Opini
As’adiyah: Moderat Sejak Lahir
Pendiri As’adiyah AGH. As’ad mengawali literasi keagamaan dengan membentuk kajian keagamaan dalam bentuk halaqah (mangaji tudang)
Oleh:
Abdul Waris Ahmad
Ketua Majlis Qurra’ Wal Huffaz As’adiyah
TRIBUN-TIMUR.COM - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di awal tahun 2022 membeberkan hasil informasi yang cukup mencengangkan, sebanyak 198 pondok pesantren terafiliasi dengan sejumlah jaringan teroris.
Saat membicarakan pesantren di sejumlah tempat, yang muncul adalah bayangan tentang radikalisme, terorisme, hidup penuh keekstriman, dan hal negatif lainnya.
Sama sekali tidak ada perspektif lain yang ditampilkan, misalnya wajah teduh KH. Abdurrahman Wahid ataupun ulama-ulama lainnya yang mengedepankan moderasi keagamaan.
As’adiyah di usianya yang terus menua, justru mampu menampilkan wajah pemimpin moderat yang dimulai dari Anre Gurutta KH. (selanjutnya disingkat AGH) Muhammad As’ad hingga AGH Muhammad Sagena saat ini, lalu “melahirkan” Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. H. Najamuddin HS., dan ulama lainnya sebagai simbol kehidupan yang moderat di dalam pondok pesantren.
Sehingga, ketika orang luar membicarakan tentang As’adiyah ini, mereka hanya akan membangun stigma positif dan kehidupan washatiyyah yang didambakan umat.
Untuk mewujudkan pesantren berbasis moderasi tidaklah semudah memasang selembar foto ulama moderat di dalam sebuah figura.
Pendiri As’adiyah, AGH. As’ad mengawali literasi keagamaan dengan membentuk kajian keagamaan dalam bentuk halaqah (mangaji tudang) menggunakan pendekatan pemahaman yang sangat terbuka dan moderat.
Misalnya, mengajarkan ilmu fikih berdasarkan mazhab Syafii, namun tidak mengharuskan fanatik dalam mazhab itu.
Terbukti, dalam karya monumentalnya kitab Al-Aqāid, beliau menyampaikan bahwa panutan santri As’adiyah dalam mazhab fikih adalah imam Syafii, namun mereka bisa mengkolaborasikannya dengan mazhab lain seperti Hanafi dan Hambali.
Dalam hal teologis, sebagai seorang pengikut akidah sunni, sosoknya tidak pernah menyalahkan teologi yang lain.
Begitu pula dalam tasawuf, beliau sukses mengajarkannya tanpa menafikan para ahli sufi seperti Junaid al-Bagdādī.
Ketiga poin penting ini kemudian dikembangkan sebagai ajaran tasāmuḥ di tengah-tengah masyarakat oleh para santrinya, di antaranya AGH. Daud Ismail yang mendirikan pesantren Yasrib di Soppeng, AGH. Abdul Rahman Ambo Dalle pendiri DDI Mangkoso di Barru, AGH. Yunus Maratang, AGH. Abdul Malik, dan ulama lainnya di pesantren As’adiyah.
Tak bisa dipungkiri, tersebarnya para anregurutta di atas telah membawa pengaruh dalam porsi yang sangat besar bagi tiap linamasa kehidupan. As’adiyah kemudian dikenal sebagai pencetak ulama Bugis.