Opini
Kisruh Tapera: Saat Hunian Layak Jauh dari Jangkauan
Tapera diberlakukan bagi para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimun, telah berusia 20 tahun.
Oleh: Airah Amir
Dokter dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat
TRIBUN-TIMUR.COM - Kisruh Tapera mencuat saat Presiden Jokowi menekan PP No. 21/2024 yang mengatur tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Tapera diberlakukan bagi para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimun, telah berusia 20 tahun atau sudah
menikah saat mendaftar.
Program ini diluncurkan untuk memenuhi kebutuhan setiap orang yang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memeperoleh layanan kesehatan.
Bahwa semua orang berhak tinggal di rumah layak huni kini semakin sulit digapai, sebanyak 15,21 persen rumah tangga di Indonesia, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun yang non-MBR, menghuni rumah yang bukan milik sendiri. (Kompas,
9/2/2024)
Kisruh ini sebenarnya sudah bergulir sejak penerbitan PP Tapera pada 2020.
Potongan sebesar 3 persen untuk Tapera bagi pekerja dengan gaji UMR, makin memperkecil nominal gaji yang mereka terima.
Selain pemotongan Tapera, gaji pekerja sebenarnya telah dipotong dengan berbagai program seperti BPJS Kesehatan (1 persen ditambah 4 persen
perusahaan, jaminan pensiun (1 persen ditambah 2 persen perusahaan), jaminan hari tua (2 persen ditambah 3,7 persen perusaaahn),
jaminan kematian (0,3 persen), dan iuran Tapera sendiri (2,5 persen+ 0,5 persen oleh pemberi kerja).
Belum lagi meningkatnya kebutuhan ekonomi saat ini yang tidak dibarengi dengan kemampuan akibat penghasilan rendah mendesak banyak keluarga berada di bawah garis kemiskinan menyulitkan warga untuk mendapatkan hunian layak.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) melaporkan terdapat 3,3 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin ekstrem.
Di Makassar sendiri terdapat 47.261 warga Makassar masuk dalam kategori miskin ekstrem. (tribuntimur.com, 11/8/2023)
Melihat fakta ini, tak sulit menjumpai banyak gubuk di kawasan kumuh perkotaan yang dibangun dari barang bekas, ditambah sulitnya mengakses air bersih dan buruknya sistem sanitasi.
Kondisi padat bangunan dan rendahnya kualitas bangunan serta tidak mendukungnya sarana dan prasarana menunjang lingkungan yang bersih dan sehat menambah kesulitan warga yang telah terkungkung dalam kondisi ini dalam jangka waktu lama.
Bukan tanpa sebab, lebih karena minimnya kemampuan dalam mengakses rumah layak huni dan sehat.
Sejumlah penyakit pun mengintai, seperti penyakit kulit dan tuberkulosis.
Penyakit infeksi yang mengenai kulit mudah terjadi pada lingkungan kotor mengenai sekelompok orang yang secara komunal tinggal di hunian tak layak dan tak sehat.
Demikian pula penyakit tuberkulosis yang bersifat menular melalui droplet penderita.
Lingkungan yang padat dan kumuh menyebabkan penularan tuberkulosis menjadi lebih cepat.
Masalah hunian yang kian sulit dijangkau menambah permasalahan di kota selain sulitnya meraih penghidupan yang baik yang berkolerasi dengan harga hunian yang kian melambung, membuat rumah impian makin terbang menjauh.
Fakta bahwa harga rumah yang tak pernah turun bahkan semakin membumbung tinggi disebabkan permintaan meningkat setiap tahunnya.
Sedangkan semakin hari, berkurang ketersediaan akan lahan hunian, belum lagi naiknya harga bahan bangunan turut menyebabkan harga hunian
kian tak terjangkau.
Data lain menyebutkan setidaknya ada 81 juta generasi milenial tidak mampu membeli rumah akibat kurangnya pendapatan diperoleh untuk saat ini hanya cukup untukkebutuhan pangan dan sandang. Homeless yang terjadi bukan karena mereka malas bekerja sehingga kesulitan dalam membeli hunian, melainkan akibat sistem kapitalistik yang diterapkan.
Hunian layak didukung pula oleh pengelolaan kota agar warga dalam kondisi sehat dan produktif.
Diantaranya taman kota yang terjangkau oleh pejalan kaki, jaringan drainase kota yang mumpuni dan ketersediaan angkutan umum sebagai upaya mengurangi polusi di kota.
Kawasan perkotaan memiliki tantangan tersendiri dalam mewujudkan hal tersebut tersebab oleh tingkat kepadatan penduduknya lebih besar dibandingkan pedesaan.
Didukung oleh data BPS pada tahun 2023 terdapat 58,2 persen warga yang tinggal di 98 kota di Indonesia.
Negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan hak setiap warga untuk memperoleh hunian yang layak yang didukung oleh sederet kebijakan yang mumpuni agar rumah memenuhi syarat layak dan terjangkau bagi warga.
Hal yang semoga tak sulit digapai disaat jumlah warga yang hidup dibawah garis kemiskinan kian meningkat saat ini.
Setiap warga memiliki hak untuk terpenuhinya hunian yang layak beserta lingkungan yang sehat, sebab hunian yang layak dan sehat mendukung optimalisasi kesehatan bagi setiap anggota keluarga.
Dalam Islam, memecahkan masalah kemiskinan sebagai punca dari sulitnya akses terhadap hunian yang layak adalah hal utama yang harus dilakukan.
Islam menjadikan rumah sebagai tempat menjaga kehormatan penghuninya yang wajib dijaga dan dilindungi.
Tata kelola perumahan adalah salah satu aspek yang menjamin kesejahteraan warga.
Mendistribusikan hasil kekayaan alam kepada seluruh warga menjamin terpenuhinya kebutuhan primer masyarakat termasuk urusan hunian.
Sebab negara tak seharusnya menjadi pengumpul dana rakyat tetapi negaralah yang bertugas memenuhi kebutuhan rakyat. Wallahu a’lam. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.