Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

PSM, Stadion, dan Piala Dunia

Pemerintah provinsi ketika dinakhodai Syahrul Yasin Limpo (SYL) membangun Stadion Barombong yang hingga kini mangkrak setelah menyedot puluhan miliar.

Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM
M Dahlan Abubakar Dosen FIB Unhas. Dahlan Abubakar penulis Opini Tribun Timur berjudul 'PSM, Stadion, dan Piala Dunia'. 

Oleh:

M Dahlan Abubakar
Dosen FIB Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Pada bulan-bulan terakhir ini ada isu olahraga yang mengemuka dan menguasai jagat media di Makassar dan tanah air, yakni PSM dan stadion untuk lokus Sulawesi Selatan dan Piala Dunia untuk manusia sejagat.

Ketiga diksi dan frasa yang menjadi judul tulisan ini tentu saja memiliki kaitan antara satu sama lain.

Pertama, PSM. Berita gembira buat PSM, saat kran kompetisi baru lagi dibuka pascatragedi Stadion Kanjuruhan Malang, mengawali laganya dengan memetik kemenangan 2-0 atas Persikabo Bogor di Stadion Sultan Agung Bantul, Yogyakarta, Senin (5/12/2022).

PSM mengalami kebuntuan di babak pertama, seolah membaca irama permainan lawan setelah lebih dua bulan istirahat, imbas Tragedi Kanjuruhan.

PSM akhirnya mencetak gol pertama di babak kedua, melalui Donald Bissa pada menit ke-78 dan Everton Nascimento dua menit sebelum masa pertandingan normal usai.

Memenangkan pertandingan melawan tim yang diasuh Djadjang Nurdjaman ini, melesatkan PSM ke puncak klasemen sementara Liga 1 Indonesia dengan poin 25, selisih 1 poin dengan Bali United yang menguntit di peringkat kedua.

Kemenangan PSM tentu saja berkat para suporternya yang fanatik yang tiada berhenti mendukung kesebelasan yang sudah berusia 107 tahun tersebut.

Dukungan ini tidak saja dalam bentuk memberi ‘support’ di lapangan hijau ketika menyaksikan langsung pertandingan di Stadion B.J.Habibie beberapa kali, tempat PSM menyapu bersih dan meraih poin penuh atas lawan-lawannya, tetapi juga berkaitan dengan “rumah” bagi PSM .

Yang terakhir, adalah dukungan suporter PSM dengan menggeruduk Kantor Gubernur Sulawesi Selatan dengan mengusung agenda pembangunan kembali Stadion Mattoanging yang kini masih rata tanah, bahkan sudah berubah menjadi kolam raksasa.

Memang, terasa ironis, di kota, pusat pemerintahan provinsi tempat lahir pemain legendaris Indonesia yang pertama diakui FIFA (baca:FIFA.com 26 September 2012), Ramang, tidak memiliki stadion.

Dan, membiarkan klub yang disegani di Indonesia dan membesarkan Ramang harus menjadi tim musafir.

Kalau saja saat ini pemerintah provinsi yang berkuasa dinilai keberhasilannya dalam membangun daerah ini, maka nilai paling rendah adalah pada bidang olahraga.

Kalau harus memberi nilai (dari 1 s.d. 10), mungkin hanya memperoleh nilai 3. Padahal, olahraga merupakan kegiatan yang mengakumulasi perhatian dan minat orang banyak.

Kegagalan pemerintah meraih wajar tanpa pengecualian (WTP) tidak akan pernah berimbas sampai ke masyarakat kecil dibandingkan jika PSM gagal jadi juara atau memenangkan pertandingan.

Pemerintah provinsi ketika dinakhodai Syahrul Yasin Limpo (SYL) membangun Stadion Barombong yang hingga kini mangkrak setelah menyedot puluhan miliar rupiah.

Stadion Barombong bukan satu-satunya proyek “titipan” SYL yang menjadi korban “gengsi politik”, melainkan masih ada Masjid 99 Kubah yang sempat terbengkalai.

Ini kemudian mengundang sejumlah akademisi dan para pihak yang prihatin dengan mengedarkan “celengan di dunia maya” guna memobilisasi dana bagi penyelesaian pembangunan megah dan menjadi latar depan kota tersebut.

Saya pernah berbicara dengan seorang pejabat yang menangani pembangunan Stadion Barombong sehubungan dengan adanya kesiapan Pemerintah Kota Makassar melanjutkan pembangunan stadion itu.

“Saya tinggal tunggu perintah,” jawab sang Kepala Dinas saat saya tanyakan pada suatu diskusi yang kebetulan saya ikuti tahun 2021.

Begitulah, nasib Stadion Mattoanging, beberapa kali gagal tender, kini dananya tersisa Rp 60 miliar.

Mau membangun stadion megah dengan dana sebesar itu jelas mustahil.

Kalau tidak ada tambahan, kita hanya mampu membangun stadion level kecamatan.

Piala Dunia

Hiruk pikuk Piala Dunia tentu sedikit melenakan kita dari impian memiliki sebuah stadion yang dapat dijadikan sebagai lokasi pertandingan tim-tim kelas dunia.

Saya langsung membuat catatan “Kebangkitan Sepakbola Asia” begitu Arab Saudi menang 2-1 atas Argentina, Jepang menang 2-1 atas Jerman, dan Korea Selatan bermain imbang 0-0 atas Uruguay, Juara Piala Dunia I tahun 1930- dan 1950 (Piala Dunia IV) dan Australia yang melangkah ke babak 16 besar setelah mengalahkan Denmark 1-0.

Namun langkah ketiga tim yang mewakili Asia (Jepang, Korea Selatan, dan Australia) terhenti pada pertandingan 16 besar.

Sirnalah sudah harapan Asia berbicara pada Piala Dunia 2022 Qatar. Tuan rumah Qatar sendiri memang tidak pernah meraih poin dalam tiga kali pertandingan babak penyisihan gurp.

Melihat keempat empat tim Asia yang begitu perkasa dan berjaya mengalahkan beberapa kesebelasan raksasa tersebut, saya kemudian membayangkan bagaimana dengan Indonesia ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada tahun 2023.

Akankah nasibnya seperti Qatar yang pada tahun ini menjadi tuan rumah Piala Dunia senior?

Menengok prestasi sepakbola Indonesia memang selalu menarik menjadi bahan diskursus publik.

Publik memang selalu pintar berkomentar, padahal ketika disuruh menendang bola saja mungkin sudah kelabakan.

Tetapi itulah “kompetensi” komentator, tugasnya memberi komentar, meskipun tidak seluruhnya benar.

Dalam diskusi udara bersama Mirdan Midding dipandu rekan Alfian dari RRI Makassar, saya menegaskan bahwa di Indonesia politik bisa mengintervensi olahraga, khususnya sepak bola.

Tidak hanya berkaitan dengan pengelola dan pengurus organisasi olahraganya, tetapi juga menyangkut masalah perputaran roda kompetisi.

Saya mencatat, hingga saat ini setidak-tidaknya tiga kali terjadi “skorsing” kompetisi karena hal-hal yang berkaitan politik dan teknis.

Pada tahun 1997/1998, saat PSM sedang memuncaki grup Wilayah Timur, kompetisi langsung dihentikan karena dikhawatirkan akan berimbas dengan merebaknya demo yang mengikuti unjuk rasa yang merata di seluruh Indonesia menumbangkan pemerintahan Orde Baru.

Itu terjadi ketika ketika republik ini akan memasuki era reformasi yang ternyata potretnya tetap buram, produk dan realisasinya tidak seindah yang diimpikan.

“Skorsing” kedua, ketika Menpora Imam Nahrowi menghentikan kompetisi lantaran seorang suporter Persija “Jack Mania” meninggal dunia pada tahun 2018 setelah bentrok dengan “Bobotoh”, Persib Bandung.

Kompetisi terhenti lagi dan banyak stakeholder sepak bola prihatin dengan langkah ini berkaitan dengan nasib para peman.

Penghentian kompetisi berimbas bagaikan teori domino. Begitu banyak orang yang menggantungkan hidupnya – terutama pedagang nonformal – tidak mengepul dapurnya.

Terakhir, Oktober 2022, Tragedi Kanjuruhan, yang meng-”skorsing” kompetisi selama dua bulan lebih beberapa hari karena 135 nyawa melayang.

Meskipun merupakan pengalaman kelam, kasus Kanjuruhan juga membawa hikmah.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) diperintahkan menilai kelayakan seluruh stadion di Indonesia (tentu tidak termasuk Mattoanging yang sudah jadi kolam raksasa).

Instruksi Presiden ini pertama kali dalam sejarah pembangunan stadion yang selama ini dilaksanakan sendiri-sendiri oleh pemerintah daerah.

Penghentian kompetisi ini berdalih akan melakukan reformasi dan restrukturisasi sepak bola di Indonesia. Hingga kini, saya masih bingung dengan diksi “direkstrukturisasi” ini.

Apanya yang mau distrukturisasi ulang? Personel di organisasinya atau pemainnya.

Kalau maksudnya pemain, apakah itu mungkin ada kaitannya dengan naturalisasi pemain asing sebagai cara mudah untuk memperoleh pemain berkelas.

Meskipun di tanah air sendiri banyak pemain berbakat, meskipun belum mampu menyamai Ramang, yang hingga kini tetap hidup di tengah masyarakat yang selalu menyebutnya “Toami Ramang”. Wassalam! (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved