Opini
Arti Penting Sipol dan Institusionalisasi Parpol
Untuk pemilu 2024, KPU telah menerbitkan PKPU No. 4 Tahun 2022 terkait penggunaan Sipol sebagai alat bantu verifikasi Parpol.
Keberadaan Sipol minimal untuk menata organisasi dan kelembagaan partai politik secara lebih baik dari sisi keanggotaan partai: Siapa anggota partai itu?
Di mana anggota partai itu? Dan darimana latar belakang anggota partai itu?
Adalah tiga pertanyaan mendasar yang terjawab dengan keberadaan Sipol. ]
Jika mengacu ke regulasi yang ada, baik UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun PKPU No. 4 Tahun 2022, keanggotaan partai politik itu setidaknya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik di tingkat Kabupaten/Kota.
Dan untuk diakui sebagai Organisasi Peserta Pemilu, maka partai politik harus memiliki keanggotaan minimal sejumlah yang disebutkan di atas disetidaknya 75 persen Kabupaten/Kota di tiap Provinsi.
Kerja keras tentu saja dilakukan oleh elite dan aktifis partai dalam mencari orang (warga masyarakat) yang mau bergabung dan menjadi anggota partai.
Di sini, kita membayangkan bahwa ada proses internalisasi dan sosialisasi menyangkut sebuah “ideologi” di antara elite dan aktifis partai politik bersama dengan warga masyarakat yang mau diajak bergabung ke dalam partai politik.
Sehingga dalam prosesnya yang terjadi setelahnya bukanlah sekadar tempelan semata, yang ditandai dengan kepemilikan KTA dan E-KTP atau Surat Keterangan atas diri warga masyarakat, yang bisa jadi, ada keanggotaan ganda partai.
Melainkan adalah bagian dari proses “pengakaran partai” (party-rooting) di masyarakat.
Dengan Sipol juga, dinamika keanggotaan partai dapat diketahui.
Berapa anggota partai yang masuk dan keluar di periode tertentu, dapat diketahui dan ditelusuri.
Dan sekaligus bisa menjawab bahwa warga masyarakat yang telah menjadi anggota partai di saat verifikasi partai dilakukan: Apakah akan tetap menjadi anggota partai ataukah telah keluar lebih dini dari yang dibayangkan?
Artinya, Sipol bisa memberikan informasi terkini terkait keanggotaan partai.
Dengan demikian, verifikasi partai tidak harus dilakukan setiap lima tahun menjelang Pemilu, yang di saat yang sama bisa jadi, mengganggu proses tahapan Pemilu lainnya.
Poin penting kedua: mengelola isu representasi