Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Pemikiran Mitos Penyebab Kemunduran Bangsa

Sebuah bangsa atau negara dapat dikatakan maju apabila warganya telah berada dalam kehidupan sejahtera dan berbahagia..

DOK PRIBADI
Rada Dhe Anggel - Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar 

Salah satu contoh negara berkembang yang tinggi akan religiusitasnya adalah Indonesia. Negara kita dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Itu berarti bahwa hampir semua hal, termasuk politik, pendidikan, dan sistem pengambilan keputusan negara, melibatkan agama. Hasilnya? Seperti yang jauh masa sebelumnya konon pernah dikatakan Kaisar Horohita dari Jepang:

“Jika memang suatu negara ingin mengedepankan pendidikan agama saja, ya selamat. Tujuannya telah tercapai: masyarakatnya telah menjadi religius. Sedangkan yang menjadi ilmuwan sangat sedikit yang berhasil tercipta.”

Negara maju memang ditopang oleh kualitas tinggi Sumber Daya Manusia (SDM). Semua itu dimulai dengan merancang suatu sistem pendidikan yang dianggap paling mumpuni membentuk dan menciptakan generasi ilmuwan dan ahli, terutama di bidang teknologi.

Penentu kemajuan satu bangsa akhirnya terletak pada kualitas pendidikan wargannya.

Sayangnya, penghargaan terhadap ilmu pengetahuan tidak begitu memadai di negara religius seperti Indonesia.

Gaji untuk guru, apalagi guru honorer, sangat kecil. Malah tanggungjawab atas kekeliruan intelektual itu dilarikan untuk diselesaikan secara keagamaan lewat iming-iming surga.

“Saya agak yakin, bahwa orang yang pertama masuk surga itu adalah guru. Kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru honorer, nikmati saja, nanti masuk surga.” Begitu kata Muhadjir Effendy tahun 2019 ketika masih menjabat Mendikbud.

Terlihat bahwa Muhadjir tidak berupaya menangani masalah tersebut secara rasional, tetapi lebih ke penyelesaian mistik. Tak berpikir rasional dan bersekutunya agamawan dengan politisi dalam sebuah negara memang merupakan penyebab ketertinggalan negara-negara mayoritas Islam.

Pandangan di atas merupakan hasil penelitian Ahmet T. Kuru dalam bukunya, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (2021). Menurut Kuru, ilmu pengetahuan sebenarnya pernah kompatibel dengan orang Islam.

Hal itu terjadi ketika mereka mempelajari filsafat dari pemikir-pemikir Yunani. Era itu melahirkan ilmuwan-ilmuwan terkemuka seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Ibnu Khaldun.

Meninggalkan Filsafat

Ilmuwan dan ilmu pengetahuan kemudian surut di negara-negara mayoritas beragama Islam di kawasan Timur Tengah ketika Al-Ghazali menyerukan untuk meninggalkan filsafat pada abad 11 Masehi.

Ghazali lalu mengembangkan pendidikan dengan metode hapalan dan sangat berlandas ke agama.

Salah satu contoh pendidikan gaya Ghazali adalah ketika menjelaskan bagaimana proses terbakarnya sebuah kapas. Menurut Ghazali, kapas tersebut bisa terbakar karena dibakar oleh Tuhan.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved