Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Arti Penting Sipol dan Institusionalisasi Parpol

Untuk pemilu 2024, KPU telah menerbitkan PKPU No. 4 Tahun 2022 terkait penggunaan Sipol sebagai alat bantu verifikasi Parpol.

Editor: Hasriyani Latif
dok pribadi/ahmad harianto
Ahmad Harianto Silaban Peneliti Celebes Research Center. Ahmad Harianto penulis Opini Tribun Timur berjudul 'Arti Penting Sipol dan Institusionalisasi Parpol'. 

Oleh:

Ahmad Harianto Silaban
Peneliti Celebes Research Center

TRIBUN-TIMUR.COM - Sistem Informasi Partai Politik yang disingkat Sipol bukanlah kali pertama diterapkan sebagai alat verifikasi partai politik untuk Pemilu 2024 yang akan datang.

Sipol ternyata sudah ada sebagai alat bantu verifikasi partai politik, setidaknya di dua Pemilu terakhir, yakni Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.

Yang membedakan keberadaan Sipol dalam dua Pemilu terakhir itu adalah bahwa Sipol untuk pemilu 2019 bersifat wajib berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 11 Tahun 2017.

Sementara Sipol pada Pemilu 2014 tidak bersifat wajib.

Untuk pemilu 2024, KPU telah menerbitkan PKPU No. 4 Tahun 2022 terkait penggunaan Sipol sebagai alat bantu verifikasi Parpol.

Tulisan ini tidak sedang ingin membicarakan kerumitan teknis yang terjadi dan dialami partai politik terkait penggunaan aplikasi Sipol tersebut.

Dan tidak sedang pula ingin membicarakan hal yang lagi heboh saat ini, yakni terkait soal pencatutan nama warga oleh partai politik.

Di mana dari pencatutan nama warga oleh partai politik lantas dimasukkan sebagai bagian dari keanggotaan partainya.

Melainkan bahwa tulisan ini hendak membawa kita semua untuk sepenuhnya fokus pada upaya serius dalam menata kehidupan partai politik dengan hadirnya Sipol.

Yang ujungnya kelak adalah terinstitusionalisasinya partai politik dalam sistem politik demokrasi.

Setidaknya ada 3 (tiga) poin krusial yang bisa dijangkau dengan keberadaan Sipol dalam rangka institusionalisasi partai politik.

Apalagi terdapat admin Sipol yang tidak lain adalah pengurus atau anggota partai politik yang diberikan mandat oleh pimpinan partai politik berdasarkan tingkatannya sebagai admin partai politik dalam proses pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu untuk mengelola data dan dokumen partai politik serta memutakhirkan data secara berkelanjutan (PKPU No. 4 Tahun 2022).

Poin penting pertama: menata organisasi partai.

Keberadaan Sipol minimal untuk menata organisasi dan kelembagaan partai politik secara lebih baik dari sisi keanggotaan partai: Siapa anggota partai itu?

Di mana anggota partai itu? Dan darimana latar belakang anggota partai itu?

Adalah tiga pertanyaan mendasar yang terjawab dengan keberadaan Sipol. ]

Jika mengacu ke regulasi yang ada, baik UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun PKPU No. 4 Tahun 2022, keanggotaan partai politik itu setidaknya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik di tingkat Kabupaten/Kota.

Dan untuk diakui sebagai Organisasi Peserta Pemilu, maka partai politik harus memiliki keanggotaan minimal sejumlah yang disebutkan di atas disetidaknya 75 persen Kabupaten/Kota di tiap Provinsi.

Kerja keras tentu saja dilakukan oleh elite dan aktifis partai dalam mencari orang (warga masyarakat) yang mau bergabung dan menjadi anggota partai.

Di sini, kita membayangkan bahwa ada proses internalisasi dan sosialisasi menyangkut sebuah “ideologi” di antara elite dan aktifis partai politik bersama dengan warga masyarakat yang mau diajak bergabung ke dalam partai politik.

Sehingga dalam prosesnya yang terjadi setelahnya bukanlah sekadar tempelan semata, yang ditandai dengan kepemilikan KTA dan E-KTP atau Surat Keterangan atas diri warga masyarakat, yang bisa jadi, ada keanggotaan ganda partai.

Melainkan adalah bagian dari proses “pengakaran partai” (party-rooting) di masyarakat.

Dengan Sipol juga, dinamika keanggotaan partai dapat diketahui.

Berapa anggota partai yang masuk dan keluar di periode tertentu, dapat diketahui dan ditelusuri.

Dan sekaligus bisa menjawab bahwa warga masyarakat yang telah menjadi anggota partai di saat verifikasi partai dilakukan: Apakah akan tetap menjadi anggota partai ataukah telah keluar lebih dini dari yang dibayangkan?

Artinya, Sipol bisa memberikan informasi terkini terkait keanggotaan partai.

Dengan demikian, verifikasi partai tidak harus dilakukan setiap lima tahun menjelang Pemilu, yang di saat yang sama bisa jadi, mengganggu proses tahapan Pemilu lainnya.

Poin penting kedua: mengelola isu representasi

Dengan adanya Sipol yang dikelola dengan baik oleh admin partai, maka verifikasi faktual terhadap partai politik bisa dilakukan secara berkala.

Tidak hanya menjelang Pemilu tiba. Partai politik pun pada akhirnya dituntut untuk terus aktif dalam menata organisasi partainya, terutama di tingkat Kabupaten/Kota, sehingga tidak ada lagi kasus ada kantor partai politik yang hanya terlihat aktifitasnya pada saat menjelang Pemilu.

Kemampuan partai politik menata organisasinya memungkinkan elite dan aktifis partai beranjak untuk mengelola hal mendasar lainnya, yakni terkait isu representasi politik di tubuh partai.

Warga masyarakat yang menjadi anggota partai dari setidaknya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik di tingkat Kabupaten/Kota bukanlah sekadar angka statistik.

Melainkan bahwa keanggotaan partai itu adalah mewakili aspirasi, sebuah kepentingan dan motif tertentu dari warga masyarakat.

Sehingga partai politik menjadi organisasi yang di dalam dirinya berhimpun kemajemukan sosial yang membutuhkan saluran politik sebagai wadah perjuangan dari aspirasi, kepentingan dan motif para anggotanya.

Karena itu, partai politik harus bisa mengelola isu representasi kelompok di dalam dirinya agar tidak berefek buruk bagi keberlangsungan partai ke depannya.

Faksionalisme (pengelompokan) adalah hal yang mungkin dan tak terhindarkan di dalam partai politik.

Yang masalah jika pengelompokan politik yang ada tidak diakui keberadaannya di dalam partai politik, alih-alih diberi ruang berekspresi.

Akibatnya adalah terjadi guncangan di tubuh partai politik yang dampak paling buruknya adalah bubarnya partai atau munculnya sempalan partai.

Poin penting ketiga: demokrasi internal partai

Keanggotaan partai politik yang berasal dari beragam individu di masyarakat adalah pra-kondisi bagi munculnya konflik di tubuh partai politik.

Karena itu, partai politik harus membangun tradisi berdemokrasi agar konflik yang ada bisa dikelola secara baik.

Tentu saja kita tidak membayangkan bahwa individu-individu masyarakat di dalam partai politik adalah konflik itu sendiri.

Karenanya, keberadaan sebuah faksi di dalam partai politik adalah bentuk penyederhanaan dari beragamnya aspirasi, kepentingan dan motif dari individu yang menjadi anggota partai politik.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana partai politik membangun tradisi berdemokrasi di internal organisasinya?

Jalur ke suksesi kekuasaan misalnya, entah itu jalur ke puncak kekuasaan tertinggi partai maupun jalur ke jabatan-jabatan publik (eksekutif dan legislatif), harus dibuatkan koridornya: Sejauh mana keanggotaan partai (dan faksi) memiliki peran signifikan dalam distribusi kekuasaan di partai dan publik?

Dan memastikan bahwa pengambilan sebuah mekanisme demokrasi tertentu itu tidak meninggalkan residu di partai politik.

Di mana semua kelompok yang ada di dalam partai politik merasa terjamin dengan mekanisme demokrasi tersebut.

Selain ke jalur suksesi, penting pula kiranya agar partai politik membuat sebuah Mahkamah Partai yang memastikan kelompok yang ada tidak terabaikan hak-haknya ketika terjadi sengketa politik di dalam partai.

Untuk saat ini, setidaknya, partai politik yang duduk di Senayan sudah memiliki Mahkamah Partai.

Namun apakah keberadaannya sudah berfungsi dengan baik, masih perlu pendalaman dan pengujian.

Mapannya tradisi berdemokrasi di internal partai adalah pra-kondisi hadirnya institusionalisasi partai politik.

Dalam hal ini adalah ketika aspirasi, kepentingan dan motif anggota partai politik yang terwakili melalui faksi-faksi yang ada, telah diterima sebagai sebuah kenyataan politik di dalam partai.

Dan atau ketika perbedaan politik yang ada di dalam partai politik dianggap sebagai sebuah nilai yang harus dijunjung tinggi dan karena itu harus diakomodasi dalam praktik kekuasaan demokratis yang sudah disepakati sebagai sebuah pola baku.

Di titik itulah kiranya kita bisa berkata bahwa institusionalisasi partai politik itu ada.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved