Opini Tribun Timur
Harga Beras Meroket di Negeri Lumbung Pangan
Sedangkan harga beras medium turun 0,49 persen menjadi Rp14.180 per kg.
Oleh: Engki Fatiawan
Ketua Korkom IMM Unhas
AKHIR-akhir ini perbincangan masyarakat mengenai tingginya harga beras ramai tersebar di sosial media.
Media pemberitaan juga gencar merilis berita-berita naiknya harga beras.
Berdasarkan panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Senin 26 Februari 2024, rata-rata harga beras kualitas premium naik 1,41persen menjadi Rp16.530 per kilogram (kg).
Sedangkan harga beras medium turun 0,49 persen menjadi Rp14.180 per kg.
Badan Pusat Statistik melalui Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini menyebut jumlah Kabupaten/Kota yang mengalami peningkatan harga beras melonjak dari minggu ketiga Februari 2024 sebanyak 179 wilayah, pada minggu keempat ini bertambah jadi 268 Kabupaten/Kota.
Lonjakan harga pangan juga terjadi pada komoditas bawang merah yang naik 0,06 persen menjadi Rp34.230 per kg dan harga bawang putih bonggol naik 1,55 persen menjadi Rp39.380 per kg.
Kenaikan juga terjadi pada cabai merah. Harga cabai pada minggu keempat Februari naik sekitar 7,63 persen dibandingkan Januari 2024 menjadi Rp57.521 per
kilogram.
Namun, 44 persen wilayah masih memiliki harga cabai lebih tinggi dari harga rata-rata nasional.
Tingginya harga bahan pangan khususnya beras sekarang ini disebabkan oleh perubahan iklim yang menyebabkan penundaan penanaman dan juga gagal panen.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Presiden RI dalam beberapa media pemberitaan.
Presiden juga menyampaikan akan memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan di tengah naiknya harga beras dan bahan pangan lainnya.
Pada dasarnya negara kita tidak sepatutnya mengalami kekurangan stok beras karena negeri ini dikatakan sebagai negeri agraris dengan petani sebagai profesi yang banyak dilakoni.
Dengan itu, Kata banyak orang Indonesia sebagai negeri lumbung pangan.
Akan tetapi, label tersebut kini mulai terkikis karena naiknya harga-harga bahan pokok.
Biasanya apabila naiknya harga bahan pangan kebijakan impor adalah pilihan yang mesti diambil untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Melansir dari detikfinance pemerintah akan mengimpor beras sebanyak 3,6 juta ton sepanjang tahun 2024.
Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang mengalami penurunan produksi akibat pergeseran waktu panen.
Adanya impor mengindikasikan bahwa suatu negara tidak berdaulat dengan pangannya sendiri. ketahanan pangan sangat rentan terhadap perubahan iklim yang menjadi penyebab gagal panen dan penundaan masa tanam.
Hal ini pada dasarnya perlu dipandang sebagai masalah yang mendasar yang mesti dicarikan solusi yang konkrit yang tidak hanya sebatas teori dan kebijakan-kebijakan yang menghabiskan anggaran negara.
Kita seharusnya tidak patut menyalahkan perubahan iklim karena anomali ini di luar kendali manusia.
Walaupun dalam sebuah hubungan ekosistem perubahan iklim akibat pemanasan global tidak terlepas dari dampak dari kendali kegiatan manusia yang berlalu dan sekarang terjadi.
Kita perlu melihat akar permasalahan pertanian selain dari permasalahan iklim.
Masalah yang paling mendasar terkait produksi pertanian yang menurun yaitu menurunnya tren tenaga kerja yang mau bekerja dalam bidang pertanian.
Penurunan tren tenaga kerja tidak terlepas dari rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga petani.
Hampir semua petani tidak menginginkan anaknya untuk menjadi petani.
Akibatnya, yang ada saat ini adalah petani-petani tua yang terbatas dalam tenaga dan penguasaan terhadap teknologi pertanian.
Jika tren penurunan tenaga pekerja dalam bidang pertanian terus mengalami penurunan maka lumbung pangan hanyalah ilusi yang dielu-elukan.
Ketahanan pangan sangat rentan dan tidak akan mendapatkan kedaulatan pangan.
Negara akan terbebani dan masyarakat akan merasakan kelangkaan pangan.
Solusi yang seharusnya perlu dilakukan yang pertama yaitu memperbaiki sistem sosial ekonomi pertanian saat ini dengan memandang petani sebagai ujung tombak yang mesti diberikan kesejahteraan.
Saat ini sistem membawa pada pandangan terhadap kapital sangat tinggi di tengah masyarakat.
Olehnya itu, pekerjaan petani mesti didesain sebagai profesi yang sangat menjanjikan.
Kedua, perlu ada kebijakan strategis yang mengatur tentang tata ruang kawasan pertanian tidak boleh dialih fungsikan dengan tata guna lahan lainnya.
Kemudian lahan-lahan yang tidur atau tidak digarap harus diolah kembali.
Ketiga, tenaga terampil pertanian harus dibekali dengan penguasaan teknologi pertanian, diberikan bantuan alat pertanian, kemudahan akses terhadap pupuk yang
bersubsidi, dan hasil panen yang menguntungkan bagi petani.
Keempat, program food estate juga bisa menjadi solusi yang konkrit untuk memenuhi pangan dalam negeri.
Akan tetapi kajian terhadap program ini harus lebih mendalam lagi dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemungkinan kegagalan dan juga dari aspek dampak lingkungan.
Jika program ini berhasil maka dapat membantu kebutuhan pangan dalam negeri dapat terpenuhi dengan baik.
Kelima, penggunaan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan bigdata perlu dilakukan dalam memetakan potensi lahan dan pengembangan pertanian yang ada.
Selanjutnya, sistem pertanian yang berbasis pada local wisdom perlu dijaga karena pada dasarnya sistem pertanian lokal yang ada di seluruh Indonesia adalah sistem pertanian yang bukan hanya berorientasi pada hasil akan tetapi juga ada pertimbangan konservasi lingkungan di dalamnya.(*)
Opini Kemandirian Pangan: Menakar peran Strategis Peternakan |
![]() |
---|
Ketidakadilan Pemantik Kericuhan Sosial |
![]() |
---|
Panggilan Jiwa Presiden Mengisi Perut Rakyat Terus Melaju |
![]() |
---|
Bukan Rapat Biasa, Ini Strategi Cerdas Daeng Manye Mencari 'The Next Top Leader' di Takalar |
![]() |
---|
1 Juni: Pancasila Tetap Luhur, Walau Inter Milan Amburadul |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.