Perjuangan Toko Buku di Makassar Bertahan di Era Digital, Pasrah Tutup saat Stok Habis
“Kalau tidak bisa bertahan lagi terpaksa kita tutup. Akan ditutup setelah stok buku terjual,” ungkap Alexander pemilik Toko Buku Arena Ilmu.
Penulis: Kaswadi Anwar | Editor: Sukmawati Ibrahim
Toko buku Alfarabi didirikan oleh Edi Sutanto.
Sudah berdiri selama 14 tahun.
Awal berdirinya di Kota Parepare pada Februari 2010.
Kepada Tribun-Timur.com, Edi Sutanto mendirikan toko buku karena kecintaannya terhadap buku.
Sejak mahasiswa, ia sudah bergelut di dunia perbukuan.
Sembari kuliah bekerja sebagai penjaga toko buku.
Setelah lulus langsung mendirikan toko buku di Parepare.
Modal awalnya Rp10 juta.
Ia memanfaatkan jaringan penerbit buku dikenalnya.
Jalin kerja sama untuk suplai buku dalam bentuk titip jual.
Dua tahun kemudian membuka cabang di Kota Palopo.
Lalu di Kota Makassar. Di Kota Anging Mamiri, lokasi pertamanya Jl Sultan Alauddin IV No 2, Kelurahan Mannuruki, Kecamatan Tamalate.
Selanjutnya merambah ke Perintis Kemerdekaan, tepatnya di Wesabbe.
Ada pula di dekat Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar.
Buku-buku Alfarabi juga dijajakan di bazar buku di berbagai kampus.
Namun, sejak Covid-19 melanda cabang-cabang Alfarabi di daerah dan sekitaran kampus ditutup.
Kini hanya menyisakan satu toko saja di Jl Sultan Alauddin IV No 2, Kelurahan Mannuruki, Kecamatan Tamalate.
“Sejak Covid-19, Alfarabi sisa satu saja. Yang di daerah tidak bisa fokus menangani semuanya. Di Perintis Kemerdekaan memang hanya uji coba pasar setahun,” ungkap Edi saat ditemui pada Kamis (4/7/2024) malam.
Ia melanjutkan, masifnya dunia digital juga membuat buku terpinggirkan sebagai sumber pengetahuan.
Sebab, semua mudah diakses di internet.
Bahkan, ada bisa diunduh secara gratis.
“Sejak masifnya internet berubah. Dari awalnya mencari ilmu dan pengetahuan dari buku, sekarang bisa diunduh (di internet dan sebagainya,” tuturnya.
Walau demikian, Edi tak khawatir dengan kondisi tersebut.
Pria berusia 45 tahun ini memiliki target pasar tersendiri.
Yakni mahasiswa pergerakan atau aktivis.
Makanya, buku-buku dijual lebih kepada pergerakan dan pemikiran.
Sebab ia melihat untuk buku pelajaran perkuliahan kurang diminati.
“Untuk mahasiswa yang bergerak di dunia pergerakan aktivis saya lihat animo baca bukunya masih bagus. Sedangkan cari buku perkuliahan sangat terasa (kurang),” ujarnya.
Edi pun mengaku masih bisa mendapatkan pembeli sekira 10 per hari.
Tak hanya menjual buku di toko, ia juga memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menjajakan buku di market place.
Animonya cukup tinggi, rata-rata pembeli dari wilayah Indonesia bagian timur.
“Kami berinovasi mengikuti perkembangan pasar. Kami menjual buku juga di market place,” tutupnya. (*)
Analisis Dr Adi Suryadi Culla: Adu Kuat Danny Pomanto-Ridwan Wittiri Penentu Masa Depan PDIP Sulsel |
![]() |
---|
Anggu Rahman, Ketua RW Asal Enrekang Edukasi Warga Batua Lewat Gerakan Daur Sampah |
![]() |
---|
Wawan purnawan cs Awasi Terminal Makassar, Appi: Jangan Ikut Nyetir! |
![]() |
---|
Makassar Kembangkan Eco Circular Hub, DLH Libatkan RT RW |
![]() |
---|
Kejati Sulsel Masih Telusuri Dugaan Penyimpangan Dana Hibah KONI |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.