Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Pengin Presiden Seperti Jokowi, Pengamat Singgung Politik Dinasti

Pakar politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Hasrullah memberikan pandangan terkait pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit...

|
Tangkapan layar YouTube Divisi Humas Polri
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam acara Perayaan Natal Mabes Polri 2023 seperti dilihat dalam YouTube Divisi Humas Polri, Kamis (11/1/2024). 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo menekankan pentingnya memiliki pemimpin mampu melanjutkan estafet kepemimpinan. 

Pernyataan ini disampaikan oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam acara Perayaan Natal Mabes Polri 2023 pada Kamis (11/1/2024).

Dalam konteks Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Kapolri memperhatikan adanya perbedaan pendapat yang muncul. 

Dengan tegas, Jenderal Polri empat bintang itu menyampaikan harapannya agar proses pemilihan pemimpin nantinya dapat menghasilkan figur yang mampu memimpin dengan efektif dan membawa kemajuan bagi negara.

"Yang kita cari adalah pemimpin yang bisa melanjutkan estafet kepemimpinan. Bukan karena perbedaan, akhirnya bukan pemimpin yang kita cari, tapi yang kita pelihara perbedaan terus dan kemudian itu kita bawa dalam konflik," ujar Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam pernyataannya.

Pernyataan Jenderal Listyo Sigit Prabowo menciptakan sorotan terkait pandangannya terhadap arah kepemimpinan di masa depan.

Pakar politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Hasrullah memberikan pandangan terkait pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit.

Menurutnya, sebagai kapolri yang menjabat di era Presiden Jokowi, tentunya para penguasa menginginkan calon pemimpin yang bisa dikendalikan.

"Biasanya itu Incumbent atau turun ke Incumbent ke bawah selalu status ingin mempertahankan kekuasaan, itu mesti dipahami dari segi perspektif politik," kata Hasrullah kepada Tribun-Timur, Jumat (12/1/2024).

Baginya, siapapun yang memimpin, selalu menginginkan kekuasaan diwariskan ke orang-orangnya, yang bisa dia kendalikan.

"Semua petahana begitu, termasuk di Sulsel. Kemudian penantang itu selalu menginginkan perubahan, selalu menginginkan ada pergantian karena ini menyangkut perebutan kekuasaan," ujarnya.

Keingunan itu bukan hanya presiden, gubernur, bupati/wali kota, hingga sekelas rektor kampus pun melakukan hal yang sama.

"Mereka ingin mempertahankan status quo. Jadi penggantinya dari kelompok-kelompok mereka," lanjutnya.

Sehingga kalau kabinet Jokowi ingin mempertahankan orang yang didukung, Hasrullah menyebut wajar-wajar saja.

Namun, bagi penantang seperti Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, pasti isu perombakan akan selalu digaungkan.

Hanya saja kondisi kontestasi politik sekarang sangat berbeda, caranya yang dianggap tidak wajar.

Di samping itu, Hasrullah menganggap sangat melukai proses-proses pemilu dan demokratisasi.

"Yang tidak boleh, kalau dalam pertarungan kontestasi politik itu tidak mengacu pada undang-undang pemilu baik Bawaslu maupun KPU. Jadi siapapun itu, apakah itu menteri, apakah kabinetnya Jokowi, apa bedanya Bahlil kalau mau melihat, Bahlil kan pasang badan. Itulah nikmatnya kekuasaan," ucapnya.

Soal arah dukungan kapolri, Hasrullah menilai sangat berkoneksi dengan Jokowi.

"Itukan afiliasinya Jokowi dari dulu. Jadi jaringan koneksi politik itu selalu ada, dia selalu menjadi klan," paparnya.

Hasrullah pun mencontohkan soal dinasti politik paling berpengaruh dan terkenal di dunia.

Seperti dinasti Kennedy, klan Bhutto, dan dinasti Nehru.

Dinasti yang dikenal di seluruh dunia salah satunya adalah Kennedy.

John F Kennedy menjadi presiden termuda, ia menjadi presiden AS pada usia 35 tahun. 

Saat menjabat sebagai presiden, John menempatkan Robert Kennedy sebagai Jaksa Agung dan Edward Kennedy sebagai Senat Massachusetts.

Lalu, dinasti Bhutto yang merupakan dinasti di Negara Pakistan.

Benazir Bhutto merupakan anak dari Zulfiqar Ali Bhutto. 

Di mana, Zulfiqar merupakan presiden dan perdana menteri.

Berdasarkan catatan sejarah, kepemimpinan Zulfiqar berakhir karena kudeta. 

Zulfiqar kemudian dihukum gantung oleh Jenderal Zia Ul Haq.

Hal ini membuat keluarga Bhutto mengasingkan diri.

Dinasti Nehru-Gandhi 

Nehru adalah Perdana Menteri ke-1 India pada 1947 hingga 1964.

Nehru merupakan ayah dari Indira Gandhi. 

Dinasti Nehru ini turun ke anak hingga cucu, dari Indira Gandhi, Rajiv Gandhi, sampai Sonia Gandhi.

Hasrullah menyebut, dinasti-dinasti semacam ini ingin mempertahankan kekuasaan.

Namun, Indonesia bukanlah sebuah negara kerajaan, tetapi negara penganut demokrasi. 

Walau demikian, klan dinasti Gandhi, Bhutto, Kennedy dianggapnya punya rekam jejak yang bersih hingga kapasitas sebagai pemimpin tak bisa diragukan.

"Makanya dalam bentuk seperti itu. Kalau klan-klan yang bersih, seperti Klan Gandhi, Bhutto, Kennedy itu punya regenerasi, kapasitas, dan kualitas," ujarnya.

"Memang mereka diinginkan oleh masyarakat, Bhutto saja, anaknya pergi sekolah walaupun kena bom, pergi sekolah di Inggris, menyelesaikan pendidikan di Inggris. Jadi harus seperti itu, semestinya sekolah dulu baik-baik, punya pengalaman politik praktis, baru bisa maju mencalonkan," tandasnya. (*)


 
 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved