Kolom Economic Perspective
Nilai Tukar dan Dornbusch Overshooting
Dornbusch overshooting model menyatakan bahwa ketika terjadi tekanan pada perekonomian maka nilai tukar merespon sangat cepat.
Oleh:
Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen FEB Unhas dan Komut PTPN IX Jawa Tengah
TRIBUN-TIMUR.COM - Fluktuasi nilai tukar menjadi ancaman bagi emerging market economies (EMEs).
Mata uang Rupiah terdepresiasi hingga level terendah Rp 15.667 per Dollar (03/11/22) dibandingkan awal tahun 2022, sebesar Rp 14.279 per Dollar AS.
Posisi Rupiah lebih baik dibandingkan Baht, Thailand dan Ringgit, Malaysia terhadap Dollar AS.
Mata uang Rupiah terdepresiasi 9,72 persen, sementara Baht, Thailand 14,16 persen dan Ringgit Malaysia 13,36 persen pada awal November 2022 dibandingkan awal tahun 2022.
Depresiasi mata uang EMEs dipicu oleh tingkat inflasi AS yang masih relatif tinggi 7,7 persen pada Oktober 2022.
Inflasi AS masih jauh dari target The Fed, Bank Sentral AS, seebsar 2,0 persen.
Inflasi tinggi mengindikasikan bahwa The Fed akan terus menaikkan suku bunga acuan, Federal Fund Rate (FFR) hingga inflasi AS mendekati 2,0 persen.
Kenaikan FFR membuat capital outflow (aliran modal keluar EMEs) yang menekan nilai tukar EMEs.
Sejalan dengan fenomena di atas, ekonom AS, Dornbusch (1976) memperkenalkan konsep overshooting dalam penentuan nilai tukar.
Konsep ini masih menjadi bagian dari pendekatan moneter Keynesian dalam penentuan nilai tukar.
Dornbusch Overshooting
Dornbusch overshooting model menyatakan bahwa ketika terjadi tekanan pada perekonomian maka nilai tukar merespon sangat cepat.
Dalam jangka pendek, nilai tukar terdepresiasi tajam, lebih besar dari keseimbangan jangka panjangnya (overshooting).
Pada saat yang sama, harga barang dan upah merespon tekanan secara gradual (lambat).
Hal ini berkaitan dengan asumsi Dornbusch overshooting model, harga dan upah bersifat sticky (kaku) dalam jangka pendek.
Penyesuaian terjadi secara gradual dalam jangka Panjang.
Kekakuan harga barang dan upah disebabkan oleh beberapa hal, kontrak dilakukan dalam jangka panjang, penyesuaian harga berbiaya mahal, ketidaksempurnaan informasi, dan kebijakan price control, dan konsentrasi pasar di beberapa negara.
Sebagai ilustrasi, kenaikan Jumlah Uang Beredar (JUB), asumsi harga sticky, menyebabkan penawaran uang riil meningkat, permintaan dan harga surat berharga harga naik, yield surat berharga turun, dan suku bunga ikut turun membuat surat berharga tetap menarik.
Penurunan suku bunga menyebabkan capital outflow, investor memilih asset dengan yield lebih tinggi.
Mata uang domestik mengalami tekanan, terdepresiasi (overshooting) dalam jangka pendek. Mendongkrak ekspor dan mengurangi impor.
Secara gradual harga dan upah mengalami kenaikan dalam jangka panjang.
Penawaran uang riil turun, permintaan dan harga surat berharga turun, membuat yield surat berharga naik, selanjutnya suku bunga ikut naik.
Kenaikan suku bunga menyebabkan capital inflow (aliran modal masuk), investor membeli asset domestik dengan yield lebih tinggi.
Nilai tukar terapresiasi menyebabkan impor naik karena harga barang impor lebih murah dalam mata uang lokal dan ekspor menurun.
Implikasi Kebijakan
Pengujian empiris, Ekonom AS, Kallianiotis (2021) terhadap Dornbusch overshooting model menunjukkan hasil yang berbeda, dimana mata uang Dollar Kanada menunjukkan fenomena overshooting, Euro dan Yen Jepang tidak ada overshooting.
Mata uang Dollar Kanada terhadap Dollar AS merespon tekanan, kenaikan penawaran uang riil, secara langsung mengalami depresiasi, respon harga barang dan upah secara gradual.
Respon Yen Jepang dan Euro secara cepat disertai oleh harga barang dan upah.
Pergerakan nilai tukar tidak memiliki hubungan dengan faktor fundamental dalam jangka panjang.
Pergerakan nilai tukar lebih banyak dipengaruhi oleh aktifitas perdagangan, capital flows (aliran modal), dan tindakan spekulasi di pasar valuta asing.
Dornbusch (1976) menyatakan bahwa fluktuasi nilai tukar dipengaruhi oleh perbedaan JUB, pertumbuhan output riil, dan kecepatan penyesuaian suku bunga antara Indonesia dengan AS.
Suku bunga riil antara dua negara sama.
Negara dengan kebijakan makroekonomi memberlakukan kontrol harga (price control) dan konsentrasi pasar tinggi pada beberapa komoditi mengalami overshooting nilai tukar dalam jangka pendek.
Sebaliknya, negara dengan harga (upah) fleskibel tidak ada overshooting.
Mata uang yang tidak mengalami overshooting menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai tukar dengan faktor fundamental dalam jangka panjang.
Menunjukkan bahwa kebijakan moneter tidak berdampak pada nilai tukar dalam jangka panjang.(*)