Opini
Sistem Pemilu-Menebak Arah Keputusan MK
Sejak era reformasi 98 pemilihan Presiden yang awalnya masih melalui MPR RI, sudah berubah secara langsung dipilih oleh rakyat seiring perubahan UUD.
Oleh: Ariady Arsal
Dosen Sekolah Pasca Sarjana Unhas /Mantan Anggota DPRD Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM - Gonjang ganjing perubahan sistem Pemilu yang diawali pernyataan Ketua KPU agar para bakal calon legislatif tidak terburu-buru berkampanye diri karena kemungkinan terjadi perubahan siatem pemilu ke propirsional tertutup telah mendapat respon yang luar biasa dari berbagai kalangan.
Mulai dari masyarakat umum, akademisi dan teranyar 8 partai politik yang ada di senayan hari ini, menolak sistem proprsional tertutup.
Lalu bagaimana kemungkinan arah keputusan Mahkamah Konstitusi atas tuntutan elemen masyarakat terhadap sistem proporsional terbuka? Bukankah sudah pernah ada keputusan MK sebelumnya?
Desain Besar Sistem Pemilu
Sejak era reformasi 98 pemilihan Presiden yang awalnya masih melalui MPR RI, sudah berubah secara langsung dipilih oleh rakyat seiring perubahan UUD 1945.
Pasangan terpilih tetap merupakan usungan dari parpol.
Demikian pula dengan DPD, awalnya merupakan bagian dari utusan daerah dan utusan golongan.
Sejak 2004 hingga kini rakyat memilih langsung calon senator setiap provinsi 4 orang.
Jika pemilihan Presiden Pasangan Presiden -Wakil Presiden serta Pemilihan DPD secara langsung memilih orang yang akan menduduki jabatan tersebut, maka pemilihan Anggota DPR RI dan DPR/D, memilih partai politik.
Terdapat inkonsistensi pemilihan dalam hal ini, karena masyarakat dimungkinkan memilih bukan hanyapartai politik, akan tetapi juga calon dari partai politik yang diusulkan (proporsional terbuka) dengan kuota suara per daerah pemilihan 3-10 (DPR RI) dan 3-12 (DPRD).
Maka dalam beberapa kali pemilihan yang berlangsung kita saksikan sistem pemilihan ini mengarah pada memilih figur calon anggota legislative secara langsung.
Baca juga: Ikhtiar Menihilkan Penyakit Kusta
Bahkan suara yang memilih partai politik kalah banyak dari yang memilih figure perorangan calon anggota legislatifnya.
Pada pemilu terakhir di tahun 2019, waktu perhitungan suara yang dilakukan tidak cukup 24 jam dengan banyaknya kertas suara berbeda pada setiap tingkatan dan banyaknya jumlah calon anggota legislative.
Belum lagi terjadinya kesalahan manusiawi (human error) karena capek yang luar biasa dari Panitia Pemilihan di TPS.
Maka berjatuhanlah korban jiwa dari penyelenggara Pemilu.
Tentunya kesalahan dan kekurangan dari pelaksanaan yang lalu telah menjadi pelajaran berarti bagi KPU untuk membuat system yang lebih humanis, transparan dan mudah.
Tidak seperti poelaksanaan sebelumnya, dimana oknum KPU bahkan dicurigai turut bermain dalam pelaksanaan Pemilu dengan banyaknya kasus aduan masyarakat ke Bawaslu bahkan putusan bersalah dari DKPP.
Tuntutan 8 elemen masyarakat yang didukung oleh PDIP ibarat gayung bersambut menjadi perang Pemilu dini dengan mengkristalnya 8 partai politik diparlemen yakni Golkar, Demokrat, Gerindra, Nasdem, PKB, PKS, PAN dan PPP yang menolak Sistem Pemilu dengan proporsional tertutup.
Pada sisi lain PBB sebagai partai peserta pemilu sejak era reformasi juga turut nimbrung menyatakan mendukung tuntutan untuk mengembalikan sistenm pemilu ke proporsional tertutup.
Menebak Keputusan Mahkamah Konstitusi
Mencermati kondisi sosial politik yang terjadi hari ini, kita percaya bahwa Mahkamah Konstitusi akan mengambil keputusan seadil-adilnya dan mengembalikan pada UUD 1945.
Lebih dini seluruh partai politik harus siap dengan apapun yang diputuskan.
Demikian pula KPU sebagai pelaksana Undang-Undang justru harus lebih sigap dan bersikap professional.
Kami melihat idealnya, system pemilu yang dilaksanakan di Indonesia sudah perlu berbenah menjadi lebih baik.
Salah satunya dengan membuka keran kaderisasi di masing-masing parpol sehingga dalam pencalonan pesta demokrasi yang dimajukan adalah kader binaan masing-masing partai.
Bukan kader karbitan yang hanya muncul saat menjelang pesta demokrasi, atau bahkan kutu loncat dari partai lain.
Mahkamah Konstitusi bisa melihat juga beratnya beban penyelenggaraan pemilu yang lalu.
Selain tentunya kondisi sosial politik yang sangat rawan dengan perubahan pola dalam tahapan pemilu berjalan.
Untuk itu, apapun putusan yang akan diambil, kemungkinan secara efektif akan berlaku pada pemilu berikutnya.
Adapun yang ideal menurut kami sistem pemilu yang dilakukan diseragamkan dan bersamaan dengan pemilihan presiden.
Apabila Calon Presiden diusulkan oleh partai politik dan tidak melibatkan unsur DPD, maka pemilihan Presiden dapat dilakukan berdasarkan hasil pemilihan DPR RI. Presiden terpilih bisa beradsal dari koaliasi pengusung presiden dengan suara terbanyak melebihi 50 persen.
Dengan demikian maka Presiden terpilih berasal dari koalisi pemenang pemilu.
Urutan calon dari masing-masing partai berasal dari suara terbanyak pemilihan yang telah dilakukan mandiri oleh masing-masing partai.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.