, naiknya partisipasi politik masyarakat pada tahun 2024 bukan semata karena politik dan demokrasi baik-baik saja, melainkan karena unsur politik uang yang menyebabkan kelesuan berubah menjadi harapan sementara bagi pemilih.

Wacana berperan penting dalam membentuk persepsi dan pengetahuan pemilih. Namun, praktik politik dan demokrasi berjalan paradoks. Batas antara “penyelamat dan pembajak” menjadi kabur. Terkadang, pihak yang mengklaim sebagai penyelamat justru membajak di ruang lain. Contohnya, elit yang menyuarakan penyelamatan juga menjalankan praktik dinasti kolusi demi mempertahankan kekuasaan. Pada akhirnya, baik "penyelamat" maupun "pembajak" sama-sama merepresentasikan hasratnya demi kekuasaan.

Oleh karena itu, wacana “penyelamat dan pembajak” perlu digeser. Bukan elit yang harus menyuarakan penyelamatan politik, melainkan rakyat sendiri yang perlu membangun diskursus bahwa hak mereka dimanipulasi oleh pertarungan politik transaksional para elit.

"Penyelamat dan pembajak" sebenarnya dinyatakan oleh mereka yang mengklaim "kita", yang tidak pernah menjadi bagian pengambilan keputusan. Politik dan demokrasi kita masih didominasi otoritas yang berhak bersuara, sementara masyarakat dianggap hanya mampu menangkap makna dari wacana yang dibentuk.

Padahal politik muncul karena "bersuara" dan "berbahasa" tidaklah sama, sebab di dalamnya tidak pernah ada konvensi makna yang disepakati bersama. Politik bukan sekadar pertentangan antar elit, melainkan antagonisme wacana yang lebih luas. Ini adalah pertarungan antara mereka yang merasa mampu mengelola kepentingan sosial dan demos (masyarakat) yang dianggap sebagai objek pasif dalam proses demokrasi.

Tantangan kita adalah menjadi “bagian dari bukan bagian” atas otoritas elit yang memproduksi dan mendistribusi wacana di atas.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved