Opini
As’adiyah: Moderat Sejak Lahir
Pendiri As’adiyah AGH. As’ad mengawali literasi keagamaan dengan membentuk kajian keagamaan dalam bentuk halaqah (mangaji tudang)
Literasi Keagamaan
Perjalanan Sulawesi Selatan tidak lepas dari derap langkah pondok pesantren di berbagai daerah.
Data statistik yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama per Januari 2022 menunjukkan terdapat 289 pondok pesantren yang berdiri di Sulawesi Selatan.
Satu di antaranya adalah pondok pesantren As’adiyah yang turut mengambil bagian menderapkan langkahnya sejak tahun 1930 silam, dengan embrio dari rutinitas mangaji tudang (halaqah) dan Madrasah Arabiatul Islamiah (MAI). Ini menunjukkan As’adiyah telah berjalan cukup jauh menyebarkan agama Islam hingga menjadi salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Sulawesi Selatan.
Eksistensi As’adiyah tidak terlepas dari daya lentingnya (resiliensi) yang sangat kuat yang berasal dari kesadarannya akan tantangan yang dihadapinya dari zaman ke zaman, yakni modernitas dan keberagaman.
Dengan kesadaran akan pluralisme dan santri multikultural yang dimilikinya, As’adiyah paham betul bahwa yang harus dilakukannya adalah penguatan literasi keagamaan lintas budaya.
Kemajemukan yang dirangkulnya dalam satu payung merupakan kesuksesan terbesar As’adiyah dalam mengajarkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Moderasi, kearifan, dan kedewasaan dalam beragama yang ditunjukkan As’adiyah menjadi simbol literasi keagamaan tertinggi yang dimilikinya, sebagai puncak keemasan dari pendidikan yang sasaran utamanya adalah memperbaiki akhlak dan intelektual umat.
Hal tersebut bisa dilihat langsung dari aksi nyata yang telah dilakukan As’adiyah selama bertahun-tahun, yakni; berdirinya Radio Suara As’adiyah sebagai sarana dakwah dan syiar, terjunnya tim mubalig setiap bulan Ramadan dengan visi dan misi berdakwah berbasis kultural.
Kemudian terbitnya majalah Risalah As’adiyah, lahirnya buku-buku keislaman karangan AGH. As’ad, dan tahun ini pula telah diterbitkan buku-buku keAs’diyahan yang akan terus mengawal perjalanan para santri di mana pun mereka berada.
Usia As’adiyah memang akan dan seharusnya terus menua tetapi dengan identitas yang tak bersalin warna karena waktu.
Ke depannya, melalui pondok-pondoknya yang tersebar di pelbagai penjuru, kurikulum pendidikan As’adiyah harus bisa mengutamakan kompetensi personal setiap santri, menguatkan kompetensi komparatif, dan membangun kompetensi kolaboratif santri.
Tanpa melawan kemajuan zaman, As’adiyah selayaknya rutin melakukan refleksi untuk menilik metode pendidikannya yang berbasis tradisional dan kearifan lokal dalam mengajarkan keberagaman.
Dengan demikian, As’adiyah akan semakin kuat dan kokoh dalam berkontribusi untuk merawat agama, bangsa, dan Negara dari ancaman disintegrasi dan konflik sosial yang seringkali mengatasnamakan agama.
Selamat dan sukses Muktamar As’adiyah XV!(*)