Opini
Penguatan Penyelenggara Ad Hoc
Bentuk partisipasi warga dalam pemilu tidak hanya datang ke TPS menyalurkan hak pilihnya tetapi dapat menjadi bagian dari penyelenggara pemilu..
Oleh:
Hasbullah
Penggiat Demokrasi dan Peneliti Jari Mata Kita
TRIBUN-TIMUR.COM - Partisipasi warga negara secara aktif dan bermakna dalam urusan publik, terutama pemilu, merupakan ciri utama masyarakat demokratis. Bentuk partisipasi warga dalam pemilu tidak hanya datang ke TPS menyalurkan hak pilihnya tetapi dapat menjadi bagian dari penyelenggara pemilu.
Beberapa hari yang lalu (19/1/2023) saya baca di berita ada seorang pengantin wanita di Toraja Utara yang rela meninggalkan resepsi pernikahannya demi mengikuti proses seleksi wawancara calon anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Usahanya viral di banyak media, membuat banyak orang terkesima.
Ia datang ditemani suaminya dengan mengenakan busana pengantin adat Toraja. Meski busananya tampak tidak biasa, tapi semangatnya yang tinggi untuk berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu diapresiasi anggota KPU setempat.
Saya pun demikian, menghaturkan apresiasi kepada siapapun, terutama kepada banyak anak muda yang saat ini begitu bersemangat mengikuti proses seleksi calon penyelenggara ad hoc untuk pemilu 2024.
Sembari merasakan langsung proses demokrasi, kehadiran anak muda dalam organisasi penyelenggara pemilu akan membuat kerja organisasi penyelenggara itu sendiri niscaya lebih bertenaga.
Titik rentan
Meski begitu, kualitas perlu selalu menyertai gerak kuantitas. Tak baik bila membiarkan kuantitas bergerak tanpa sokongan kualitas yang memadai.
Selain mengapresiasi, saya berpandangan bahwa rekrutmen penyelenggra ad hoc yang saat ini banyak diminati anak muda dengan semangat yang tinggi sama seperti pengantin wanita itu perlu didorong dan diberikan penguatan lebih lanjut.
Sebagaimana kita semua tahu, salah satu titik rawan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu terletak di tingkat bawah akibat lemahnya kapasitas dan profesionalisme penyelenggara pemilu di level desa/kelurahan dan TPS.
Lemahnya kapasitas dan profesionalisme penyelenggara pemilu di tingkat bawah dapat kita lihat dari banyaknya rekomendasi Panwaslu untuk melakukan pencoblosan dan/atau penghitungan/rekapitulasi suara ulang pada sejumlah TPS di berbagai daerah.
Penyelenggaran pemilu yang kompleks dan melibatkan penyelenggara ad hoc dengan personil berjumlah besar merupakan tantangan besar bagi KPU untuk mengelolanya.
Apalagi mereka rentan melakukan kesalahan. Di lapangan masih banyak penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik (Bawaslu RI, 3/10/2020).
Problem tersebut muncul didorong oleh beberapa hal. Pertama, minimnya pengawasan publik terhadap proses rekrutmen penyelenggara ad hoc.
Konsekuensinya terbuka peluang bagi pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkannya sebagai celah untuk melancarkan laku yang tidak patut.
Kedua, proses rekrutmen yang kurang optimal akibat waktu rekrutmen yang terlalu singkat.
Ketiga, landasan hukum seringkali sulit dipahami oleh para penyelenggara ad hoc karena sering berubah dan multi tafsir.
Keempat, kurangnya pemahaman terhadap tupoksi dan tata organisasi sebagai lembaga yang mandiri dan menjunjung tinggi nilai etik penyelenggara.
Kelima, lemahnya kapasitas penyelenggara ad hoc dalam menyiapkan sosialisasi yang baik terhadap masyarakat, terutama bagi kelompok rentan dan difabel.
Ini terjadi karena penyelenggara ad hoc terlalu disibukkan dengan hal-hal teknis yang begitu padat dalam waktu yang teramat mepet.
Semua kelemahan itu perlu diberikan atensi lebih serta dicari langkah penguatannya. Kendatipun PPK, PPS dan KPPS bersifat ad hoc (tidak permanen), namun mereka memiliki peran yang sangat strategis.
Mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Ini membuat persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu dipengaruhi oleh kinerja mereka di lapangan.
Langkah penguatan
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, permasalahan pemilu banyak terjadi akibat lemahnya kapasitas penyelenggara ad hoc.
Oleh sebab itu penguatan kapasitas penyelenggara ad hoc dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas menjadi sangat penting untuk diupayakan.
Sejumlah langkah dapat diambil dalam rangka memberikan penguatan terhadap kapasitas penyelenggara ad hoc.
Pertama, menyelenggarakan kegiatan bimbingan teknis yang bersifat meluas, merata, dan intensif sampai mereka memahami tugas, wewenang, dan kewajiban mereka sebagai penyelenggara ad hoc.
Muatan bimbingan teknis tersebut harus ditranformasi ke dalam modul kerja yang praktis, yang memuat aktivitas kerja hingga waktu kerja setiap tahapan teknis yang menjadi tanggungjawab teknis para penyelenggara ad hoc.
Di samping itu, materi terkait moral etik penyelenggara dan manajemen konflik juga perlu disampaikan dan diberikan kepada penyelenggara ad hoc yang ikut dalam kegiatan bimtek tersebut.
Sehingga tidak saja memahami kerja secara teknis, tapi mereka juga taat etik serta bisa membereskan permasalahan yang nantinya akan mereka hadapi di lapangan.
Kedua, mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif mengawal proses rekrutmen dan seleksi serta kerja penyelenggara ad hoc agar proses seleksi dan kerja yang dilakukan dapat mencerminkan kinerja penyelenggara ad hoc yang tidak hanya bersemangat tetapi juga punya kapabilitas dan berintegritas tinggi.
Terakhir dan paling utama di atas serangkaian langkah tersebut, dalam menyiapkan penyelenggara pemilu ad hoc yang lebih bertenaga dan berkapasitas layak, haruslah lembaga penyelenggara pemilu diberi dukungan politik dan anggaran yang memadai.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.