Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kisah Perantau Bantaeng 20 Tahun Jadi TKW, Tak Digaji dan Mau Dijual oleh Majikan

Ialah Rahmatia Dg Bau, pegi mengadu nasib menjadi TKW di Malaysia usai pisah ranjang dengan suaminya.

Penulis: Siti Aminah | Editor: Ari Maryadi
ISTIMEWA
Ilustrasi pekerja migran. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kelompok Peduli Buruh dan Migran Bangkala (KPBMB) Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan menjadi garda terdepan menyelematkan nasib para migran, utamanya perempuan.

Bergerak sejak tahun 2014, kelompok ini sudah mendampingi banyak migran perempuan.

Berawal dari daerahnya, di Bangkala Bantaeng, hingga menyentuh kabupaten kota lainnya di Sulawesi Selatan yang membutuhkan uluran tangan.

Salah satu sengkarut pekerja migran yang ditangani ialah kisah warga Bangkala Bantaeng yang dipulangkan usai 20 tahun di negara tetangga, Malaysia.

Ialah Rahmatia Dg Bau, pegi mengadu nasib menjadi TKW di Malaysia usai pisah ranjang dengan suaminya.

Rahmatia terpaksa menitip dua anaknya yang saat itu masih usia sekolah dasar kepada kerabatnya di Bangkala.

Tak cukup satu tahun, Rahmatia tak sanggup berjauhan dengan buah hatinya.

Memboyong dua anaknya ke Malaysia menjadi keputusannya untuk memastikan anaknya dalam keadaan baik.

"Dia titip 2 orang anaknya, dia cuma bawa bayinya 1 yang kecil, tapi belum cukup 1 tahun dia kembali datang untuk mengambil anaknya yang dititip," ucap Ketua KelompokPeduli Buruh dan Migran Bangkala (KPBMB) Kabupaten Bantaeng, Ramlah, Minggu (17/12/2023).

Berharap punya kehidupan yang layak dan mumpuni di tanah rantau, Rahmatia Dg Bau bersama anaknya justru mendapat perlakukan yang tak baik dari perusahaan tempatnya bekerja.

Rahmatia rupanya menjadi korban perdagangan manusia atau traficcking.

Ia bekerja di sebuah perusahaan sawit, di sana, ia pernah tak digaji hampir 2 tahun lamanya.

"Dia pernah komunikasi minta tolong dibantu, katanya kalau tidak dikirimkan uang dia sudah dijual dan tidak bisa pulang lagi, nah itu sudah masuk traficcking," ungkapnya.

Agar nasib Rahmatia terselamatkan, Ramlah beserta tim KPBMB lainnya menggalang dana, juga mendatangi keluarga korban untuk meminta bantuan.

Dana yang terkumpul waktu itu Rp4 juta, itu pula yang dikirim ke Rahmatia untuk menebus ke perusahaan tempatnya bekerja.

Ibu tiga anak ini juga mengorbankan emasnya, dijual untuk menambah tebusan ke perusahaan.

"Ibu (Rahmatia) bahkan mengalami kerja paksa, dalam kondisi sakit dipaksa (kerja) juga karena istilahnya perusahaan sudah beli dia," jelasnya

Akhirnya ia berhasil lepas dari perusahaan perkebunan itu lalu mencari pekerjaan lain.

Di tempat barunya, Rahmatia mulai mengimpulkan uangnya agar bisa kembali ke Indonesia.

Ia juga menyisihkan uang agar bisa membeli tanah dan membangun tempat tinggal di tanah lahirnya, Bangkala.

"Anaknya sdah ikut kerja juga, akhirnya dia kumpul dan kirim (uang) ke saya dan beli tanah, supaya pulang sudah ada tempat tinggal," ulasnya.

20 tahun hidup menjadi pejuang devisa, Rahmatia dan ketiga anaknya pulang ke kampung halaman.

Dengan kondisi yang sudah tidak sehat lagi, Rahmatia harus tetap bekerja untuk bertahan hidup.

Ia memilih menjadi pedagang kaki lima, menjual aneka gorengan meski tubuh semakin renta.

Sementara anaknya, oleh KPBMB difasilitasi agar bisa mendapatkan pekerjaan, jadilah anaknya sebagai petugas kekebersihan.

Lanjut Ramlah, KPBMB juga pernah membantu memulangkan jenazah migran asal Kabupaten Maros.

Prosesnya cukup panjang, sebab migran tersebut meninggal pada Oktober, berhasil dipulangkan dibulan Januari.

Kasus migran yang paling banyak ditangani persolaan identitas.

Ketika mereka sudah pulang dari aktivitas TKW nya, banyak yang identitasnya sudah berubah.

Ada yang sudah berkeluarga, punya anak, bahkan banyak pula yang identitasnya berubah, seperti nama dan lainnya.

"Kita dampingi untuk dapat akta khususnya buku nikah, akta lahir anak. Kita harus perjuangkan bagaimana dia mendapat kan identitas, " paparnya.

Tidak hanya melakukan pendampingan terhadap migran, KPBMB juga fokus terhadap isu kekerasan perempuan.

Ada satu warga yang dibantu biaya operasinya karena mengidap kanker serviks.

Penyakit itu di dapat dari suaminya yang diduga berhubungan seksual secara bebas.

"Kami bantu untuk operasi bantuan kanker serviks, setelah itu korban minta pisah," katanya.

Kerja-kerja yang dilakukan KPBMB tentu tak mudah, ada banyak kerikil yang mereka temui dalam prosesnya.

Termasuk penolakan-penolakan dalam pengurusan identitas migran yang didampingi. (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved