Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ramadhan 2024

Jauh Sebelum Kedatangan 3 Datuk, Agama Islam Sudah Menyebar di Sulsel ? Berikut Catatan Sejarahnya

Ada 3 ulama sosok penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan dan berasal dari Sumatra Barat yakni Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk Patimang.

Editor: Alfian
ist
Datung ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk Patimang 3 ulama Minangkabau penyebar islam di Sulsel. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Betulkah sejarah masuknya agama islam di Sulawesi Selatan dimulai kedatangan 3 Datuk yakni Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk Patimang?

Berikut sejarah Islam di Sulsel yang diambil dari berbagai sumber.

Sebelumnya, diketahui bahwa ada tiga ulama yang merupakan penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan dan berasal dari Sumatra Barat. Mereka adalah Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Patimang, yang kemudian disebut Dato Tallua.

Penyebaran agama Islam yang mereka lakukan terjadi pada abad ke-17, dan pengaruh mereka dapat dirasakan di berbagai kerajaan dan masyarakat adat di Sulawesi Selatan, yang kemudian masuk Islam.

Namun, menurut Agussalim dalam buku "Suplemen Materi Ajar: Prasejarah-Kemerdekaan di Sulawesi Selatan", penyebaran agama Islam sebenarnya sudah ada jauh sebelum kedatangan ketiga Datuk tersebut.

Ternyata, bersamaan dengan itu, agama Kristen juga telah disebarkan sebelum mereka melakukan penyebaran agama Islam.

"Anggapan ini (penyebaran Islam lewat Dato Tallua) kurang tepat karena sebelum kedatangan ketiga ulama tersebut telah terdapat masyarakat Muslim di daerah ini, bahkan mereka harus bersaing dengan bangsa Barat yang berusaha menanamkan pengaruh agama Kristen," tulisnya dilansir dari nationalgeographic-grid.com.

"Di kerajaan Gowa, pedagang Muslim dan misionaris Kristen boleh dikatakan datang hampir bersamaan, meskipun penerimaan dan penyebaran kedua agama ini tidak bersamaan."

Baca juga: Masjid Besar Nurul Hilal Dato Tiro Bulukumba Kini Berusia 421 Tahun, Peninggalan Ulama Minangkabau

Sebelum tiga datuk itu, agama Kristen telah diterima di kerajaan Suppa dan Siang, sementara Islam berhasil mendapatkan tempat di Gowa.

Kedua agama tersebut disebarkan secara damai oleh misionaris dari kolonial Eropa dan pedagang dari kepulauan Nusantara lainnya atau Arab.

Selain itu, kristenisasi sebenarnya telah tiba sebelum islamisasi, tepatnya pada tahun 1538 oleh kalangan Jesuit melalui Panther Manule d'La Costa.

Panther Manule d'La Costa sebelumnya telah mengadakan pertemuan dengan bangsawan Gowa dan pihak Portugis yang sudah ada di Ternate pada tahun 1537.

Catatan Portugis melaporkan bahwa banyak bangsawan Gowa menerima masuknya agama Kristen, dan tidak sedikit dari mereka yang memeluknya.

Selama satu dekade berikutnya, Antonie de Payva, seorang pedagang dan misionaris Portugis dari Malaka, menyambangi Suppa dekat Pare-Pare selama tiga tahun.

De Payva mendapat mandat dari Gubernur Portugis di Ternate untuk menyebarkan agama Katolik, dan berhasil mengajak raja Suppa dan Siang (daerah Pangkep) pindah agama bersama penduduknya.

Baca juga: Sejarah Masjid Jami’ Nurul Mu’minin Berdiri 1825, Mulanya Hanya Tempat Persinggahan Raja Gowa

Kabar tentang Datu Suppa la Makkarawie, yang merupakan raja Suppa, menjadi kabar baik bagi Portugis, dan ia kemudian diberi nama Don Luis. Sementara itu, raja Siang juga dibaptis dan diberi nama Don Juan (Joao).
 
"Namun agama Katholik setelah itu justru semakin kehilangan pengaruhnya. Payva sempat mencatat bahwa misi Katolik yang diembannya mendapat banyak hambatan dari para pedagang Melayu Muslim yang lebih dahulu bermukim di wilayah kerajaan Siang," tulis Agussalim.

Salah satu kasusnya waktu seorang misionaris Portugis mencoba mengkristenisasi raja Gowa I Mangngarangi Daeng Manrabbia.

