Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sejarah Baru KPK, Klaim Khilaf Tetapkan Kepala Basarnas Jadi Tersangka Suap Usai Komandan TNI Protes

Sejak berdiri sejak 29 Desember 2003 silam, hari adalah sejarah bagi KPK dan mengaku khilaf.

Editor: Ansar
Kolase Tribun-timur.com
Wakil Ketua KPK baru, Johanis Tanak saat ditemui pada Senin (21/11/2022). 

TRIBUN-TIMUR.COM - Pertama kalinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan khilaf menetapkan tersangka kasus suap.

Sejak berdiri sejak 29 Desember 2003 silam, hari adalah sejarah bagi KPK dan mengaku khilaf.

Sudah 21 tahun KPK berdiri, namun baru kasus operasi tangkap tangan (OTT) prajurit TNI yang membuatnya menyesal.

Prajurit TNI aktif yang di OTT  terkait dugaan suap di lingkungan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

Prajurit TNI yang diamankan dalam operasi tersebut adalah Letkol (Adm) Afri Budi Cahyanto yang saat itu menjabat sebagai Koordinator Administrasi (Koorsmin) di Kepala Basarnas (Kabasarnas).

Baca juga: Komandan Puspom TNI Salahkan KPK Usai Seret Kepala Basarnas Jadi Tersangka, Agung Handoko Keberatan

Baca juga: KPK Kejar Tersangka Baru Kasus Suap Auditor BPK di Makassar, Benarkah Politisi PDIP Diminta Saksi?

Setelah dilakukan proses penyelidikan, KPK menetapkan status tersangka bagi Letkol Afri Budi Cahyanto dan Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi.

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menyatakan bahwa pihaknya menyadari pentingnya menyerahkan prajurit TNI yang terlibat dalam kasus korupsi kepada pihak yang berwenang di lingkungan TNI.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap aturan dan prosedur yang berlaku.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya Anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan bahwasannya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI," kata Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (28/7/2023).

Tanak mengatakan, di Indonesia terdapat empat sistem peradilan yakni, peradilan umum, militer, tata usaha negara, dan agama.

Ia lantas mengungkapkan, ketika menemukan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan sipil dan militer, maka terduga pelaku dari militer diserahkan kepada TNI.

Selain itu, menurutnya, proses hukum bisa dilakukan bersama dengan peradilan koneksitas.

"Ketika ada melibatkan militer, maka sipil harus menyerahkan kepada militer. Di sini, ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan," ujar Tanak.

Lebih lanjut, Tanak menyampaikan permintaan maaf kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dan jajarannya karena telah menangkap dan menetapkan prajurit TNI sebagai tersangka.

Pernyataan maaf itu telah disampaikan dalam audiensi yang digelar KPK dengan sejumlah petinggi Mabes TNI, termasuk Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Marsekal Muda Agung Handoko.

"Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada panglima TNI dan jajaran TNI atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan," kata Tanak.

Sebelumnya, KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan orang kepercayaannya, Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka.

Keduanya diduga menerima suap hingga Rp 88,3 miliar sejak 2021-2023 dari berbagai pihak.

KPK juga menetapkan tiga pihak swasta sebagai tersangka yang diduga sebagai pemberi suap, yakni Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.

Ketiganya memberikan uang sekitar Rp 5 miliar kepada Henri Alfiandi melalui Afri karena ditetapkan sebagai pemenang lelang pengadaan peralatan di Basarnas.

Pengusutan dugaan korupsi di Basarnas diungkap ke publik setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7/2023).

Saat itu, Afri diamankan di sebuah warung soto di daerah Jakasampurna, Bekasi, Jawa Barat.

Dihubungi terpisah, Henri Alfiandi menyatakan siap bertanggung jawab atas kebijakannya sebagai Kepala Basarnas.

Ia mengaku uang yang diterima melalui Afri bukan untuk kebutuhan pribadi melainkan kantor.

“Tujuannya memang untuk itu,” ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.com, belum lama ini.

Dalam konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap, pihak TNI menilai KPK melakukan penetapan hukum Henri Alfiandi dan Afri tidak sesuai prosedur. 

Komandan keberatan

Penetapan Kepala Basarnas, Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi, sebagai tersangka suap kini berpolemik.

Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI, Marsekal Muda Agung Handoko salahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Agung Handoko menuding KPK telah menyalahi aturan terkait penetapan tersangka Henri.

Henri Alfiandi kini menyandang status sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi berupa suap dalam penyelenggaraan barang dan jasa di lingkungan Basarnas. 

Henri Alfiandi sendiri saat ini masih aktif sebagai prajurit TNI

Selain Henri Alfiandi, KPK juga menyeret tersangka lain, yakni Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto

"Menurut kami apa yang dilakukan oleh KPK untuk penetapan personel militer jadi tersangka menyalahi ketentuan," kata Agung saat konferensi pers, Jumat (28/7/2023). 

Agung menuturkan, kewenangan untuk menetapkan prajurit TNI aktif sebagai tersangka dalam kasus hukum seharusnya berada di wilayah penyidik militer.

"Dari tim kami terus terang keberatan, kalau itu ditetapkan sebagai tersangka khususnya yang militer, karena kami memiliki ketetentuan sendiri dan aturan sendiri." 

"Mekanisme penetapan tersangka adalah kewenangan dari TNI, sebagaimana Undang-undang yang berlaku." 

"Kami aparat TNI tidak bisa menetapkan orang sipil sebagai tersangka, begitu juga harapan kami dengan KPK," ujar Agung. 

Agung menjelaskan, KPK tidak berkoordinasi dengan penyidik militer terkait penetapan tersangka pada dua anggota aktif TNI itu.

Menurutnya, hal itu seharusnya bisa dikoordinasikan sesama aparat penegak hukum.

Agung menjelaskan pihak Puspom TNI hanya ikut dalam gelar perkara kasus tersebut di KPK.

Namun demikian, kata Agung, saat gelar perkara itu hanya ada peningkatan status dari penyelidikan menjadi penyidikan.

Dalam gelar perkara, lanjut dia, tidak dijelaskan bahwa KPK juga akan menetapkan dua anggota TNI aktif sebagai tersangka dalam kasus tersebut. 

TNI Belum Bisa Mulai Proses Penyidikan

Agung mengatakan, pihaknya belum bisa memulai proses penyidikan karena belum ada laporan resmi dari pihak KPK terkait penetapan tersangka tersebut.

Untuk itu, kata dia, Puspom TNI belum bisa menetapkan kedua Perwira TNI AU tersebut sebagai tersangka.

"Saat itu terus terang kami belum melakukan proses hukum sama sekali, karena saat itu dasar kami melakukan proses hukum adalah laporan dari polisi, dan saat itu dari rekan-rekan KPK yang melakukan penangkapan belum membuat laporan pada kami selaku penyidik di lingkungan militer. Jadi saat itu status Letkol ABC hanya titipan," ujar Agung. 

Agung mengatakan, pihaknya baru menerima laporan resmi dari KPK tadi pagi sekira pukul 10.30 WIB. 

"Siang ini pada pukul 10.30 WIB kami baru mendapat laporan resmi dari pihak KPK, di situlah kami baru bisa bergerak melaksanakan proses hukum terhadap dua personel TNI," lanjutnya. 

Agung pun menyesalkan langkah KPK yang dinilainya minim koordinasi sejak dari operasi tangkap tangan (OTT) hingga penetapan tersangka.

KPK Akui Telah Koordinasi

Hal berbeda disampaikan KPK terkait pengusutan kasus ini.

Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, pihaknya telah melibatkan TNI sejak pemeriksaan, ekspose perkara, hingga penetapan tersangka.

"Kami patuhi hukum. Sehingga sudah kami jelaskan bahwa dari awal kami libatkan juga sinergi dengan pihak Pom Mabes TNI dari sejak pemeriksaan hingga gelar perkara serta pengambilan keputusan dari seluruh hasil kegiatan tangkap tangan KPK tersebut," kata Ali, Jumat (28/7/2023).

"Karena kami paham betul, khusus perkara ini berbeda dengan perkara KPK lainnya yaitu ada dua wilayah yurisdiksi peradilan yaitu umum dan militer," tambahnya.

Dengan begitu, kata Ali, proses hukum terhadap dua prajurit aktif TNI akan ditangani bersama-sama dengan penyidik Puspom TNI.

"Proses penegakan hukum khusus penerima suap kami selesaikan dengan kolaborasi dan sinergi antara KPK dan tim penyidik Pom Mabes TNI," kata Ali.
KPK Tetapkan 5 Tersangka 

Dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Basarnas ini KPK telah menetapkan lima tersangka. 

Satu diantaranya Kepala Basarnas periode 2021-2023, Henri Alfiandi. 

Henri disebut menerima suap dari beberapa proyek dengan total sekitar Rp 88,3 miliar. 

"Dengan menetapkan dan mengumumkan tersangka sebagai berikut, MG Komisaris Utama PT MGCS, MR Direktur Utama PT IGK, ketiga RA Direktur Utama PT KAU."

"Kemudian HA Kabasarnas RI periode 2021 sampai 2023 dan ABC, selaku Koorsmin Kabasarna," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, saat konferensi pers, Rabu (26/7/2023). 

Berikut daftar lengkap 5 tersangka yang terdiri dari pemberi dan penerima suap:

1. Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (pemberi suap)

2. Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (pemberi suap)

3. Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (pemberi suap)

4. Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi (penerima suap)

5. Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto (penerima suap)

Peran Kabasarnas Henri Alfiandi

Sejak tahun 2021, Basarnas melaksanakan beberapa tender proyek pekerjaan yang diumumkan melalui layanan LPSE Basarnas dan dapat diakses oleh umum.

Di tahun 2023, Basarnas kembali membuka tender proyek pekerjaan.

Di antaranya pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp9,9 miliar; pengadaan public safety diving equipment dengan nilai kontrak Rp17,4 miliar; dan pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak Rp89,9 miliar.

Supaya dapat dimenangkan dalam tiga proyek tersebut, Mulsunadi Gunawan, Marilya, dan Roni Aidil melakukan pendekatan secara personal dengan menemui langsung Henri Alfiandi dan orang kepercayaannya bernama Afri Budi.

"Dalam pertemuan ini, diduga terjadi 'deal' pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak," kata Alex.

"Penentuan besaran fee dimaksud diduga ditentukan langsung oleh HA," sambungnya.

Alex menjelaskan, hasil pertemuan dan kesepakatan yang dicapai yaitu Henri siap mengondisikan dan menunjuk perusahaan Mulsunadi dan Marilya sebagai pemenang tender untuk proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan tahun anggaran 2023.

Sementara perusahaan Roni Aidil menjadi pemenang tender untuk proyek pengadaan public safety diving equipment dan pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (multiyears 2023-2024). (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved