Industri Vital Nan Dinamis

Oleh : Muh. Zulkifli Mochtar

Doktor alumni Jepang, bermukim di kota Tokyo)

TRIBUN-TIMUR.COM - Ada ada saja negara ini. Tidak sengaja saya membaca informasi sebuah media tentang ‘Suratkabar sehabis dibaca bisa dimakan’. Bukan hoaks? Bukan, ini benar benar ada. Suratkabar Kota Hokkaido Shimbun menerbitkan edisi khusus "Hokkaido Kombu Shimbun".

Seperti namanya, suratkabar ini bisa anda makan, juga dicetak dengan tinta yang bisa aman untuk dikonsumsi.

Suratkabar diproduksi pada ‘Hari Kombu’ tanggal 15 November 2022, dicetak dalam jumlah terbatas cuma 100 exemplar.

Suratkabar terbuat dari kombu. Kombu adalah sejenis ganggang rumput laut.

Di Jepang, kombu digunakan dalam masakan Jepang sebagai bahan membuat kaldu dashi, sebagai makanan olahan, ataupun dimasak bersama sayur dan daging.

Kombu juga sudah diolah menjadi beragam jenis permen, bahan untuk sashimi dan juga makanan ringan. Tidak salah jika "Hokkaido Kombu Shimbun" diterbitkan di Hokaido; daerah ini penghasil rumput laut termasuk kombu terkemuka Jepang. Tapi kurang populer sebagai pusat kombu.

Dengan kata lain, koran diterbitkan untuk "menginspirasi Hokkaido”, sekaligus mempromosikan kualitas rumput laut Hokkaido. Satu hal terasa, betapa serius dan uniknya daerah ini mempromosikan produk andalannya.

Konsumsi seafood Jepang memang tinggi, terutama tuna. Tapi tahun belakangan ada kecenderungan konsumsi ikan makin menurun, seiring makin gencarnya serbuan budaya western fast food dan perubahan gaya hidup. Volume tahunan fresh seafood yang dibeli per rumah tangga juga terus menurun.

Menurut survei Ministry of Internal Affairs and Communications, tahun 2008 rumah tangga membeli rata-rata 36,3 kilogram makanan laut segar; turun menjadi 23 kilogram di tahun 2019. Disaat bersamaan, konsumsi daging menunjukkan trend meningkat. Terjadi perubahan gaya hidup. Menurut data, masyarakat Jepang makan hampir 20 persen lebih banyak daging dibandingkan dua dekade lalu.

Berhubungan juga dengan produksi dan pasokan. Menurut data Ministry of Agriculture, Forestry, and Fisherie, di tahun 2018 tingkat swasembada Japan’s self-sufficiency rate untuk edible seafood pernah mencapai puncak 113 persen pada tahun 1964, saat hampir semua makanan laut bersumber dari dalam negeri.

Setelah itu terus menurun hingga hanya sekitar 60 persen di tahun 2018. Produk impor pun berdatangan; Salmon dari Rusia, gurita dari Mauritania dan berbagai udang dari Indonesia.

Demikian juga dibidang pertanian: luas daratan yang bisa digunakan untuk pertanian hanya 12 % , membuat Jepang terpaksa mengimpor banyak produk pertanian dari luar negeri.

Terlepas dari situ, industri makanan minuman memang salah satu industri vital Jepang. Kemana pun anda menoleh keliling; Washoku restoran dan Japanese style restoran ‘Izakaya’ dengan berbagai billboard atraktif bertebaran.

Tahun 2018, Tokyo menjadi kota dengan restoran bintang tiga terbanyak didunia berdasar pemeringkatan Michelin; sistem rating penilaian kualitas restoran dunia.

Arus keluar masuk pengunjung di restoran terasa makin cepat, didukung makin penuhnya mesin purchase tiket menu otomatis didepan restoran. Teriakan pelayan restoran ‘Irasshaimase’ menyambut nyaring terdengar tanpa henti menyambut pengunjung keluar masuk seakan tanpa henti.

Pengelolaan, promosi dan branding industri kuliner hidup dan dinamis. Data Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries memperlihatkan ada 117 ribu Japanese restaurants di luar negeri per 2017; meningkat lima kali lipat dibanding 2006.

Penduduk dunia makin familiar dengan Karaage, Yakiniku, Ramen, Soba, Takoyaki, dan banyak lagi nama menu Jepang.

Apalagi Convenience Store Jepang seperti 7-Eleven, Lawson, Family Mart juga bertebaran diluar negeri.

Program televisi sangat sering diselipi tema makanan, kunjungan restoran, atau coba coba masakan baru. Meski itu bukan khusus acara memasak. Toko buku makin dipenuhi buku best seller kuliner, terutama buku ide resep masakan hemat murah meriah.

Promosi sangat dinamis, termasuk cara unik ‘Suratkabar sehabis dibaca bisa dimakan’ tadi.(*)