Ketika diajak pindah agama dari kepercayaan leluhurnya, dia mengatakan,

"Saya belum mau mengganti agama saya yang lebih dahulu ada di negeri ini, tetapi jika saya mau mengganti agama saya, nanti saya akan panggil pendeta (dai Islam) Melayu supaya saya dapat bandingkan."

Setelah itu, dia justru memeluk agama Islam yang digelari Sultan Alauddin, raja ke-14 yang berkuasa sejak 1593, dan menjadikannya sebagai agama resmi kerajaan.

Kendala lainnya penyebaran agama Kekristenan di Sulawesi Selatan juga karena penyebarannya langsung dari Portugis.

Berbeda dengan agama Islam, yang memang dari etnis Melayu yang lebih diterima di kerajaan Gowa.

Etnis asing yang diterima adalah yang serumpun seperti Jawa, Sumatra, dan Malaka yang telah datang di Somba Opu sejak raja Gowa kesembilan Tumpa'risi Kallona berkuasa, di abad ke-15.

Posisi orang Melayu mendapatkan posisi istimewa berdasarkan Lontarak Patturiolonga Gowa semasa pemerintahan Tunipalangga (1546-1565), raja ke-11.

Bersamaan dengan orang Melayu, etnis serumpun seperti Patani, Pahang, Champa, dan Johor juga menetap di Somba Opu pada masa itu. Mereka mendapat kebebasan untuk menjalankan agama Islam di kerajaan.

Meski saat itu raja Gowa sendiri belum ada yang masuk Islam hingga Sultan Alauddin berkuasa.

Penyebaran Islam kemudian berjalan secara formal di Sulawesi Selatan, tulis Agussalim, terutama ketika Sultan Ternate Baabullah mekukan perjanjian dengan Raja Gowa Tunijallo untuk menyerahkan Selayar ke tangan Gowa 1580.

Tunijallo sebagai penguasa ke-12 Gowa memang dikenal dekat dengan penguasa-penguasa Islam di Nusantara, termasuk raja-raja di Jawa, Johor, Malaka, Pahang, Banjar, dan Maluku.

Barulah satu abad kemudian ketika Raja Gowa ditawarkan dua agama, orang Melayu di Somba Opu perihatin dengan kegalauannya.

Komunitas ini memohon pada Sultan Muda Alauddin Riayat Syah mendatangkan ulama ke Sulawesi Selatan, yang memang dikenal mengirimkan ulama keluar Aceh untuk menyebarkan agama.

Masa inilah awal mula penugasan Dato Tallua itu.

Mereka sebelumnya telah berguru di zawiah atau sekolah agama seperti pesantren, yang telah berpengalaman menyebarkan Islam di kampung halaman mereka di Minangkabau.

"Ketiga ulama ini meninggalkan Minangkabau menuju Riau, kemudian menyeberang ke Johor. DI Riau dan Johor, mereka belajar mengenai budaya masyarakat Sulawesi Selatan dari para pelaut Bugis-Makassar," tulis Agussalim.

"Selanjutnya dengan difasilitasi Sultan Johor, mereka melanjutkan perjalanan misi dakwahnya. Dalam perjalanannya mereka kembali singgah dan berguru kepada Wali Songo di Tanah Jawa. Ketiga ulama ini mengakhiri perjalanan panjangnya setelah mendarat di Pelabuhan Somba Opu pada permulaan abad XVIII."

Ada tiga cara para ulama ini menyiarkan Islam.

Pertama lewat jalur politik, sebagaimana kisah kedatangan mereka di komunitas Melayu yang bertanya "Siapa raja yang paling berpengaruh di daerah ini?", yang kemudian dijawab "Pajung Luwu."

Kemudian ada pula jalur teologis, seperti kesamaan akidah Islam dengan Dewata SewwaE yang dianut penguasa dan rakyat Luwu. Ketika kerajaan Luwu sudah beragama Islam, raja menyarankan agar mereka mendekati Gowa-Tallo.

Agussalim menyimpulkan, politik di Sulawesi Selatan saat itu, Kerajaan Luwu dianggap mulia untuk perihal keagamaan.

Sedangkan Gowa-Tallo memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menyebarkan agama.

Sejak Gowa-Tallo dipengaruhi Islam, agama itu disiarkan berangsur-angsur di Sulawesi Selatan, termasuk ke Bulukumba tempat orang adat Ammatoa di Kajang bertempat.

Penyebaran di Bulukumba dilaporkan penuh dengan dialog keagamaan dan kesamaan paham antara Islam dan kepercayaan asli yang dianut.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved