Opini
Masyarakat Adat, Pemilu, dan Suara yang Terabaikan
Narasi yang sering digunakan adalah mendorong agar seluruh warga negara dapat berpartisipasi dalam hajatan lima tahunan tersebut.
Oleh: Miftha Khalil Muflih
Mahasiswa Magister di Center for Religious and Cross-cultural Studies di Universitas Gadjah Mada.
Pemilu seringkali dinarasikan sebagai pesta demokrasi rakyat yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat, setidaknya yang telah memiliki KTP.
Narasi yang sering digunakan adalah mendorong agar seluruh warga negara dapat berpartisipasi dalam hajatan lima tahunan tersebut.
Namun narasi tersebut seperti narasi template yang diulang-ulang, namun pada realitasnya kegiatan tersebut belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh semua warga negara.
Argumentasi saya tersebut tentu memiliki alasan.
Salah satunya adalah ada banyak kelompok marjinal yang seringkali hanya menjadi penonton.
Salah satu dari kelompok marjinal tersebut adalah kelompok masyarakat adat atau suku terpencil.
Dalam sebuah catatan dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), dijelaskan jika suara masyarakat adat masih
menjadi kelompok yang sering diabaikan suaranya dalam partisipasi politik.
Padahal dari catatan AMAN per tahun 2022, jumlah populasi masyarakat adat di Indonesia kurang lebih 20 juta.
Ada beberapa persoalan yang membuat masyarakat adat atau suku terpencil akhirnya luput dan tidak dapat berpartisipasi dalam pesta demokrasi tersebut.
Seperti dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Susandi, dkk. yang berjudul “Menelisik Hambatan Pemenuhan Hak Politik
Masyarakat Adat dalam Kepemilikan E-KTP sebagai Perwujudan Demokrasi Pancasila” (2023).
Dijelaskan jika salah satu yang menghambat partisipasi masyarakat adat dalam pemilu adalah persoalan KTP.
Persoalan KTP sebenarnya adalah persoalan administrasi.
Seringkali masyarakat adat terhambat untuk memperoleh kartu identitas tersebut karena beberapa persoalah seperti; wilayah
tempat hidup mereka yang seringkali tumpang tindih dengan Taman Nasional, Perusahaan, atau berada di wilayah yang sangat sulit diakses.
Ada banyak kasus yang dapat kita lihat bagaimana masyarakat adat pada akhirnya harus terpontang-panting dan harus terusir dari wilayahnya karena sengketa, seperti misalnya orang Rimba atau Suku Anak Dalam yang ada di Sumatera.
Pemilu dan Pemenuhan Hak Lain
Saya sendiri melihat bahwa bukan hanya persoalan KTP atau administrasi yang menjadi persoalan atau hambatan keterlibatan masyarakat adat pada kegiatan politik.
Saat ini, saya sendiri sebenarnya sementara melakukan penelitian dan magang di salah satu masyarakat adat yaitu di
Orang Rimba dan Talang Mamak yang ada di provinsi Jambi.
Ada sebuah pengalaman menarik yang saya jumpai.
Dalam sebuah percakapan saya dengan masyarakat adat tersebut, beberapa dari mereka menyampaikan jika mereka agak kebingungan dengan ada banyaknya jumlah dan jenis surat suara (baca: surat suara calon presiden dan legislatif)
Mereka juga menyampaikan jika mereka kesulitan untuk memilih calon legislatif karena yang ditampilkan hanya nama calon, sedangkan ada banyak masyarakat adat yang ada di daerah terpencil yang masih buta aksara.
Tidak sampai di situ, persoalan lainya yang ada di masyarakat adat adalah mereka tidak tertarik dengan kegiatan lima tahunan tersebut.
Tentu hal tersebut tidak bisa diterjemahkan sebagai bentuk apatis terhadap politik.
Mereka menganggap bahwa beberapa calon wakil rakyat hanya memanfaatkan suara mereka dan setelah terpilih mereka akan
dilupakan.
Berdasarkan kasus di atas, penting untuk merespon isu partisipasi politik di masyarakat adat tidak hanya sebatas per lima tahunan saja.
Dalam hal ini, partisipasi politik masyarakat adat tidak hanya sebatas pada pemilihan umum namun melihatnya secara keseluruhan atau memaknai hak politik berkesinambungan dengan hak-hak yang lain.
memenuhi hak tersebut akan menunjang keberhasilan dari pemenuhan hak lainnya.
T.H Marshall dalam Citizenship and Social Class (1992) menjelaskan jika ada tiga jenis hak yang melekat pada masyarakat yaitu; hak sipil, hak politik, dan hak sosial.
Menurutnya, ketiga hak tersebut melekat satu sama lain.
Hak tersebut berkaitan dengan hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.
Kehadiran negara di masyarakat adat tidak bisa jika hanya pada kegiatan lima tahunan tersebut.
Negara harus hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka termasuk dalam pemenuhan hak-hak di atas.
Rekognisi, Representasi, dan Redistribusi
Melihat apa yang terjadi pada masyarakat adat adalah bentuk pengakuan setengah hati kepada mereka.
Hak-hak masyarakat tersebut hanya dipenuhi pada kasus-kasus tertentu.
Lalu bagaimana kita merespon hal tersebut?
Tentu pengakuan setengah hati tersebut haru dibuat menjadi setulus hati.
Nancy Fraser dalam From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice in a ‘Post-Socialist’ Age (1995) menjelaskan jika ada tiga aspek yang dapat menjadi ruang untuk mengartikulasikan politik kewarganegaraan yaitu; rekognisi, redistribusi, dan
representasi.
Ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan berkelindan satu sama lain.
Seperti misalnya pada aspek rekognisi, hal ini dapat dilihat dalam kerangka politik formal yaitu sejauh mana negara baik pada tingkatan pusat hingga paling bawah (lokal) dapat mengakui dan menghargai keberadaan dari suatu kelompok.
Tentu hal tersebut melampaui identitas-identitas baik itu gender, agama, ras, dll.
Negara perlu memperhatikan keragaman yang ada di masyarakat begitupun dalam hal kebijakan dan perlakuan.
Dalam hal ini negara perlu memperhatikan konteks yang ada di masyarakat adat.
Pada aspek berikutnya yaitu representasi, pengelolaan negara, pengambilan keputusan, dan pembuatan kebijakan penting untuk melihat aspek pelibatan dalam setiap kelompok.
Hal tersebut menyangkut penyampaian aspirasi warga.
Representasi tentu akan sangat bergantung pada aspek rekognisi, yaitu sejauh mana negara mengakui keberadaan dari suatu kelompok.
Tentu negara perlu mempertimbangkan sejauh mana dan efektifitas dari model representasi bagi masyarakat adat.
Apakah model representasi yang ada sudah mengakomodir suara-suara masyarakat adat.
Pada bagian redistribusi, aspek ini menyangkut beberapa ranah.
Ranah tersebut dapat pada kehidupan sehari-hari atau pada aspek hak dasar (ekonomi, pendidikan, dan kesehatan).
Aspek ini menjadi penting dan juga sekali lagi berkelindan dengan aspek lainnya.
Pertanyaanya adalah sejauh mana negara memfasilitasi masyarakat pada aspek tersebut atau apakah redistribusi hak dasar tersebut menyentuh seluruh kelompok di masyarakat.
Tentu persoalan ini sangat berkaitan, sebagai muara dari aspek rekognisi dan representasi.
Mengakui dan melibatkan kelompok masyarakat adat menjadi penting agar pemenuhan hak dan aspirasi mereka terealisasi.
Tiga aspek “Re” tersebut (Rekognisi, Representasi, dan Redistribusi) menjadi aspek yang penting untuk diperhatikan dalam pelibatan masyarakat adat dalam pesta demokrasi.
Pemilu akan menjadi medium bagi kaum elit saja jika tidak mempertimbangkan kelompok-kelompok minoritas dan marjinal.
Namun tentu tiga aspek tersebut menjadi kunci dalam kasus ini agar perhelatan lima tahunan ini tidak terjebak pada kegiatan formalitas dan dinikmati oleh segelintir kelompok saja.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.