Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya

Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya: Memotret Elegi Pendidikan Ideal di Perguruan Tinggi

Karakter yang berbeda dari setiap siswa dinilai sebagai artefak kemanusiaan yang istimewa

Editor: Ari Maryadi
Tribun Timur
Asri Ismail Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar 

Oleh Asri Ismail
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar

RISALAH Ration Studiorium (1585-1599) yang dikultuskan oleh Pendeta  Aquaviva untuk membangun misi orde baru sebagai langkah meneguhkan ketaatan atas cita-cita Gereja Katolik Roma menempatkan pendidikan sebagai poros utama dengan jalan pengajaran. Risalah tersebut sekaligus menjadi catatan penting geneologi pendidikan kita, juga diklaim sebagai prasasti fundamental tumbuhnya sekolah-sekolah atau awal napas pendidikan.

Kala itu sekolah didesain dengan tidak menggambarkan suasana pertapaan atau yang bersifat ketat dengan ragam regulasi yang mengikatnya. Karakter yang berbeda dari setiap siswa dinilai sebagai artefak kemanusiaan yang istimewa. Konstruksi tersebut memiliki kesamaan di Indonesia. Pada masa pra-kedatangan orang Eropa, terminologi sekolah dimanifestasikan sebagai tempat berkumpulnya guru dan murid dengan pendekatan belajar tanpa terikat waktu tertentu, namun dengan cara itu justru berhasil mencetak cendekiawan yang luar biasa. Tidak ada yang bisa membantah intelektualitas Soekarno, Moh Hatta, Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan banyak lagi tokoh bangsa lainnya.

Potret para cendekiawan yang lahir dari embrio pendidikan dengan konsep tidak ideal dalam kacamata modernitas itu menjadi pertanyaan besar kita. Lihat saja, gerak langkah HOS Tjokroaminoto dalam memperjuangkan pendidikan tatkala masyarakat Indonesia masih buta dalam banyak hal, belum lagi terjajah secara fisik dan pemikiran. Melalui organisasi Serikat Islam (SI) yang digawanginya menekankan pada pelayanan pendidikan, berbekal prinsip itu,  Tjokroaminoto berhasil mendirikan Sekolah Bumi Putera yang diperuntukkan bagi kaum pribumi di tengah intensitas eksploitasi kolonialisme. Pengembaraan Raja Jawa Tanpa Mahkota itu menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan guru yang sangat kharismatik.

Penimbaan muridnya yang menempatkan HOS Tjokroaminoto sebagai penyuluh ilmu pengetahuan yang pada akhirnya kita menyaksikan sepak terjang dari para muridnya seperti Soekarno, Semaun, Muso, Kartosuwiryo, Hermen Kartowisatro yang masing-masing memiliki ideologi berbeda dan kuat tentang kebangsaan. Kemampuan HOS Tjokroaminoto melahirkan murid-murid yang memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni dengan ragam karakternya adalah penanda bahwa manusia seperti Tjokroaminoto merupakan pewujudan kawah candradimuka dalam mendidik pemimpin bangsa. 

Pertanyaan paling mendasar adalah masih mampukah pendidikan melahirkan pemimpin bangsa yang berkualitas berbarengan intelektualitas mumpuni? Atau masih adakah sosok guru HOS Tjokroaminoto lainnya? Hari ini, program merdeka belajar dan kampus merdeka (MBKM) yang diluncurkan Kemendikbud sejak tahun 2019 dengan tujuan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk memilih mata kuliah, metode pembelajaran,  dan universitas atau institusi pendidikan yang ingin diikuti. Program ini disinyalir menyerap marwah dari lakon awal pendidikan dihembuskan dengan serangkaian jejak-jejak historikalnya. Adjektiva ”merdeka” diperkirakan maujud dari spirit perjuangan berlatar nomina “kebebasan”  yang berarti otonom, tidak mengekang dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Mahasiswa diberikan ruang untuk memilih arah sesuai dengan jalan sunyi dari isi kepalanya agar mampu mengembangkan riset dan inovasi, serta meningkatkan daya saing SDM Indonesia di tingkat global.

Bak gayung bersambut, lahir kurikulum merdeka yang diluncurkan setelahnya untuk menopang laju MBKM. Dalam penerapannya termasuk berhasil mengurangi benang kusut perjalanan panjang kurikulum yang selama ini berlaku di Indonesia. Kurikulum merdeka yang ditandai dengan sifatnya otonom, fleksibel, dengan tetap menekankan kompetensi dan keaktivan mahasiwa. Kurikulum ini diharapkan akan muncul lulusan yang berkualitas dengan kemampuan dan kompetensi yang lebih baik, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja yang semakin kompleks.

Keberhasilan implementasi MBKM selama ini diduga karena menyerap spirit Ki Hajar Dewantoro terkait filosofi dalam terma asah, asih, dan asuh sebagai roh dalam pengembangan kehidupan. Idealnya, dengan pendidikan yang mengedepankan intelektualitas, kekuatan kasih sayang, dan sikap mengayomi agar tercipta harmonisasi hidup. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan tinggi di abad 21 untuk menghadirkan mahasiswa sebagai intelektual yang berakhlak mulia.

Pelaksanaan MBKM juga mencoba membongkar paradigma klasik pendidikan yang mengedepankan ilmu pengetahuan yang terjadi hanya di dalam ruang-ruang kelas. Ada 8 bentuk kegiatan pembelajaran (BKP) di luar kampus, seperti 1) Magang/Praktik Kerja; 2) Pertukaran Pelajar antar Prodi; 3) Kegiatan Kewirausahaan; 4) Asistensi Mengajar di Satuan Pendidikan (Kampus Mengajar); 5) Studi/Proyek Mandiri; 6) KKN/KPM Desa Tematik; 7) Riset/Penelitian dan 8) Program Kemanusiaan.

Sejatinya 8 BKP tersebut secara parsial untuk menyesuaikan serta merancang dunia pendidikan yang mampu menghadapi perubahan yang kian kompleks, cepat, dan sulit diramalkan. Poinnya, agar mahasiswa mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan seperti kemampuan adaptasi, permasalahan riil, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target, dan pencapaiannya.

Sejauh pengamatan penulis, di tengah keberlangsungannya yang cukup efektif, terdapat beberapa celah kecil yang harus diperbaiki pada program tersebut, yakni perlunya menjalankan aturan teknis dengan baik pada setiap tingkatan pendidikan sehingga berjalan sesuai harapan. Juga diperlukan suatu kesepahaman yang didukung oleh sistem, kerja sama yang riil dalam mengoperasikan program dengan tetap mengedepankan ilmu pengetahuan sehingga kekhawatiran lahirnya generasi pekerja bukan pemikir bisa dieliminir. Selain itu, dibutuhkan keseimbangan antara regulasi dengan stackholder sehingga output kompetensi mahasiswa sejalan dengan keilmuan tenaga pengajar, khususnya dalam bidang teknologi.

Salah satu praktik baik merdeka belajar yang penulis alami sebagai dosen, yakni saat ini penulis tercatat sebagai dosen pembimbing lapangan (DPL) kampus mengajar (KM) 5 tahun 2023. Penulis membimbing mahasiswa sebanyak sembilan orang dengan latar disiplin ilmu yang berbeda-beda. Keberagaman perbedaan disiplin ilmu itu justru menjadi kekuatan, sebab akan memudahkan untuk memecahkan masalah yang terjadi di sekolah, sebagaimana yang ditekankan pemerintah menuntaskan perihal literasi, numerasi, adaptasi teknologi, dan administrasi. Pada kondisi itu, memperkuat tugas mahasiswa sebagai mitra guru untuk mendarmabaktikan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama ini.

Tidak kalah menariknya, program pertukaran mahasiswa merdeka (PMM) yang sudah menginjakkan kaki menuju episode ke-3. Sebagaimanya ikhwal program ini untuk mengaplikasikan wawasan kebangsaan serta mengembangkan perjumpaan dan dialog intensif dalam keberagaman dan sikap saling memahami sehingga tercipta penguatan persatuan. Lalu, diintegrasikan dalam kegiatan modul nusantara yang memiliki kohesivitas dengan merdeka berbudaya untuk menciptakan pemahaman komprehensif tentang kebinekaan, inspirasi, refleksi, dan kontribusi sosial tentu dengan tujuan memperkenalkan budaya nusantara dan menata ulang pengendapan makna toleransi. Sebagaimana ritus sang guru bangsa, HOS Tjokroaminoto dalam mendidik dengan menanamkan kesadaran kebangsaan dan nasionalisme dengan pendekatan budaya. Sebagaimana dipahami bahwa kebudayaan dapat mencipta relasi antara jiwa, masyarakat, dan Tuhan.

Pada akhirnya, jika program merdeka belajar dan merdeka berbudaya terimplementasi dengan baik dan berkelanjutan, tidak sekadar menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan, serta menguasai teknologi, tetapi juga muara Indonesia berdaya di dunia internasional. Dan yang terpenting, sekolah mampu mengembalikan marwahnya sebagai pencetak tokoh-tokoh intelektual nan kharismatik di dalam pergulatan kebangsaan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved