Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Jusuf Kalla

Jusuf Kalla: Damai adalah Dasar Interaksi Sosial Umat Islam

Jusuf Kalla berbicara di hadapan para mediator dan calon mediator perdamaian dari berbagai negara dan organisasi internasional.

Editor: Sakinah Sudin
Dok Pribadi
Wakil Presiden RI yang ke 10 dan 12, M. Jusuf Kalla, di hari kedua 19/10/2023), konferensi tentang Perdamaian Dunia di kota Brussel, Belgia, pada European Resources For Mediation Support, ditampilkan sebagai pembicara utama. 

Lebih jauh, Jusuf Kalla menguraikan, Islam yang masuk ke Indonesia, adalah islam yang dibawa oleh pada saudagar Arab.

Karena itu, sangat rasional. Sangat toleran karena saudagar itu selalu mencari sahabat, bukan mencari musuh.

Berdasarkan itu semua, Jusuf Kalla menilai, ada semacam ketidakadilan dalam membangun perspektif untuk menilai Islam di dunia sekarang ini, dan harus dihentikan.

Semua konflik yang terjadi sekarang, terutama yang dialami oleh negara atau masyarakat islam, bukanlah konflik agama, tetapi masalah ketidakadilan ekonomi, social dan politik.

Ini yang harus dibereskan. Jangan berbicara tentang ajaran Islam melulu.

Kondisi Islam yang harus dibenahi.

Hamid Awaludin Kutip Hadis Nabi

Dalam forum dan sesi yang sama, selaku peserta konferensi, Hamid Awaludin, mantan Menteri Hukum dan HAM, berbicara tentang persepsi keliru mengenai diskriminasi dan pemarjinalan perempuan di masyarakat Islam.

Banyak orang yang gagal paham mengenai ini. Ajaran islam mengenai perempuan sangat jelas, kata Hamid, sembari mengutip Hadis Nabi: “Surga terletak di bawah kaki Ibu.”

Ini adalah sebuah sikap tegas Islam bagaimana perempuan itu diberi tempat paling berharga.

"Surga itu kan tujuan semua orang yang beragama. Dan surga berada pada Ibu," lanjut Hamid.

Kata dia, masalah persepsi keliru mengenai ajaran Islam yang dinilai sangat diskriminatif terhadap perempuan, itu bergantung pada proses evolusi sejarah masyarakat Islam.

Di masyarakat tradisional yang pola hidupnya adalah adalah memburu atau Bertani, di situ terjadi pembagian kerja (division of labor) yang sangat ekstrim antara tugas kaum pria dan tugas kaum perempuan.

Pembagian kerja yang ekstrem tersebut acapkali dipersepsikan sebagai diskriminatif dan tidak adil. Ini proses sejarah dan adat. Bukan soal ajaran Islam.

Namun, bila kita melihat masyarakat Islam sekarang yang masuk dalam kategori industri, atau setidaknya bukan negara agraris, pembagian kerja yang ekstrim itu tidak lagi dikotomis, tetapi saling melengkapi.

"Nah, dalam konteks inilah seyogianya kita arif menyikap agenda diskriminasi perempuan dalam perspektif Islam, tegas Hamid Awaludin. (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved