Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Artefak Demokrasi dari Pedalaman Sulawesi

Rongkong bak gadis muda yang sedang bersolek, beberapa tahun terakhir sejak jalan raya dibenahi pemerintah.

Editor: Hasriyani Latif
dok pribadi/zulfiqar
Zulfiqar Rapang mahasiswa program Magister Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Zulfiqar penulis rubrik Opini Tribun Timur berjudul 'Artefak Demokrasi dari Pedalaman Sulawesi'. 

Banua Matojang berakar dari kata Tojang atau ayun dalam bahasa Indonesia, Matojang secara harfiah berarti mengayun.

Banua ini bertugas menjadi corong untuk mendistribusi informasi tentang keputusan dan kebijakan yang telah ditetapkan di Banua Komba kepada khalayak baik masyarakat kampung atapun kepada wilayah katomakakaan lain.

Hal ini kemudian dapat dilihat bahwa eksisnya komunikasi politik sebagai dimensi penting demokrasi dalam Banua Kasiturusan Komba meskipun dalam bentuk yang disimplifikasi.

Banua Matojang menjadi komuniken sekaligus saluran, yakni dua instrumen determinan dalam mata rantai komunikasi politik.

Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa sistem pemerintahan tradisional Komba yang cenderung dengan monarki, pendekatan komunikasi politik tidak mengarah kepada orientasi pencitraan atau pemertahanan kuasa.

Tapi lebih kepada sosialisasi politik dalam artian membagi informasi tentang kebijakan, program dan tujuan keputusan, seperti dalam rumusan McNair dan Goran Hedebro.

Pada masyarakat Komba Po’pong dikenal sebagai pepohonan yang memiliki buah dengan rasa asam manis berbentuk bulat yang jumlahnya melimpah ruah. Dari pohon inilah filosofi Banua Po’pong bersandar.

Seluruh keputusan dan kebijakan yang sebelumnya dirumuskan dan ditetapkan pada tiga banua kasiturusan, misalnya sanksi adat berserta implikasinya disusun disini.

Hal tersebut dapat diinterpetasikan sebagai fungsi evaluatif. Tentu sebagai pemerintahan adat di masa itu, tindakan evaluatif yang dilaksanakan kemungkinan tidak identik dengan pelibatan seluruh unsur masyarakat, seperti istilah contested-knowledge yang dikemukakan Dit Deprez bahwa evaluasi kebijakan sebagai “pertandingan pengetahuan” dalam ruang kritik yang terbuka dan partisipatif.

Namun yang perlu dicatat bahwa paradigma pemerintahan yang mengikutsertakan fungsi evaluasi untuk menilai kualitas dari suatu keputusan atau kebijakan, sebagai pijakan dalam pengambilan keputusan selanjutnya, telah menjadi spirit dalam Banua Kasiturusan Komba di masa lampau.

Banua Atak menjadi simbol kepemimpinan, serta aspek spritualitas dan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat adat Komba di masa itu. Keputusan dan kebijakan adat yang telah dilaksanakan, disyukuri, ditutup dan diakhiri disini.

Atak secara literal berarti atap suatu bangunan. Pada masa-masa tersebut, Banua Atak adalah induk dari keseluruhan Banua Kasiturasan Komba, sekaligus tempat menetapnya Matua sebagai pimpinan pemerintahan, penumpuanna to tau buda (sosok tempat bertumpunya masyarakat) palambiranna to madodong (yang didatangi orang-orang Mustadh'afin).

Ia dan Banua Atak adalah simbol pengayoman dan perlindungan kepada semua pihak, keseluruh lapisan masyarakat.

“Galilah apa yang hendak kau jawabkan itu dari bumi Indonesia sendiri. Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia, agar supaya hasil penggalian itu dapat dipakainya sebagai sumber dasar daripada Negara Indonesia merdeka yang akan datang”

Potongan kalimat dalam pidato Soekarno di 1 Juni 1945 ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa ada banyak khazanah Nusantara yang dapat digali dan ditemu kenali untuk dijadikan fondasi berbangsa dan bernegara.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved