Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Menimbang Kemungkinan Kabinet Prabowo - Gibran

Meski pun dalam sejarah sengketa PHPU, baru kali ini diwarnai ada perbedaan pandangan di antara kedelapan Hakim MK.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Menimbang Kemungkinan Kabinet Prabowo - Gibran
Ist
Fadli Andi Natsif, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

Fadli Andi Natsif

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

Begitu Hakim Mahkamah Konsitusi (MK) memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), yang menyatakan menolak permohonan capres/cawapres 01 dan 03, maka selesai lah pertentangan proses pemilu 2024.

Meski pun dalam sejarah sengketa PHPU, baru kali ini diwarnai ada perbedaan pandangan di antara kedelapan Hakim MK.

Tiga hakim yang menyatakan berbeda pandangan (dissenting opinion) atau DO.

Perbedaan pandangan ini jangan dimaknai sebagai hal yang biasa saja dalam proses berdemokrasi.

Akan tetapi sebagai sinyal bahwa proses demokrasi kita hari ini tidak dalam keadaan baik baik saja.

Demokrasi bukan hanya sekedar proses formalitas dalam menentukan siapa yang akan duduk di struktur kekuasaan legislatif dan eksekutif semata.

Kemudian menganggap demokrasi telah selesai dengan berakhirnya hajatan pemilu sebagai salah satu pranata demokrasi.

Apalagi hampir di setiap penyelenggaraan pesta demokrasi kita selalu disuguhi problem yang sama seputar money politik, kenetralan pemerintah atau aparat sipil negara.

Termasuk integritas penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu.

Tidak dipungkiri penyelenggaraan pemilu 2024 mendapat sorotan yang massif.

Paling tidak ada dua fenomena yang menjadi justifikasi akan hal itu.

Pertama, sebelum pencoblosan, muncul berbagai kritikan terhadap pemerintahan presiden Jokowi.

Dianggap tidak netral dengan perilaku cawe-cawe-nya, apalagi ketika ditetapkan anaknya Gibran sebagai cawapres Prabowo.

Kritik kalangan akademisi dan masyarakat sipil pemerhati pemilu jujur, adil dan bersih.

Ketidaknetralan presiden Jokowi sebagai perilaku yang akan menumbuhkan kembali politik dinasti.

Kedua, pasca pemilu yang menetapkan suara terbanyak capres/cawapres calon 02, Prabowo - Gibran sebanyak 96.214.691 suara atau 58,6 persen (www.kpu.go.id).

Kemudian hasil penetapan KPU ini dibawa oleh pemohon capres/cawapres 01 dan 03 sebagai objek PHPU di MK.

Dalam proses persidangan PHPU 2024 sampai keluarnya putusan MK yang menolak permohonan a quo terdapat sesuatu hal yang tidak terjadi pada PHPU sebelum-sebelumnya.

Yaitu selain ada kurang lebih 30-an yang mengajukan amicus curiae (arti umumnya sahabat pengadilan), yang diajukan oleh orang atau sekelompok orang yang bukan pihak dalam perkara hukum yang dipersoalkan.

Baik yang diajukan oleh mereka yang menganggap tidak ada persoalan dalam proses pemilu 2024.

Tetapi pada umumnya lebih banyak diajukan oleh mereka yang menilai ada hal yang harus menjadi perhatian agar demokrasi kita berada dalam koridor yang bersih dan adil.

Substansi amicus curiae yang banyak umumnya mempersoalkan ada terjadi pelanggaran hukum dan etika.

Ini disuarakan oleh kalangan warga biasa, akademisi, budayawan, seniman dan pihak pemerhati proses demokrasi yang bersih dan adil.

Juga dalam putusan MK PHPU kali ini dari 8 hakim ada 3 hakim yang menyatakan DO.

Meski pun prinsip putusan MK adalah final and binding, artinya para pemohon harus menerima karena memiliki kekuatan mengikat dan terakhir karena tidak ada upaya hukum lagi yang bisa menganulirnya.

Tetapi adanya 3 hakim yang DO menyiratkan masih ada problem penyelenggaraan proses pemilu 2024, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

Proses demokrasi tetap masih perlu terus dikawal.

Meski pun proses demokrasi formalitas dan normatif dianggap sudah selesai dengan adanya penetapan capres/cawapres terpilih oleh KPU setelah putusan PHPU MK, melalui putusan KPU No. 504 Tahun 2024.

Paling tidak bentuk pengawalan yang dapat dilakukan adalah bagaimana agar presiden dan wakil presiden yang telah ditetapkan oleh KPU dalam hal ini Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dapat menjalankan pemerintahannya sesuai dengan janji-janji nya dalam debat capres/cawapres lalu.

Pelaksanaan pemerintahan Prabowo - Gibran, banyak dipengaruhi dengan komposisi atau postur pemerintahan (kabinet) yang akan dibentuknya nanti (2024 - 2029). Beberapa kemungkinan yang dapat diuraikan secara singkat dalam opini ini.

Pertama. Kalau mau dibilang konsisten, maka postur kabinet yang akan membantu pemenuhan visi misi pemerintahan Prabowo - Gibran, akan diisi oleh para parpol pengusungnya.

Ada 4 parpol utama dan memiliki kursi di parlemen (DPR RI), yaitu Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat.

Selebihnya parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, karena berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak lolos atau tidak memiliki presentasi suara secara nasional -- dibawah 4 persen suara berdasarkan ketentuan ambang batas perwakilan atau parliamentary threshold (PT), yaitu PBB, Gelora, Garuda, dan PSI.

Pertimbangannya kalau postur pemerintahan Prabowo - Gibran hanya diisi oleh parpol pendukung, maka presentasi kekuasaan eksekutif nya tidak mengimbangi struktur kekuasaan parpol yang duduk di legislatif.

Berdasarkan presentasi suara 4 parpol pendukung yang memiliki kursi di DPR, yaitu Gerindra (86), Golkar (102), PAN (48), dan Demokrat (44), hanya kurang lebih 48 persen.

Sedangkan parpol yang tidak masuk dalam gerbong pendukung prosentase kursinya lebih banyak, yaitu PDIP (110), Nasdem (69), PKB (68), dan PKS (53), kalau diakumulasi sekitar 52 persen. (www.kpu.go.id, yang diolah oleh Litbang Kompas).

Oleh karena adanya ketidakseimbangan prosentasi kursi di DPR antara parpol pendukung dan parpol lain yang tidak mendukung, maka Prabowo - Gibran kelak tidak merasa nyaman bekerja karena parpol pendukung lebih sedikit prosentasinya di DPR dibanding parpol yang tidak mendukung.

Itulah sebabnya begitu ada putusan MK dan kemudian kemenangannya ditetapkan oleh KPU, maka mulai "bergerilya" melobby parpol lain yang kalah dalam pilpres untuk bisa bergabung memperkuat postur pemerintahannya nanti di kabinet.

Adanya ketidakseimbangan pemerintahan sistem presidensial dengan sistem multipartai dalam pemilu di Indonesia, seperti pemilu 2024 ini, sudah dikaji oleh Hanta Yuda AR dalam bukunya Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema ke Kompromi (2010).

Dalam awal bukunya dikatakan ketidakstabilan pemerintahan dalam sistem presidensial semakin nampak bila dipadukan dengan sistem multipartai.

Alasannya karena presiden yang terpilih bisa jadi melahirkan presiden yang minoritas dari prosentasi kursi DPR yang mendukungnya.

Kekhawatiran ini lah harus disadari oleh Prabowo - Gibran.

Menyadari bahwa parner kerjanya kelak dalam menjalankan pemerintahan bukan lagi rakyat yang memilihnya sebanyak 58 persen, tapi parpol yang memiliki kursi di DPR.

Keberhasilan pemerintahannya kelak tidak dapat dinapikan harus ada dukungan oleh DPR, sebagai lembaga yang memiliki 3 peran yaitu, legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

Kedua, berdasarkan uraian pertama di atas, maka postur pemerintahan Prabowo - Gibran, kelak akan mengakomodasi sumber daya manusia dari porpol "lawan" dalam pilpres.

Sinyal ini sudah nampak dengan adanya pertemuan yang dilakukan oleh Prabowo dengan pimpinan parpol tersebut.

Berbagai berita sudah mewartawan hal itu, sudah ketemu dengan Surya Paloh, Ketua Nasdem dan Ketua PKB Muhaimin Iskandar.

Kalau lobby ini berhasil dilakukan, maka paling tidak sudah bisa menambah asupan suara lagi di DPR menjadi 417 kursi.

Sehingga sudah mencukupi sekitar kurang lebih 72 persen suara dari 580 anggota DPR RI yang akan dilantik 2024.

Dengan posisi ini, maka secara politis pemerintahan Prabowo - Gibran akan bisa stabil menjalankan impiannya sebagai presiden dan wakil presiden.

Ketiga, kalau pertimbangan postur pemerintahan berdasarkan skema kedua di atas, yang sudah memberikan jaminan pemerintahan Prabowo - Gibran akan stabil, maka idealnya 2 parpol lainnya harus berada di luar pemerintahan yaitu PDIP dan PKS (163 suara), sebagai partai oposisi (hanya 28 persen).

Adanya parpol opisisi juga dapat menjadi prasyarat demokrasi yang ideal.

Agar ada penyeimbang yang betul betul dapat mengontrol kekuasaan untuk mengingatkan sehingga penyelenggaraan bernegara kita dapat mewujudkan pemerintahan yang clean and good. (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved