Teropong
Nipametai
Selain kemampuan kompetitor juga turut dipengaruhi oleh integritas wasit atau juri yang menangani kompetisi tersebut.
TRIBUN-TIMUR.COM-Dalam sebuah kompetisi, ada pihak yang dinyatakan menang dan ada yang kalah.
Kalah-menang adalah sebuah risiko yang mesti diterima selama aturan mainnya sesuai prosedur.
Selain kemampuan kompetitor juga turut dipengaruhi oleh integritas wasit atau juri yang menangani kompetisi tersebut.
Jika wasitnya mudah diintervensi atau memihak, maka asas fair telah dilanggar.
Kenyataan ini berlangsung di banyak sektor.
Contoh konkret misalnya dalam bidang olahraga.
Perilaku pemain dapat diamati oleh wasit atau juri pertandingan.
Seandainya terjadi pelanggaran ‘halus’ maka akan dibuktikan dengan hasil rekaman.
Hal ini tidak dapat dibantah karena berlangsung secara otomatis.
Semua pergerakan dapat diikuti dengan cemat, detik demi detik.
Seperti halnya dalam dunia perlalulintasan dikenal adanya sistem ETLE atau Electronic Traffic Law Enforcement.
Sistem ini merupakan penerapan hukum dalam mendeteksi atau merekam pelanggaran lalu lintas secara otomatis.
Kita pengguna lalu lintas tidak dapat berkelit dari tangkapan kamera tersebut.
Alat sudah begitu canggih sehingga seolah-olah tidak dapat dibantah keandalannya.
Apa yang tertera di situ adalah sebuah kebenaran mutlak. Betulkah itu ?
Selama alat itu berfungsi sesuai tupoksinya, tanpa campur tangan manusia, maka hal tersebut dapat dipercaya.
Akan tetapi jika tangan dan pikiran ‘kotor’ manusia sudah ikut campur, maka hasilnya akan berbeda. Hasil dapat dimanipulasi.
Tetapi ketika menemui ahlinya, maka hasil itu dapat terlacak ketidakbenarannya.
Ada cerita seorang kerabat mengikuti sebuah ujian. Menurutnya, ia sudah menjawab dengan benar semua pertanyaan yang ada.
Namun hasilnya dinyatakan tidak lulus. Kemudian ia diberi kesempatan mengulang, tetapi tetap saja tidak lulus dalam ujian tersebut.
Padahal pengalamannya cukup lama menggeluti pekerjaan yang diujikan.
Ternyata sistem yang digunakan alat tersebut sudah dirancang agar peserta ujian tidak dapat lulus.
Hal itu ‘bocor’ dari seorang kawannya bahwa hasil sudah disetel sehingga peserta pasti tidak lulus.
Otak manusia jauh lebih cerdas dari peralatan yang canggih tersebut. Alat tetap alat semata, tergantung bagaimana manusia yang menggunakannya.
Jagat negeri sempat ‘gaduh’ setelah pemilu dilangsungkan belum lama ini.
Komisi Pemilihan Umum 2024 menggunakan Sirekap (sistem informasi rekapitulasi) untuk menghitung perolehan suara peserta pemilu.
Beberapa pihak menyangsikan cara kerja sirekap.
Karena dianggap bermasalah, maka sirekap dihentikan.
Pihak KPU beralasan bahwa kesalahan terjadi karena kelalaian manusia yang menginput angka-angka tersebut.
Konon berita yang beredar bahwa sirekap sudah dirancang untuk memenangkan pasangan calon tertentu di pilpres.
Akibat kerja atau ‘dikerjakan’ sirekap tetap memenangkan calon yang sudah sejak awal dirancang untuk itu.
Dalam bahasa Makassar dikatakan nipametai artinya diberi kemenangan.
Beda halnya jika dikatakan ammetai artinya memenangkan.
Lawan dari ammetai adalah nibetai artinya dikalahkan.
Dunia perpolitikan dipenuhi berbagai keterbalikan.
Seharusnya politik membuat kita menjadi lebih pandai, justeru yang terjadi pembodohan.
Sementara ada kalangan yang mengatakan bahwa masyarakat kita sudah cerdas dalam bepolitik ?
Ada salah satu grup WA di mana penulis diikutkan didalamnya.
Di situ tertulis aturan main bahwa tidak boleh ada pesan berbau politik.
Tampaknya grup itu alergi membicarakan politik.
Padahal Bertolt Brecht (penyair Jerman) mengatakan bahwa “Buta yang terburuk adalah Buta Politik.
Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung Keputusan politik”.
Jadi seharusnya kita jangan alergi dengan politik. Karena jika kita buta politik, mudah dibodoh-bodohi !!!(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.