Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Langka, JK Ngopi Pagi dengan Profesor Hukum di Menteng, Cari Tahu Apa Itu Amicus Curiae Megawati

Aktivitas langka Pak JK itu diposting Husain “Uceng” Abdullah, orang dekat JK di akun media sosial, instagram.

|
Editor: Sudirman
Ist
JK ngopi pagi dengan guru besar hukum Unhas Prof Dr Hamid Awaludin dan Husain Abdullah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024). 

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM — Tak jamak, Wakil Presiden RI (2004 dan 2014) M Jusuf Kalla (81 tahun), tetiba ngopi di sebuah kedai kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024) pagi.

Ngopi pagi JK ini hanya berselang tiga hari jelang pembacaan putusan sidang PHPU Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin 22 April 2024.

Aktivitas langka Pak JK itu diposting Husain “Uceng” Abdullah, orang dekat JK di akun media sosial, instagram.

Mereka bertiga.

Selain Uceng, Pak JK, ngopi bersama sahabatnya, guru besar ilmu hukum sekaligus mantan menteri hukum dan HAM Prof Hamid Awaluddin.

“Terlalu berat obrolannya,” ujar Uceng, saat dikonfirmasi soal sesi ngopi pagi pukul 09.30 WIB itu.

Baca juga: Jusuf Kalla akan Buka Pertemuan Akbar Saudagar Bugis Makassar

Menurutnya, di sesi ngopi pagi itu JK lebih banyak jadi pendengar.

Jusuf Kalla, kata Uceng, bertanya soal pengajuan Amicus Curiae (sahabat peradilan) dari Presiden ke-5 RI (2001-2004) Megawati Soekarnoputri (77) ke Mahkamah Konstitusi (MK) di perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) Pilpres 2024.

Sekadar diketahui, sidang PHPU Pilpres 2024 masih bergulir di MK.

Pembacaan putusan dijadwalkan Senin (22/4/2024) pekan depan.

Dua kontestan Pilpres 2024, Anies Baswedan-Muhaimin (01) dan Ganjar Pranowo - Mahfud MD dan tim hukumnya, mengajukan gugatan pembatalan hasil pilpres dan diskualifikasi pasangan 02 Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.

Di Pilpres lalu, Jusuf Kalla terang-terangan mendukung pasangan Anies-Muhaimin.

Sejak usai pilpres, JK banyak mengeritik proses pilpres yang dianggap sarat intervensi aparatur penguasa dan cawe-cawe Presiden Joko Widodo.

Uceng tak menjelaskan rinci apa obrolan kopi Jumat pagi di Menteng itu.

Secara terpisah, Tribun, coba mengkonfirmasi Hamid Awaluddin.

Guru besar ilmu hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar itu, mengatakan, Megawati Soekarnoputri, legitimated untuk memberi opini dan harapan hukum dalam bentuk (Amicus Curiae) di depan majelis hakim MK.

“Status Bu Mega di MK sangat legitimate. Secara hukum Mega punya hak,” ujar Hamid.

Dia lalu mengirimkan link wawancaranya soal Amicus Curiae itu KOMPAS TV, Rabu (17/4/2024) lalu.

Menurutnya, setidaknya Megawati punya dua alasan legitimasi untuk menjadi ‘Sahabat Peradilan’.

Pertama, Megwati bukan pihak yang terkait langsung dengan perkara yang disidangkan.

Dikatakan, sebagai mantan presiden dan ketua umum partai PDIP, Megawati adalah the real champion penegakan demokrasi di Indonesia.

“Sejak jaman Orde Baru, Reformasi hingga era pasca reformasi Bu Mega terus memperjuangkan tegaknya demokrasi dan keadilan di negeri ini,” ujar mantan anggota KPU RI itu.

Alasan kedua, jelas Hamid, Megawati punya jejak penegakan demokrasi di Pilpres 2004 yang tidak mengintervensi penyelenggara KPU, aparatur negara dan cawe-cawe di Pilpres.

“Bu Mega saat itu incumbent presiden. Tapi dia tidak memaksakan anaknya dengan cara mengintervensi sidang di MK untuk mengubah UU untuk batasan umur calon presiden dan wakil presiden.”

Hamid menegaskan, andai dia adalah satu dari 8 hakim MK, maka dia akan mempertimbangkan betul materi Amicus Curiae dari Bu Mega.

“Amicus Curiea Bu Mega selain berbasis pengatahuan juga berdasarkan pengalaman empirik. Sangat legitimated.”

Hamid juga menegaskan, bahwa Amicus Curiae Bu Mega di sidang MK, juga sesuai amanat UU No 48 Tahun 2009 tentang Peradilan.

“Wajib hukumnya bagi hakim menggali nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai keadilan subtantif dalam masyarakat. Mendengar keluhan masyarakat soal ketidak adilan dalam proses pilpres kemarin. Hanya hanya narasi statistik dan pakai argumen statistik.” ujarnya.

Putusan majelis hakim MK, pekan depan, jelas Hamid, juga seperti pengalaman MK di Pemilu 2008 saat ada preseden hukum Pilkada, dikenal TMS (terstruktur, massif dan sistematis).

“Ada bukti kecurangan yang TMS di pilkada 2008. Dan saat itu, majelis hakim MK perintahkan pemilu ulang.”

Dikatakan, kelak jika MK memutuskan Pilpres ulang, maka semua harus tunduk dan patuh.

“Kalau MK putuskan pemilu ulang. harus tunduk. Kita serahkan ke 8 hakim berjubah hitam.” (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved