Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kotak Kosong dan Penghinaan Kaum Intelektual

jika kandidat yang merasa yakin bisa mengalahkan calon lain, mengapa dia dan kelompoknya ingin mendorong untuk berhadapan dengan kotak kosong?

Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM
Opini Saparuddin Santa, Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting 

 

Oleh: Saparuddin Santa

Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting

 

TRIBUN-TIMUR.COM - “Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh bahwa itu direncanakan seperti itu ” – Franklin D. Roosevelt.

Apa yang sesungguhnya terjadi di Sulawesi Selatan?

Pertanyaan ini menggelitik nalar dan nurani kita, termasuk penulis, ketika riuh politik menjelang penentuan kandidat calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) memasuki fase “kritis” terkait siapa yang akan berkontestasi di Pilkada serentak di Sulsel.

Gejala hegemoni kuasa atas demokrasi, menjadi semakin menunjukkan arah yang mempertegas bahwa manusia adalah, meminjam istilah Aristoteles, Zoon Politicion atau binatang politik.

Dalam ilmu sosial, istilah ini sebenarnya istilah yang umum, bahwa manusia adalah mahluk sosial yang butuh berinteraksi dengan masyarakat lainnya.

Istilah ini kemudian diperhalus oleh Adam Smith dengan menyebut manusia adalah homo homini socius yang berarti manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya.

Namun istilah yang dikemukakan oleh Aristoteles, sedikit berbeda sebab dia menggunakan kata zoon (bahasa Yunani) yang artinya hewan atau binatang.

Meski lahirnya teori dan istilah tersebut tidak dilatar belakangi gejolak politik, tetapi Aristoteles ingin menerangkan pada masyarakat abad 384-322 SM, bahwa sesunggunhnya, manusia dan binatang dalam momen atau kontex politik “nyaris tak ada bedanya”.

Kita bisa berdebat panjang mengenai penggunaan istilah ini, tetapi apa yang terjadi belakangan ini dalam konteks politik di Sulsel, sesungguhnya sedang mempertegas, bahwa politik, bisa juga membuka tabir asli dari sifat dasar manusia, yaitu sifat ke-binatang-an.

Binatang, pada sisi ke mahlukan-nya, tidak peduli pada rasa dan pikiran disekitarnya.

Binatang bisa melakukan apapun, yang penting perutnya kenyang dan bisa berkuasa atas area atau wilayah dimana dia berdiam atau tinggal.

Lalu apa hubungannya antara Pilkada Sulsel dengan zoon politician?

Tentu, menghubungkannya perlu telaah dan diskusi panjang, tetapi apa yang terjadi dan menjadi perbincangan publik dalam dua minggu terakhir di Sulsel, terkait Kotak Kosong di Pilkada, memantik warga Sulsel, termasuk kaum terdidik atau kaum intelektual.

Baca juga: Andi Sudirman - Fatmawati vs Kotak Kosong di Pilgub Sulsel Batal, PPP Sudah Siapkan Lawan Sepadan

Apakah benar Kotak Kosong itu adalah pilihan bijaksana? Atau semacam kemunduran demokrasi di Sulsel?.

Mengapa sekelompok orang atau segolongan tertentu, terutama kelompok yang ingin mendorong kandidat tertentu maju di Pilkada Sulsel, seolah-olah ingin bertarung sendiri dan hanya berhadapan dengan Kotak Kosong?

Tentu dalam demokrasi itu sah dan tidak melanggar undang-undang.

Tetapi apa iya, diantara penduduk Sulsel yang jumlahnya lebih 9 juta jiwa ini, hanya satu orang yang memiliki kapasitas menjadi Gubernur?

Dan jika kandidat yang merasa yakin bisa mengalahkan calon lain, mengapa dia dan kelompoknya ingin mendorong untuk berhadapan dengan kotak kosong?

Takut kalahkah?

Atau tidak percaya diri menghadapi calon lainnya?

Di luar pertanyaan-pertanyaan diatas, tentu disetiap kepala kita, banyak sekali pertnayaan lain yang muncul.

Tetapi bagi penulis, sebenarnya yang terjadi di Sulsel sekarang ini adalah perebutan kuasa atas ketokohan.

Ada orang atau kelompok yang merasa begitu dominan dan “ingin sekali” menjadi “yang sebagai”.

Dengan kekuatan kuasa dan kekuatan financial yang dimilikinya, dia mungkin merasa bahwa dialah “sang penentu” masa depan Sulawesi Selatan.

Dia lupa satu hal, bahwa, rakyat, terutama kaum terdidik, sedang merasa muak dengan situasi yang sedang dipertontonkan oleh kelompok-kelompok atau orang-orang yang merasa paling berhak menentukan nasib warga Sulsel.

Apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut, yang sedang “memaksakan” untuk hanya satu pasangan calon dan kemudian ingin menghadapi kotak kosong di Pilkada Gubernur November nanti, sesungguhnya sedang menghina kaum intelektual di Sulsel.

Mereka bisa saja mengatakan dan yakin bahwa mereka akan menang dalam menghadapi kotak kosong, tapi jangan lupa bahwa, orang Sulsel jika merasa terhina dan direndahkan maka akan melakukan perlawanan secara serentak dan massif.

Ini sudah terbukti di Pilkada Wali Kota tahun 2018 lalu. Saat kelompok pasangan Appi-Cicu, memborong 10 partai politik dan menghadapi kotak kosong.

Nafsu zoon politik untuk berkuasa penuh di Sulsel mestinya diarahkan untuk membangun demokrasi yang sehat dan memberikan pembelajaran politik bagi generasi.

Bahwa politik tidak melulu tentang uang dan kuasa.

Yang lebih penting adalah, cara yang digunakan dalam memenangkan hati rakyat, demi tujuan murni, yaitu mensejahterahkan masyarakat dan memajukan daerah.

Jangan lagi masyarakat (pemilih) dianggap bodoh dan tidak mengerti bahwa proses, misalnya, memperoleh dukungan dari partai-partai politik adalah hal yang normatif, yang hanya berdasarkan popularitas dan elektabilitas calon yang diusung.

Sudah jadi rahasia umum, bahwa di balik dukungan partai politik untuk mengusung calon, ada banyak variabel, dan variabel penentu sesungguhnya bukan faktor popularitas dan elektabilitas, tetapi kuasa dan kapasitas finansial calon. Jargon bahwa partai gratis adalah lips service yang masyarakat sudah tahu, bahwa itu ibarat kentut, tidak terlihat tapi baunya tercium dimana-mana.

Semua keputusan politik yang lahir dalam proses kepemimpinan daerah dan nasional bukanlah proses yang natural, semua sudah direncanakan dan di desain oleh mereka-mereka yang menginginkan kuasa. Seperti kata Franklin D Roosevelt, Presiden Amerika ke-32, “

Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh bahwa itu direncanakan seperti itu.”

Munculnya arah dan tanda bahwa Pilgub Sulsel akan hanya ada satu pasang calon menghadapi kotak kosong adalah sebuah alarm bagi demokrasi sekaligus pesan serius bagi kaum intelektual Sulsel untuk kembali menunjukkan diri sebagai kaum yang tidak bisa “dibeli” oleh pengaruh dan kuasa apapun.

Kaum intelektual ini tidak terbatas pada akademisi ataupun kalangan pelajar dan mahasiswa, tapi seluruh warga Sulsel yang menyadari situasi bahwa Sulsel sedang ingin di jadikan sebagai tempat dan milik pribadi kelompok atau golongan tertentu.

Dan jika itu benar terjadi di Pilkada Sulsel November nanti, saya akan menjadi satu diantara jutaan warga Sulsel berdiri tegak di kotak kosong.

Perlawanan ini tidak melanggar apapun, sama tidak melanggarnya dengan yang “memaksakan” diri untuk hanya satu pasang calon.

Tabe, #SayaKotakKosong.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved