Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pemilu 2024

Curhat Caleg Makassar Keluarkan Rp18 Juta 'Beli' 112 Suara, Ujung-ujungnya Tekor

Setiap Caleg minimal menyiapkan Rp1 atau Rp2 miliar jika ingin terpilih di Pemilihan Legislatif 2024.

Editor: Ansar
Tribun-Timur.com
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Perindo Sulsel, Askar. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Calon anggota legislatif (caleg) DPRD Sulsel curhat soal jumlah anggaran yang dikeluarkan tak sebanding suara yang didapatkannya.

Setiap Caleg minimal menyiapkan Rp1 atau Rp2 miliar jika ingin terpilih di Pemilihan Legislatif 2024.

Hal tersebut adalah curhat Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Perindo Sulsel, Askar.

Menurut caleg DPRD Sulsel Dapil Makassar A itu, mengeluarkan biaya kampanye miliaran rupiah,  juga belum menjaminan bisa lolos ke parlemen.

Askar pun menjelaskan kalkulasi biaya kampanye harus dikeluarkan caleg DPRD Sulsel agar terpilih.

“Kalau mau dapat suara 10 ribu atau 20 ribu, harus keluarkan miliaran. Satu suara biayanya minimal Rp100 ribu dikali dengan jumlah suara untuk duduk (terpilih). Kalau pakai konsultan, lebih mahal lagi. Ada konsultan tawarkan Rp300 ribu hingga Rp 500 ribu per suara,” kata Askar dalam wawancara, Senin (1/1/2024).

Biaya Rp100 ribu hingga Rp500 ribu per suara, adalah biaya konsumsi, transportasi, dan alat peraga kampanye.

Agar calon pemilih tak beralih dukungan, maka basis massa harus dirawat dengan cara rutin menggelar pertemuan sosialisasi.

Satu titik kampanye minimal 1 kali pertemuan.

“Saat pertemuan, sudah dikasih makan, pas mau pulang minta uang transpor. Mereka bilang, ‘Kok diundang tapi tidak ada uang transportnya. Belum lagi kita dihadapkan dengan caleg punya modal besar,” tutur Askar.

Askar juga mencontohkan model calon pemilih meminta uang kepada caleg dengan menyodorkan proposal kegiatan.

Pada malam tahun baru, misalnya. Askar disodori 4 proposal permohonan bantuan dana pesta malam tahun baru dari calon pemilih di Kecamatan Makassar, Kecamatan Rappocini, Kecamatan Tamalate, dan Kecamatan Tallo.

"Cara calon pemilih meminta uang tak bisa dihindari. Sebab, mereka berprinsip, kalau bukan sekarang mendapatkan uangnya, kapan lagi," kata dia.

"Prinsipnya pemilih ada 3. Ini (kampanye) 1 kali dalam 5 tahun, siang malam kita kerja bantu mereka (caleg). Belum tentu datang lagi kalau sudah terpilih,” kata Askar.

Askar kemudian mengenang pengalaman pahitnya ketika menjadi caleg DPRD Makassar dari Partai Perindo Dapil 2 pada Pemilu 2019.

“Saya sudah kasih uang Rp18 juta, dijanji 112 suara, tapi hanya dapat 17 suara,” katanya.

Terpisah, Ketua DPD Partai Nasdem, Rachmatika, mengakui jika caleg memang membutuhkan biaya besar.

“Pemilu memang membutuhkan biaya besar, karena ada cost politik dalam agenda kampanye, mulai dari atribut, kegiatan kampanye, konsolidasi tim. Tentu itu membutuhkan biaya,” kata Rachmatika yang sudah 2 periode duduk sebagai legislator DPRD Sulsel dan 1 periode di DPRD Makassar mewakili Partai Golkar.

Rachmatika mengakui, politik uang tak bisa dianggap tak ada.

“Praktik money politic tidak bisa dianggap tidak ada, tapi itu relatif tiap orang. Tidak semua orang duduk di DPRD karena menghabiskan biaya kampanye miliaran,” ujarnya.

Cicu, sapaan Rachmatika, punya pengalaman 3 kali bertarung di pemilu dan tahun ini merupakan tahun keempatnya menjadi caleg.

Ketua Bappilu DPD Partai Demokrat Sulsel, Andi Januar Jaury Dharwis, juga mengakui jika pemilih kian pragmatis.

Kondisi itu didukung dengan adanya caleg berkantong tebal dan hanya mengandalkan uang agar terpilih.

“Sekarang ada model ambil KTP, KK, lalu tukar dengan uang. Sekarang ada istilah panjar, mereka mau ukur komitmen caleg. Panjar 1, panjar 2,” kata anggota DPRD Sulsel dari Partai Demokrat dapil Makassar A tersebut, Sabtu (6/1/2024).

Model politik uang seperti itu dilakukan tim pemenangan dengan mendatangi rumah calon pemilih (door to door).

Saat bertarung di Pemilu 2019, Januar mengaku menghabiskan Rp350 juta.

Legislator DPRD Sulsel dari PKS Dapil Makassar A, Sri Rahmi, mengakui menghabiskan Rp600 juta pada Pemilu 2019.

Saat diwawancarai pada Jumat (12/1/2024), Rahmi sedang kampanye di Kelurahan Tabaringan, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, untuk pencalonannya sebagai anggota DPR RI dari dapil Sulsel 1.

Kata dia, caleg saat ini tak bisa semau-maunya memainkan politik uang karena pemilih semakin cerdas.

Hal ini tentu menguntungkan caleg yang punya modal sosial kuat dan program disukai masyarakat.

“Pemilih sekarang semakin cerdas. Tidak mau dibodoh-bodohi caleg yang hanya sekali datang, lalu tak datang lagi setelah dikasih uang,” kata Bunda Rahmi, sapaannya.

Modal besar

Menjadi legislator butuh modal kapital besar.

Menurut pengamat politik dari Unhas Adi Suryadi Culla, wajar jika para miliuner berlatar belakang pengusaha menjadi legislator, terlepas dari apa pun motifnya.

Menjadi legislator pada saat ini tidak hanya cukup dengan modal sosial.

“Modal kapital harus kuat. Inilah efek dari sistem proporsional terbuka. Siapa paling banyak uangnya, dia berpotensi terpilih,” kata Adi.

Modal kapital inilah dimiliki pengusaha.

Menurut Adi, pertarungan modal kapital inilah merusak tatanan demokrasi di Tanah Air.

Terlebih pemilih juga kian pragmatis.

“Sekarang sudah serangan pagar, bukan lagi serangan fajar. Transaksi beli suara sudah dilakukan di depan pagar rumah pemilih,” ujar Adi.

Modal kapital dibutuhkan untuk duduk di DPRD provinsi mulai Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.

Angka itu disebutkan Direktur Prajna Research Indonesia Sofyan Herbowo berdasarkan hasil surveinya sebagaimana diberitakan Kompas.com pada 1 Agustus 2018.

Namun, angka sebesar itu dikeluarkan sebelum Pemilu 2019.

Tentu sekarang di tengah kenaikan harga barang dan jasa, biaya kampanye juga naik.

Rachmatika sekaligus Ketua DPD Partai Nasdem juga mengakui jika jadi caleg memang membutuhkan biaya besar.

Namun, angka biaya kampanye dihabiskan relatif.

“Tapi berbagi pengalaman bahwa memang pemilu membutuhkan biaya karena ada cost politik timbul dalam agenda kampanye, mulai dari atribut, kegiatan kampanye, konsolidasi tim. Tentu itu membutuhkan biaya,” kata Rachmatika menyebutkan.

Rachmatika sudah 2 periode duduk sebagai legislator DPRD Sulsel dan 1 periode di DPRD Makassar mewakili Partai Golkar.

Dia punya pengalaman 3 kali bertarung di Pemilu dan tahun ini merupakan tahun keempat.

Ketua Bappilu DPD Partai Demokrat Sulsel, Andi Januar Jaury Dharwis juga mengaku pemilih kian pragmatis.

Kondisi itu didukung dengan adanya caleg berkantong tebal dan hanya mengandal uang agar terpilih.

“Sekarang ada model ambil KTP, KK, lalu tukar dengan uang. Sekarang  ada istilah panjar, mereka mau ukur komitmen caleg. Panjar 1, panjar 2,” kata anggota DPRD Sulsel dari Partai Demokrat dapil Makassar A tersebut, Sabtu (6/1/2024).

Model politik uang seperti itu dilakukan tim pemenangan dengan mendatangi rumah calon pemilih (door to door).

Saat bertarung di Pemilu 2029, Januar mengaku menghabiskan Rp 350 juta.

Rachmatika mengakui, politik uang tak bisa dianggap tak ada.

“Praktik money politic tidak bisa dianggap tidak ada, tapi itu relatif tiap orang. Tidak semua orang duduk di DPRD karena menghabiskan biaya kampanye miliaran,” ujarnya.

Legislator DPRD Sulsel dari PKS dapil Makassar A, Sri Rahmi mengakui menghabiskan Rp 600 juta pada Pemilu 2019.

Saat diwawancarai pada Jumat (12/1/2024), Rahmi sedang kampanye di Kelurahan Tabaringan, Kecamatan Ujungtanah, Makassar, untuk pencalonannya sebagai anggota DPR RI dari dapil Sulsel 1.

Kata dia, caleg saat ini tak bisa semau-maunya memainkan politik uang karena pemilih semakin cerdas.

Hal ini tentu menguntungkan caleg yang punya modal sosial kuat dan program disukai masyarakat.

“Pemilih sekarang semakin cerdas. Tidak mau dibodoh-bodohi caleg yang hanya sekali datang, lalu tak datang lagi setelah dikasih uang,” kata Bunda Rahmi, sapaannya.

Amirul Yamin Ramadhansyah, mantan caleg DPRD Sulsel dari Partai Demokrat dapil Makassar B pada Pemilu 2019 mengaku menghabiskan biaya kampanye Rp 350 juta.

“Itu pun saya tidak serius kampanye caleg karena fokus kampanye Cawapres Sandiaga Uno. Saya juga diuntungkan dengan popularitas Bapak (ayahnya, mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin),” kata Amirul, Jumat (12/1/2024).

Dia menyebut ada caleg menghabiskan dana kampanye miliaran rupiah karena popularitasnya rendah, namun isi kantongnya tebal.

“Kalau caleg baru, tidak punya nama, bisa habis miliaran rupiah,” katanya.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved