Opini
Fenomena Gangguan Mental Caleg Gagal
Kekalahan sejumlah caleg pada Pileg berdampak pada tekanan pada Timses.
Oleh: Mansyuriah, S. S
Ada saja fenomena caleg gagal dan timsesnya yang bisa kita lihat paska berlangsungnya pesta demokrasi di negeri ini.
Mulai dari menarik kembali ‘pemberian’ pada masyarakat, menderita stress, dan yang paling ekstrem adalah timses yang bunuh diri sebab gagal mengantarkan calegnya menaiki “tahta” jabatan.
Sebelumnya bahkan sejumlah RS dan RSJ tengah mempersiapkan ruangan khusus untuk mengantisipasi caleg yang mengalami stres atau gangguan jiwa akibat gagal dalam kontestasi.
Kekalahan sejumlah caleg pada Pileg berdampak pada tekanan pada Timses.
Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dua timses mengalami tekanan hebat hingga harus mengambil kembali amplop yang sebelumnya dibagikan kepada warga. (tvonenews, 19-02-2024)
Sementara di Desa Jambewangi, Banyuwangi, seorang caleg menarik kembali bantuan paving block untuk warga karena perolehan suaranya kecil. (Kompas, 19-2-2024).
Lain lagi dengan yang dialami timses caleg di Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Ia nekat gantung diri di pohon rambutan hingga meninggal dunia karena caleg yang didukungnya gagal meraih kursi anggota dewan. (Media Indonesia, 19-2-2024).
Berbagai fenomena ini menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan mengingat keuntungan yang akan didapatkan, sehingga rela ‘membeli suara’ rakyat dengan modal yang besar, sehingga jelas pemilu ini adalah pemilu yang berbiaya tinggi.
Fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, yang hanya siap menang dan tidak siap kalah. Meski belum final, tapi hasil real count dari KPU sudah nampak perolehan suara para Caleg.
“Haus” Jabatan Jauh-jauh hari Rasulullah saw. telah mengingatkan umatnya agar berhati-hati terhadap ambisi berkuasa ini.
Beliau bersabda dalam riwayat Bukhari: ‘Sungguh kalian akan berambisi terhadap kekuasaan, sementara kekuasaan itu berpotensi menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat.’
Rasulullah saw. mengingatkan kaum muslim akan bahaya hubb ar-ri’aasah (cinta kekuasaan).
Apalagi, jika kekuasaan itu ternyata diraih dengan jalan melanggar syariat.
Di antara bahaya tersebut adalah bisa mendatangkan kerusakan pada agama para pelakunya sebagaimana hadis yang diriwayatkan Tirmidzi “Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih berbahaya bagi domba itu dibandingkan dengan ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya.
Berkaitan dengan hadis di atas, Ibnu Rajab menjelaskan, “Sabda Nabi saw. ini mengisyaratkan bahwa tidak akan selamat agama seseorang jika ia tamak terhadap harta dan kedudukan dunia.”
Dengan adanya ambisi terhadap jabatan dan kekuasaan, tidak sedikit orang menghalalkan segala cara, dengan berburu kekuasaan nantinya diharapkan bisa hidup enak, dan terhormat.
Jabatan Adalah Amanah
Islam memandang jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah.
Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?”
Lalu Rasulullah saw memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).
Islam juga mennetapkan cara-cara yang ditempuh harus sesuai dengan hukum syara.
Pemilu sendiri adalah uslub untuk mencari pemimpin atau majelis umah, dengan mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji.
Para calon pun memiliki kepribadian Islam, dan hanya mengharap keridlaan Allah semata.
Ketakwaan menjadi syarat mutlak bagi para pejabat di dalam sistem Islam, profil penguasanya adalah orang-orang yang takut pada Allah Swt.
Profil inilah yang tampak pada diri Rasulullah saw.
Meski menjadi penguasa yang agung, kehidupan beliau sederhana, berbanding terbaik dengan profil penguasa hari ini.
Kepemimpinan Islam
Islam mengatur bahwa pemimpin adalah gembala yang akan diminta pertanggungjawaban atas yang gembalaannya, yakni rakyat. Oleh karena itu, pemimpin wajib menggembala, mengurusi, melindungi, dan mengayomi semua rakyat tanpa terkecuali.
Islam juga memiliki pandangan khas mengenai kepemimpinan.
Rasulullah saw mencontohkan tentang menjadi pemimpin yang baik.
Teladan itu kemudian diikuti oleh para sahabat dan khalifah sesudahnya Sejarah juga membuktikan bahwa para sahabat tidak berhasrat menduduki kursi kepemimpinan.
Mereka paham betapa berat dan konsekuensinya.
Umar bin Khaththab ra. sepeninggal Abu Bakar ra. berkata, “Wahai Khalifatullah! Sepeninggalmu, sungguh ini suatu beban yang sangat berat yang harus kami pikul.”
Jadi, ketika mereka dipercaya menjadi pemimpin, mereka akan berhati-hati dan menjalankan amanahnya.
Bahkan, mereka meminta rakyat agar tidak sungkan untuk menegurnya.
Umar ra. berpesan, “Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf nahi mungkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat Saudara-Saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan Saudara sekalian.”
Dari sini, kita dapat mengerti bahwa Islam tidak akan membiarkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat.
Islam juga tidak akan mengizinkan orang yang serakah atau tidak taat syariat menjadi seorang pemimpin.
Islam membuat aturan ketat untuk menjadi seorang pemimpin.
Dengan begitu, pemimpin tidak akan mudah meninggalkan jabatannya hanya karena ingin mendapat kemaslahatan yang lebih besar.
Penjagaan seperti ini hanya bisa dilaksanakan oleh sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam. Wallahualam bissawab. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.